Laporan Utama
Saya Mewarta Saya Dianiaya (Bagian 1)
(Kisah Wartawan ABI Press)
Oleh Muhammad Ngaenan
“Hati-hati ya, di sana. Itu tempat berbahaya.”
Itulah pesan korlip (koordinator liputan) saya, Lutfi, Sabtu (19/4) di malam sebelum saya berangkat untuk meliput acara Deklarasi Aliansi Anti Syiah di Bandung.
Tentu saja saya sangat sadar tugas liputan kali ini ada di ‘zona merah’. Dan tentu saya juga bukannya tidak tahu perangai orang-orang seperti mereka. Saya sendiri tidak satu-dua kali bertatap-muka dengan orang-orang seperti mereka. Bahkan saya pernah diusir saat meliput di Masjid Muhammad Romadhon di Bekasi.
Sebagai wartawan, meski secara hukum pekerjaan saya seharusnya dilindungi Undang-Undang Pers, saya tahu persis saat melakukan peliputan ke acara-acara mereka, kehadiran saya bukan tanpa risiko.
Korlip sempat memutuskan kepada saya tidak perlu membawa kamera karena khawatir terjadi apa-apa yang tak bisa saya kendalikan. Saya pun pergi hanya berbekal kamera telepon genggam saya dan amatan mata sebagai alat reportase.
Saat itu tak terlintas dalam benak saya bahwa kekhawatiran Korlip saya akan jadi kenyataan.
Dingin udara masih membuat badan menggigil saat berangkat subuh dari kantor menuju pool bis Primajasa yang membawa saya ke Bandung. Pendingin udara di dalam bis juga menusuk tulang seperti tak mau berkompromi dengan resleting jaket saya yang rusak, tak bisa tertutup.
Sekitar tiga jam di perjalanan, akhirnya saya sampai di Bandung, Minggu (20/4) kira-kira pukul delapan pagi. Matahari mulai meninggi saat itu. Tempias cahayanya yang menembus kaca bus membuat silau mata.
Turun dari bis, saya naik angkot merah bernomor 05 yang mengantar saya sampai di perempatan lampu merah Kecamatan Buah Batu, Bandung. Di situ, berbekal pamflet undangan terbuka di telepon genggam, saya mencari-cari di mana Masjid Al-Fajr, tempat diadakannya acara Deklarasi Aliansi Anti Syiah ini.
Memasuki ‘Zona Merah’
Setelah bertanya pada beberapa orang dan berjalan kaki sekitar 300 meter dari perempatan lampu merah, akhirnya saya sampai di pertigaan jalan Cijagra, tepat di lampu merah di depan Polsek Lengkong.
Saya hitung pertigaan itu dijaga oleh sepuluh orang berseragam putih dari kepala sampai kaki. Sepertinya mereka anggota FPI. Saat melewati mereka saya lihat mereka memperhatikan saya dengan curiga. Tapi rupanya tak hanya saya, hampir setiap orang yang melewati mereka diperlakukan dengan pandangan mata menyelidik.
Masuk ke dalam jalan Cijagra, kerumunan orang dan kendaraan yang diparkir makin memadati jalan. Sepanjang jalan menuju Masjid Al-Fajr, saya perhatikan ada tiga titik kumpul tempat sekumpulan lelaki berseragam putih dan hitam berdiri. Hampir semuanya memiliki ciri yang sama: berjenggot di dagunya.
Ada yang jenggotnya agak tipis, ada yang lebat. Beberapa memakai rompi dan tutup kepala yang menutupi wajahnya. Di setiap titik, jumlah mereka sekitar sepuluhan orang.
Selain itu ada juga yang berseragam coklat dengan tulisan LPAS di dada sebelah kiri. LPAS adalah singkatan dari ‘Laskar Pemburu Aliran Sesat’. Saya tahu singkatan itu saat saya baca tulisan di punggung mereka.
Saat sampai di dekat komplek Masjid Al-Fajr, pandangan mata saya langsung tertuju pada bentangan spanduk berwarna hijau di tengah jalan bertuliskan Deklarasi Aliansi Anti Syiah.
Di depan masjid sendiri ada sebuah spanduk besar berukuran sekitar 4×6 meter yang menjulang hingga ke dinding lantai dua Masjid. Isinya sama persis dengan selebaran undangan yang tersebar di internet.
Acara deklarasi ini setahu saya disponsori oleh Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang diketuai oleh Athian Ali Dai, yang sekaligus pemilik masjid tersebut.
Saya tak langsung masuk masjid saat itu. Baru sekitar pukul sembilan, saat pembawa acara mengumumkan acara dimulai, saya memasuki kompleks masjid. Itu pun di luar, tidak di dalam masjid.
Panas matahari sangat menyengat pagi itu. Sama sekali tak ada mendung yang menutupi tenda besar berwarna biru yang disediakan panitia. Tak ayal kompleks masjid dalam hitungan menit menjadi penuh sesak.
Panitia sendiri mengatakan ada sekitar tujuh ribu yang hadir. Tapi dari hitungan kasar saya, dengan luas masjid ditambah peserta yang berjubel di jalan kompleks dan lapangan depan, saya taksir tidak lebih dari 3 ribuan orang.
Acara deklarasi Aliansi Anti Syiah itu sendiri berlangsung di lantai dua Masjid. Untuk menyiasatinya panitia menggunakan dua proyektor yang dihubungkan di dua layar besar yang ada di lapangan dan di dalam masjid di lantai satu.
Pengunjung yang tidak berada di lantai dua tetap bisa melihat secara langsung acara ini. Sementara di tengah jalan kompleks dan di halaman samping tempat wudhu, disediakan dua televisi layar datar berukuran 31 inchi yang diletakkan di atas meja.
Deklarasi itu dihadiri sejumlah tokoh yang rekam jejaknya memang dikenal motor gerakan penyesatan terhadap Syiah. Beberapa tokoh yang hadir adalah KH. Abdul Hamid Baidlowi (NU), Muslim Ibrahim (Ketua MPU Aceh), KH Muhammad Said Abdus Shamad (Ketua LPPI Makassar), KH Maman Abdurrahman (Ketua Persis), KH Abdul Muis Abdullah (Ketua MUI Balikpapan), KH Ahmad Cholil Ridwan (Ketua MUI Pusat), Zein Al Kaff (tokoh Al Bayyinat), Muhammad Alkhathath (Sekjen FUI), Farid Ahmad Okbah (pakar antiSyiah), Muhammad Baharun (Ketua MUI Pusat) dan KH Athian Ali Dai (Ketua FUUI).
Dalam orasi-orasinya, semua orator memprovokasi peserta untuk memusuhi dan bersikap antipati terhadap Syiah. Mereka menggelorakan pernyataan-pernyataan yang sering saya dengar dan sepertinya selalu diulang-ulang dalam mimbar mereka. Misalnya orang Syiah, Alqurannya palsu, menghina sahabat dan istri Nabi.
Para pembicara juga melarang dialog dengan Syiah dan mewanti-wanti kekejaman Syiah di Suriah. Syiah disebut orator akan menyerang Sunni jika berkuasa. Bahkan Abu Jibril dengan sangarnya berpidato bahwa orang Syiah harus dibunuh karena kesesatan mereka yang berbahaya dan itulah hadis Nabi. Bulu kuduk saya berdiri saking ngerinya.
Dua orator utama Cholil Ridwan dan Muhammad Alkhathath mencoba mengaitkan Syiah dengan politik di Indonesia. Cholil Ridwan menyerukan “Kita mesti menang politik dan pegang kekuasaan. Jika tidak, kita tidak bisa menghabisi Syiah!”
Sementara Al-Khattah terang-terangan mengatakan bahwa mereka siap meneken MoU pada siapa pun capres yang mau ikut membasmi Syiah. Mereka juga menyebutkan bahwa mereka tidak ingin Jokowi jadi presiden mendatang.
Beberapa kali saat para orator meneriakkan takbir, saya perhatikan hanya yang beberapa orang di lantai atas masjid, dan beberapa orang berseragam panitia di pelbagai sudut yang konsisten menyahuti.
Mayoritas peserta diam saja dan hanya mendengarkan. Hanya ketika mendekati akhir acara, teriakan takbir disambut lebih banyak oleh peserta. Kelihatannya sebagian besar datang hanya untuk mengetahui saja acara ini, pikir saya. Atau kalau datang hanya ikut-ikutan saja.
Acara orasi dari wakil berbagai ormas dan lembaga berakhir sekitar pukul dua belas siang. Beberapa ormas tersebut Persis, NU, MUI, MPU Aceh, FAAS Jawa Timur, FUI, Islamic Center al-Islam Bekasi, MMI dan FUUI.
Usai orasi, acara dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi aliansi yang dibacakan oleh Ketua FUUI, KH. Athian Ali.
Deklarasi tersebut memuat 4 poin: aliansi dibentuk sebagai bentuk amar maruf nahi munkar, mencegah Syiah berkembang, menguatkan hubungan dengan organisasi dakwah, dan mendesak pemerintah untuk mencabut izin organisasi, yayasan, atau lembaga yang terkait Syiah di seluruh Indonesia.
Kehadiran Sosok Bachtiar Nasir
Usai deklarasi, banyak peserta yang langsung beranjak pergi. Terutama ibu-ibu, sebagian besarnya sudah langsung pulang. Separuh yang tersisa, sesuai arahan panitia melakukan shalat zuhur berjamaah.
Usai shalat berjamaah, panitia mengumumkan akan diadakan foto bersama para deklarator aliansi. Dan mengundang semua wartawan untuk naik ke lantai dua masjid. Itulah pertama kalinya saya masuk ke dalam gedung Masjid Al-Fajr.
Di lantai dua masjid, wartawan sudah berkerumun mengambil foto para orator dan deklarator yang berjejer di depan panggung. Saya turut mengambil beberapa foto, dan ikut bersama wartawan lain mengerumuni KH. Athian Ali Dai, Ketua FUUI yang menjadi penggagas acara ini.
Setelah saya rasa cukup, dan acara juga sudah selesai, saya berniat pulang. Tetapi baru saja saya jejakkan kaki di pintu keluar, saya bersenggolan dengan seorang lelaki berbaju koko biru yang saya kenal. Dia Bachtiar Nasir.
Menyadari lelaki berbaju koko biru itu adalah Bachtiar Nasir, saya langsung membatalkan niat saya untuk pulang. Baru-baru ini saja, saya mewawancari Bachtiar Nasir di rumah Hasyim Ning, Cikini, Jakarta Pusat saat konferensi pers di Forum Koalisi Politik Islam, Kamis (17/4) kemarin.
Saya ingat sekali waktu itu Bachtiar Nasir mengatakan bahwa koalisi politik Islam yang digagasnya (bersama Cholil Ridwan) akan menaungi umat Islam. Saya tanya, “Umat Islam yang mana, Pak?” Dia jawab, “Semua umat Islam”. Saya tanya lagi, “Termasuk Syiah?”, “Iya,” jawab Bachtiar. Saya merekam pernyataan itu lengkap dengan videonya.
Teringat hal itu, tentu saja asumsi-asumsi langsung berkelebatan di benak saya. Kenapa Bachtiar datang di acara ini? Kenapa ucapannya kemarin kontradiksi dengan kehadirannya hari ini?
Apakah deklarasi aliansi anti-Syiah ini adalah bagian dari langkahnya menggagas koalisi politik Islam dengan turut memberangus Syiah?
Saya ingin segera mengejar Bachtiar Nasir untuk bertanya dan memastikan dasar kehadirannya hari ini. Saya memutuskan untuk menunggunya selesai rapat.
Saya menunggu sambil tidur-tiduran di lapangan yang sudah mulai sepi di sekitar lokasi acara tanpa sadar itulah awal dari pengeroyokkan dan penganiayaan yang akan saya alami… (bersambung)