Kisah
Kisah Nabi Musa dan Khidir as dalam Al-Quran
Dituliskan dalam kitab Mizanul Hikmah jilid ke-4 tentang kisah Nabi Musa dan Khidir as yang terdapat dalam al-Quran.
Sang alim (Khidir as) berkata kepada Nabi Musa as, “Sesungguhnya, kamu tidak akan mampu (kuasa) bersabar bersamaku atas apa yang kelak akan kamu saksikan dar iperbuatan-perbuatanku yang kamu sendiri tidak mengetahui takwilnya, maka bagaimana mungkin kamu bisa bersabar atas apa yang kamu tidak mengetahuinya sama sekali?!”
Musa as pun berjanji kepadanya untuk bersabar dan tidak akan menentang perintahnya, insya Allah, maka sang alim pun berkata kepadanya menegaskan apa yang telah dipintanya itu darinya dan menuntut janjinya, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyaiku tentang sesuatu pun hingga aku mengatakannya kepadamu.”
Maka Musa as dan sang alim pun bertolak pergi hingga keduanya menaiki perahu yang berisikan sekelompok orang dari para penumpang dan Musa as tidak berpikiran apa-apa tentang apa yang dimaksudkan oleh sang alim, maka sang alim pun melubangi perahu itu yang akan membuat para penumpangnya tidak akan aman dari ketenggalaman, maka Musa as pun terkejut (terperangah) menyaksikan hal itu dan lupa tentang janjinya tadi dan berkata kepada sang alim, “Engkau telah melubanginya agar penumpangnya tenggelam?! Engkau telah melakukan kejahatan yang tak terampuni!”
Maka sang alim berkata, “Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahwa kamu tidak akan bisa bersabar bersamaku?!”
Maka Musa as pun memohon maaf kepadanya bahwa dia telah melupakan janjinya untuk bersabar, seraya berkata, “Janganlah engkau menghukumku atas kelalaianku ini dan janganlah engkau membuat sulit urusanku.”
Maka keduanya pun berjalan, lalu keduanya bersua dengan seorang anak muda yang langsung dibunuh sang alim, sehingga Musa as tak kuasa menahan diri tanpa melakukan perubahan dan menentang perbuatannya itu, seraya berkata, “Apakah engkau membunuh seorang jiwa suci tanpa dosa? Sungguh,engkau telah melakukan kemungkaran yang keji!”
Maka sang alim berkata kepadanya untuk yang kedua kalinya, “Bukankah aku telah katakan kepadamu bahwa kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku?!”
Maka kali ini sungguh sulit bagi Musa untuk meminta maaf lagi kepadanya dan menahan dirinya dari berpisah dengannya sedangkan dirinya tidak rela dengan perbuatannya itu. Akhirnya, dia (Musa as) pun mengajukan permohonan terakhirnya, untuk diperbolehkan menyertainya dengan mengajukan satu soal terakhir, dimana jika dia (Nabi Khidir as) melakukannya lagi, maka dia akan berpisah dengannya seraya berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya, kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.”
Maka sang alim pun mengabulkannya. Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Maka Khidir as menegakkan kembali dinding rumah itu. Musa as berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat mengambil upah untuk itu dan mereka telah membuat kita kelaparan tanpa diberi makan.”
Khidir berkata, “Inilah saat perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi merek dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya it dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu-bapaknya), maka dia menyuruhku untuk membunuhnya, maka aku pun membunuhnya.
Adapun dinding rumah itu kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanku menyuruhku untuk membangunnya kembali hingga mereka menjadi dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Yang jika gubuk itu tidak diperbaiki, maka urusan harta simpanan itu akan tampak jelas ke permukan umum dan orang-orang yang mengambilnya.
Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
Kemudian sang alim pun pergi meninggalkan Musa as.