Nasional
Dosen UGM: Perlu Cara Baru Lawan Intoleransi di Lingkungan Pendidikan
Dosen sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) M Najib Azca, mengatakan, dibutuhkan pendekatan baru untuk mencegah berkembangnya sikap intoleransi di lingkungan pendidikan.
“Saya kira sudah cukup banyak riset menemukan bahwa ada ada tren meningkatnya intoleransi atau radikalisme di sekolah atau kampus. Ini suatu warning bagi kita semua, baik pendidik, pemerintah, masyarakat untuk mewaspadai atau hati-hati terhadap tren seperti ini,” ujar Najib di Yogyakarta, Sabtu (21/11), seperti yang dikutip Republika.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM ini menekankan untuk segera dibuat program guna mengikis penyebaran intoleransi di lingkungan sekolah. Salah satunya dengan pelibatan komunitas kaum muda seperti siswa SMP, SMA, dan mahasiswa.
“Karena mereka sendiri yang harus mampu mengenali, mengidentifikasi gejala-gejala misalnya menguatkan intoleransi di lingkungannya. Dan itu bisa dilakukan bila mereka terlibat langsung dan proaktif untuk melakukan aktivitas ini. Misalnya terjadinya gejala radikalisasi di lingkungannya teman sebayanya,” ucapnya.
Ia melajutkan bahwa saat ini dirinya sedang mengembangkan program pendekatan membangun sekolah damai berbasis siswa sebaya. Dengan program itu, mereka (siswa dan mahasiswa) sendiri yang melihat dan mengamati, lalu mencoba mengembangkan upaya-upaya untuk membina damai di lingkungannya.
Lebih jauh dia mengatakan bahwa untuk mengikis intoleransi di sekolah, jangan dengan cara yang terkesan top down atau dari atas ke bawah. “Kita harus mampu menyemai teman-teman muda untuk proaktif merawat toleransi, perdamaian di lingkungannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kemudaan mereka. Soalnya kalau menggunakan cara orang tua, kadang-kadang tidak cocok,” tuturnya.
Ia kemudian mencontohkan penggunaan platform TikTok atau Podcast. Menurutnya, penggunaan media baru dalam membangun toleransi di kalangan muda ini sangat penting ketika sasarannya adalah anak muda. Sementara cara-cara lama atau cara ala orang tua dinilainya tidak akan menyambung karena frekuensinya beda.
“Kita harus belajar juga dari anak-anak muda terutama dalam mengemas pesan-pesan damai, pesan-pesan kontra ekstremisme dengan cara-cara anak muda. Itu akan lebih muda cepat diterima dengan melalui proses dialog dan diskusi dengan mereka. Kita perlu mendengar juga dari anak muda sendiri apa yang mereka rasakan, mereka pikirkan, dan mereka inginkan.Dari situ kita rumuskan agenda kolaboratifnya,” paparnya.