Artikel
Ilmu Warung Kopi Vs Ilmu Ruang Operasi
Sewaktu masih di lingkungan akademis dan sering bertemu dengan pelajar, saya mengira ilmu itu terdiri dari diskusi yang berujung dengan berdebat, membaca, memain-mainkan rumusan dan istilah yang pelik (makin pelik makin ilmiah) dan sejenisnya. Lingkungan di sekitar juga tampaknya mempersepsi “keilmiahan” yang serupa. Bahkan, dan ini ironis sekali, ada desakan kuat untuk mengurung ilmu dalam sangkar yang sangat sempit itu. Maksudnya, di luar lingkungan sekolah atau kelas semuanya bukan orang yang berilmu. Di luar buku yang kita baca dan kuliah yang kita hadiri, tidak ada ilmu yang bisa diharapkan.
Sikap ini bisa menjadi lebih ekstrem dan intoleran, hingga terlintas dalam pikiran bahwa guru kita adalah yang terpandai di seluruh jagat dan textbooks yang kita pelajari adalah paling berbobot di seantero jagat. Hasil bersihnya, kita adalah murid paling berbakat di muka bumi dan kelak akan menjadi orang paling pandai di tengah masyarakat. Masing-masing dari kita berhak membayangkan semua orang lain yang tidak berasal dari lingkungan sekolah kita adalah setengah gila atau awam. Mereka layak digurui, diperintah dan akhirnya dihakimi.
Ajang pembuktian bahwa kita adalah murid paling hebat berlangsung dalam perdebatan─dalam wacana dan wicara. Perdebatan pun terjadi hampir setiap saat. Kita jadi seperti pasukan di medan perang yang harus selalu dalam kesiagaan penuh. Setiap saat kita harus berbicara ekstra hati-hati, sekaligus mendengar kata-kata lawan bicara dengan hiper-kritis. Begitu ada titik-titik kelemahan, serangan adalah cara terampuh kita untuk bertahan. Maka, segenap energi kita curahkan untuk menumpuk amunisi yang diperlukan untuk dialektika tersebut. Bila kita menemukan rumus baru, maka rumusan itu kita catat rapi untuk kemudian kita ingat dan kita cari-cari relevansinya dalam suatu perdebatan yang terjadi agar muncul kesan bahwa kita lebih superior dengan yang lain dalam hal keilmuan.
Rangkaian ilmu yang diperdebatkan itu kini jelas terasa bagai “ilmu warung kopi”. Dan di warung kopi, ada begitu banyak jenis ilmu. Para pakar “ilmu warung kopi” sangat giat mencari dan belajar, tapi yang mereka pelajari terbatas pada semesta “warung kopi”. Mereka betah tinggal di sana, lantaran dunia luar sudah tidak relevan dengan kehidupan mereka. Di luar warung mereka tidak dikenal orang, tidak diharapkan oleh siapa-siapa. Manusia kebanyakan tidak menganggap mereka ada, apalagi membutuhkan mereka. Sebenarnya, Anda boleh mengganti istilah “warung kopi” itu dengan “ruang FB”, yang juga menjadi ajang pembuktian bagi pelajar ilmu-ilmu model di atas.
Bandingkan misalnya dengan “ilmu ruang operasi”. Di sini ilmu berlangsung hening, tidak seheboh atau semeriah “ilmu warung kopi”. Para pakar di ruang operasi seringkali berkomunikasi hanya lewat isyarat. Setiap saat yang mereka lalui adalah dalan rangka menyelamatkan nyawa. Tiap menit mereka adalah kebutuhan hidup bagi yang lain, tidak dilalui sekedar untuk bincang-bincang─apalagi berbangga dengan sekadar berbicara. Tentu, tidak semua dokter medis hidup sebagai ilmuwan “ruang operasi”, yang tiap detiknya berguna untuk orang lain, menyelamatkan atau menyehatkan mereka. Meski di ruang operasi fisik, tapi pikiran dan kepribadian mereka sesungguhnya mirip dengan mereka yang di warung kopi, sekedar buang waktu mencari segenggam uang tanpa niat tulus menyelamatkan nyawa atau memberi harapan pada seseorang.
(Catatan: apa yang kita maksud dengan “ilmu ruang operasi” di sini adalah ilmu yang begitu genting, kritis, objektif, penuh makna, bertugas semata-mata untuk memuliakan manusia dan menyempurnakannya. Dan ilmu itu tidak terbatas pada ilmu medis, tapi bisa mencakup semua bidang ilmu).
Kembali ke ilustrasi warung kopi versus ruang operasi. Di warung kopi, semua pihak hanya berbicara, termasuk berbicara untuk mencari penghidupan. Di ruang operasi semua pihak bekerja dan berbuat sesuai dengan kapasitas masing-masing. Dan anehnya, para pembicara di warung kopi─tentu setelah lelah berbicara dan muak dengan hasil-hasil palsu pembicaraan─mulai meremehkan semua orang di luar warung yang lalu lalang bekerja, berkeringat, berbuat semampu mereka. Pada galibnya, para penghuni warung kopi bersembunyi di balik kedok bernama upaya ilmiah. Upaya-upaya ilmiah seperti mereka ini jelas berbeda dengan yang terjadi di laboratorium yang melibatkan energi besar sekujur tubuh, mungkin dengan sesedikit mungkin menggunakan organ mulut. Keilmiahan perdebatan warung kopi ujung-ujungnya cuma menimbulkan kekosongan batin dan kekeruhan pikiran.
Para ilmuwan warung kopi hidup dalam dunia fantasi, sedangkan para ilmuwan ruang operasi hidup untuk realitas. Sekalipun pahit, tapi manisnya realitas jelas-jelas tidak bisa dirasakan oleh para penghuni warung kopi.
Kazuo Murakami, ahli genetika asal Jepang, secara lebih mistis membedakan antara “ilmu warung kopi” dan “ilmu ruang operasi” ini dengan istilah “ilmu malam” dan “ilmu siang” dalam bukunya The Divine Code of Life: Awaken Your Genes & Discover Your Hidden Talents. “Ilmu pengetahuan siang”, kata Murakami, “terdiri atas kuliah, penelitian objek di bawah mikroskop, atau pemaparan hasil temuan riset dalam berbagai perdebatan…Anda dapat mengatakan bahwa ilmu pengetahuan siang adalah hasil penelitian, sementara ilmu pengetahuan malam adalah sebagian dari proses perwujudan hasil-hasil tersebut.” Seperti saya katakan, Murakami jauh lebih mistis ketimbang saya.
Beberapa bulan lalu saya dikritik oleh dua ilmuwan “warung kopi”. Saat saya mencoba menerangkan bahwa saya sudah tidak lagi berada di dalam “warung kopi”, mereka semakin menunjukkan jurus-jurus “ilmu warung kopi” yang lebih tajam dan garang. Akhirnya saya cuma berharap bahwa suatu saat kelak mereka berada di dalam “ruang operasi”, untuk bisa merasakan, misalnya, bagaimana suasana operasi gegar otak. Atau, bagaimana sulitnya berkarya di tengah-tengah himpitan keadaan, susahnya membuang-buang waktu berdebat di tengah melonjaknya tagihan dan sebagainya. Dan puncaknya, betapa susah berwacana tanpa ujung manakala kita melihat saudara-saudara kita terhina, terusir, tergerus oleh ganasnya penindasan.
Di ruang operasi, semua orang dituntut untuk bekerja dengan intuisi dan perhitungan cepat. Tidak ada waktu lagi untuk berdiskusi, apalagi berdebat kusir, karena realitas dunia luar bukan seperti setumpuk teks yang dingin dan kaku.
Saat saya terpaksa menjelaskan hal ini pada para ilmuwan “warung kopi”, mereka menolak mentah-mentah. Perilaku mereka seperti kata pepatah Arab: “Dharabani wa syaka, sabaqani wa bakaa” (Memukul duluan, tapi cepat-cepat mengeluh; memulai pertikaian, tapi lebih dahulu menangis).
Saya melihat ada cukup banyak lingkungan pendidikan, terutama bidang pendidikan agama yang saya geluti, yang dirancang menjadi “ruang operasi”. Ada survei yang menunjukkan bahwa para pelaut lebih sering merasakan kehadiran Ilahi dan pengalaman religius di saat terdampar di samudera ketimbang saat berada di atas ranjang. Ini bukti bahwa agama itu lebih cespleng diajarkan dengan pengalaman langsung, bukan sekedar dengan teori. Para nabi, rasul dan imam suci juga berupaya mengajarkan agama dalam aksi, agama yang menggerakkan sekujur tubuh dan menyusup dalam denyut nadi masyarakat.
Tapi, bagaimanapun, para penghuni “warung kopi” tidak akan betah tinggal dalam “ruang operasi”. Mereka akan terjun kembali ke habitatnya di “warung kopi”. (MK/ABIPress)