Berita
Doa itu Paling Lezat
Tiada yang paling lezat bagi manusia melebihi doa. Barangkali mendengar kata pembuka tulisan ini, pembaca akan langsung bertanya, bagaimana mungkin?
Sebelumnya, kita seyogianya memahami, semua rasa sakit dan lezat terbagi dalam tiga wilayah:
1. Jasmaniah. Dalam konteks ini, tak ada beda antara manusia dan binatang, seperti dalam hal makan, minum, dan sebagainya.
2. Nafsiah, seperti memenuhi tuntutan naluri, kecintaan pada harta, ingin berkuasa, megejar kedudukan, dan sejenisnya.
3. Ruhaniah dan maknawiah, seperti belajar, berinfak, membela kebenaran, melawan kebatilan, dan sebagainya. Rasa di wilayah ini hanya dimiliki manusia.
Tak diragukan lagi, misalnya, hamba yang gigih dan setia membela tuannya atau dua orang yang dimabuk cinta sedang mengecap rasa lezat maknawiah paling mengasyikkan. Alangkah indah ungkapan ini, “Sesaat berpisah denganmu, serasa seabad lamanya; tapi selama bersamamu, serasa hanya sekejap saja.”
Dalam doa Kumail, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Andai aku mampu bersabar menerima panasnya api-Mu, namun bagaimana mungkin aku mampu bersabar untuk berpisah dengan-Mu?!”
Inilah kondisi paling mengasyikkan. Manusia akan rela menyerahkan apapun miliknya di jalan ini. Tak ubahnya Nabi Ibrahim as yang menyerahhkan seluruh hartanya, bahkan dirinya, sampai akhirnya mendengar sekali lagi nama Allah Swt, “Subbuhun quddusun rabbul malaikati warruh.”
Atau kisah Iyaz dengan Sultan Mahmud. Sepulangnya dari India, Sultan Mahmud memecahkan kotak permata hasil rampasan (perangnya). Kemudian ia mempersilahkan siapapun mengambil apapun yang ada di dalamnya.
Kontan semua orang menyerbu kotak itu, kecuali Iyaz. Saat Sultan menanyakan alasanya, ia berkata, “Bagiku, sesaat bersamamu jauh lebih berharga dari segala sesuatu.”
Lalu sultan memerintahkan intan permata yang sangat berharga itu dipecahkan. Namun tak seorang pun mau melakukannya kecuali Iyaz. Tatkala semua orang menudingnya, ia menjawab, “Hai orang-orang yang menundukkan kepalanya, ini perintah sang raja. Pecahkanlah salah satunya, niscaya mutiara itu akan nampak aslinya.“
Nah, kini, bagaimana mungkin doa tak dirasa lezat, mengingat doa adalah “komunikasi” insan dengan Sang Mahacinta yang seluruh rasa cinta justru semata berasal dari-Nya? Adakah rasa maknawi yang lebih lezat dari bercakap-cakap dengan yang paling dicinta?
*Disadur dan diolah dari Ahmad & Qasim Mir Khalaf Zadeh, Kisah-Kisah Doa