Kajian Islam
Keniscayaan Imamah Pasca Kenabian [1/4]
Masyarakat pengikut Ahlulbait meyakini imamah bukan hanya kekuasaan duniawi, yakni kepemimpinan, melainkan kedudukan tinggi batiniah dan ilahiah. Imam adalah sosok manusia yang memiliki seluruh kesempurnaan insani serta suci dari semua aib dan akhlak tercela. Berdasarkan keyakinan ini, imam adalah manusia paling berakhlak mulia. Pengenalan dan keimanan para imam pada Allah Swt dan Nubuwwah (kenabian) sangat tinggi. Mengapa demikian?
Semua itu lantaran mereka telah mencapai derajat keyakinan dan syuhud batiniah (penyaksian batin). Ruhani mereka telah menyaksikan semua hakikat agama. Bahkan kepatuhan mereka terhadap agama menjadi contoh bagi semua orang. Selain itu, perkataan dan perbuatan mereka senantiasa menjadi tolok ukur bagi umat.
Terdapat dua karakteristik utama yang membuat para imam begitu menonjol dibanding manusia biasa. Pertama, sifat ishmah (terpelihara dari dosa). Kedua, ilmu.
Imam terpelihara dari kesalahan, kekhilafan, dan dosa. Tidak pernah melanggar perintah Allah Swt. Menyimpan dan mengetahui semua ilmu yang dimiliki Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw telah mewariskan seluruh pengetahuan dan hukum agama pada para imam secara sempurna, yang kemudian dihafal dan dijaga mereka dengan baik.
Allah Swt telah memilih para manusia suci itu sebagai imam. Mereka diberi amanah untuk mengatur pelbagai urusan agama dan mensosialisasikan hukum dan peraturan sosial serta mengorganisasi masyarakat Muslim. Manusia seperti ini adalah khalifah sejati Rasulullah saw. Muslim bukan hanya diharuskan menaati mereka melainkan juga diharuskan mempersiapkan landasan bagi pemerintahan para imam suci agar mereka dibimbing ke jalan agama yang lurus dan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.
Berdasarkan keyakinan Syiah Imamiyah, keberadaan imam merupakan keharusan bagi umat Islam dan terdapat sejumlah ayat dan hadis yang mendukung teori keharusan eksistensial imam. Namun, dalil terpenting adalah burhan aqliyah (bukti rasional), yang penjelasannya maktub dalam kitab-kitab kalam. Mereka berpendapat bahwa dalil yang menunjukkan manusia memerlukan nabi juga digunakan untuk membuktikan kebutuhan manusia pada imam. Sebagaimana manusia memerlukan nabi, maka di zaman ketiadaan nabi, manusia juga memerlukan imam.
Masalah nubuwwah dan imamah merupakan dua tema teologis yang penting dan kitab kalam telah mengkajinya dari berbagai dimensi dengan sangat terperinci. Untuk membuktikan kenabian secara umum (nubuwwah ammah), terdapat banyak burhan yang salah satunya adalah yang terpopuler, disebut dengan burhan luthuf.
Dalil itu diulas dari berbagai perspektif dalam kitab kalam. Di sini, dengan memanfaatkan pembahasan itu, kami akan menjelaskan persoalan yang sama dengan metode lain.
- Penciptaan manusia dan alam jauh dari sia-sia. Manusia tidak dilahirkan ke dunia untuk beberapa hari merasakan kesenangan dan kesusahan atau makan dan minum, menikmati kesenangan, berkembang biak, dan lantas mati serta binasa. Kehidupan dunia dicipta dengan tujuan dan perhitungan. Kematian merupakan perpindahan dari alam dunia yang fana ke alam akhirat yang kekal dan dunia adalah ladang akhirat. Manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan baik-buruknya selama hidup di dunia. Tujuan penciptaan insan adalah penyempurnaan dan pengembangan jiwa agar manusia memperoleh kebahagiaan sejati di akhirat. Setelah mati, manusia akan berpindah ke alam akhirat dan kehidupannya menjadi abadi. Jika melakukan perbuatan baik di dunia, manusia akan menerima balasan yang baik. Sebaliknya, bila melakukan perbuatan buruk, ia akan dikenai sanksi dan hukuman.
- Filsafat membuktikan bahwa manusia terdiri dari dua unsur; jasmani material dan ruh ‘mujarrad malakuti’. Dengan ungkapan lain yang lebih tepat, manusia memiliki dua tingkatan wujud. Pada tingkatan wujud lebih rendah, manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat fisikal. Adapun tingkatan wujud yang lebih mulia disebut dengan tingkatan mujarradah. Karena tidak seutuhnya mujarrad dan masih berkaitan dengan materi, ruh manusia berpotensi untuk berubah dan menjadi sempurna. Manusia memperbaiki diri dan melakukan persiapan bagi kehidupan akhirat melalui akidah dan akhlak serta perbuatannya.
- Berhubung manusia terdiri dari tubuh jasmani dan ruh mujarrad, maka wajar saja jika manusia memiliki dua warna kehidupan, yakni duniawi yang berkaitan dengan tubuhnya, dan ruhani yang terkait dengan jiwanya. Sebagai konsekuensinya, akan ada kebahagiaan dan kesengsaraan bagi dua bentuk kehidupan tersebut. Batin atau ruh manusia tidak keluar dari dua kemungkinan: pertama, bergerak menuju kesempurnaan dan kebahagiaan atau menuju kesengsaraan dan kemunduran. Dua jenis gerakan ini adalah akibat dari dua jenis akidah, yakni haq dan batil, akhlak yang baik dan sesat, serta perbuatan baik dan keji, yang dilakukan manusia semasa hidupnya.
- Sebagaimana terdapat hubungan yang sangat erat antara tubuh dan ruhani manusia, begitu pula berlangsung keterkaitan sangat erat antara kehidupan duniawi manusia dan kehidupan batinnya. Kehidupan nafs(batin) bermuara dari berbagai perbuatannya di dunia. Akidah sesat, akhlak buruk, dan amalan-amalan tidak patut akan menggelapkan jiwa. Karena itulah, manusia yang mencari kesempurnaan dan kebahagiaan jiwa tidak seharusnya mengabaikan bentuk perbuatan dan tindakannya di dunia.
- Filsafat membuktikan bahwa kepribadian dan nilai manusia bergantung pada ruhnya. Dengan alasan inilah, manusia dicipta untuk meraih kesempurnaan ruh dan kehidupan batinnya. Allah Swt yang mencipta manusia dan melengkapinya dengan pelbagai potensi, yang membawanya pada kesempurnaan, tak mungkin mengabaikan kehidupan batin manusia dan tidak mengajarkan bagaimana menuju kesempurnaan dan mencapai tujuan.
- Berhubung manusia itu maujud sosial, hidup bermasyarakat, dan sering terjadi perbedaan kepentingan serta perampasan hak orang lain, maka masyarakat memerlukan undang-undang dan pemerintahan yang bertugas membela hak semua individu masyarakat, khususnya kaum lemah, mencegah pelanggaran-pelanggaran dan berbagai bentuk diskriminasi, serta mewujudkan keamanan dan kedamaian di tengah masyarakat.
Selanjutnya Keniscayaan Imamah Pasca Kenabian [2/4]
*Ayatullah Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan