Berita
Janji Qasim Membela Pamannya
Lahir di Madinah, Qasim adalah putra Imam Hasan Mujtaba as. Ibunya dikenal dengan nama Ummu Walad. Imam Hasan as sangat mencintai Qasim. Beliau as mengasuh Qasim dengan penuh kasih sayang, kelembutan, perhatian, dan akhlak mulia. Karenanya, tak heran jika sejak kecil, Qasin sudah menampakkan kesalehan pada dirinya.
Ketika Imam Hasan Syahid akibat diracun istrinya atas perintah Muawiyah, Qasim baru berusia tiga tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhirz Imam Hasan as berpesan kepada adiknya, Imam Husain as agar mengasuh dan membesarkan Qasim, putranya.
Qasim pun dibesarkan di bawah asuhan pamannya yang penuh kasih sayang. Ia belajar dari pamannya tentang aqidah, akhlak mulia, kesabaran, keramahan, kedermawanan, bagaimana mengutamakan kepentingan orang lain dan berbagai adab-adab mulia lainnya dalam masa pertumbuhannya. Qasim menyaksikan berbagai kejadian dan penganiayaan yang terjadi di sekelilingnya. Oleh karena itu jiwanya dipenuhi dengan semangat juang yang tinggi, dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan kesyahidan ayahnya, sekarang pun ia dihadapkan pada berbagai kekacauan dan penyimpangan.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, tumbuhlah Qasim menjadi seorang remaja yang saleh, ia senantiasa membela pamannya berjuang di jalan kebenaran melawan orang-orang yang fasik. Hal ini terbukti di medan Karbala ketika pasukan Yazid mengepung rombongan pamannya dari berbagai penjuru, saat itu tidak ada sedikitpun jalan untuk menghindari pertempuran. Pada saat kritis tersebut Qasim tampil sebagai pejuang muda yang siap membela pamannya, dengan gagahnya ia berdiri tegak di tengah para pejuang Islam lainnya.
Qasim meminta izin dari pamannya agar dibolehkan ikut bertempur. Namun karena usianya yang masih muda belia Imam Husain belum mengizinkan.
Pada malam Asyura di hadapan pasukan setianya Imam Husain berkhutbah yang di antara isinya adalah mengizinkan siapun untuk meninggalkan Imam dan tidak ada sedikitpun celaan bagi yang akan meninggalkannya, namun dengan keteguhan hati yang sangat tinggi para pengikut Imam yang jumlahnya hanya 70-an tetap setia membela Imam as. Mereka bergembira karena Imam Husain sebelumnya telah memberitahu mereka bahwa besok hari mereka akan menemui syahadah.
Setelah khutbah Imam as selesai Qasem mendekati pamannya lalu berkata,
“Oleh siapakah aku akan dibunuh?”
“Bagaimana pendapatmu tentang maut?” tanya Imam menguji keponakannya.
“Maut bagiku lebih manis daripada madu,” jawab Qasim.
“Ya, seperti itulah anakku,” Imam Husain meyakinkan.
Siang 10 Muharram pertempuran pun terjadi, para pengikut Imam Husain mulai berguguran menemui kesyahidan setelah bertempur dengan sangat gagah dan menewaskan ratusan musuh. Sekarang tinggalah putra-putra dan keluarga dekatnya. Qasim kembali lagi menghadap pamannya untuk meminta izin ikut bertempur. Imam Husain memeluk dan mencium wajahnya keponakannya, dengan berat hati disertai dengan air mata Imam masih belum berani mengizinkan keponakannya ikut bertempur karena usianya yang belum pantas untuk ikut terjun ke medan pertempuran. Qasim kembali lagi ke tempatnya semula sambil menangis karena kecewa.
Pertempuran masih terus berlangsung dengan sengit, di antara mereka yang masih melanjutkan pertempuran tampak putra Imam Husain yaitu Ali Akbar, putra Ja’far bin Abi Thalib dan putra Muslim bin Aqil. Tanpa menyerah untuk kesekian kalinya Qasim kembali menghadap pamannya untuk meminta izin ikut bertempur, tampak di wajahnya semangat dan kerinduan meraih syahadah, melihat hal itu Imam Husain tidak mampu berbuat banyak kecuali mengijinkannya. Qasim tampak gembira, ia mengucapkan selamat tinggal kepada pamannya, demikian pula kepada keluarganya. Dengan cepat ia terjun ke medan pertempuran sambil bersyair
Kalau kalian ingin tahu, akulah putra Hasan
Cucu dari seorang nabi yang terpilih dan diimani
Inilah aku Hasan kecil bagaikan seorang tawanan yang tergadai
Apabila berada di tengah manusia, awan pun tak berani menerjunkan hujannya
Hamid bin Muslim seorang saksi peristiwa Karbala menceritakan tentang Qasim
“Pada pertempuran Karbala tampaklah seorang anak remaja dengan pedang terhunus siap menyerang kami, wajahnya indah bagaikan bulan purnama. Ia memakai gamis aku masih ingat salah satu tali sendalnya putus, kalau aku tak salah yang putus adalah yang sebelah kiri.
Melihat anak ini Umar bin Saad berkata, ‘Demi Allah akan ku bunuh anak itu.’
Aku Bertanya kepadanya, Subhanallah, apa yang akan kau lakukan, biarkan orang lain yang membunuhnya, kau lihat mereka sudah mengepung anak itu.’
Namun Umar tidak mempedulikannya, ia mendekati anak itu untuk menebas lehernya, tiba-tiba anak itu malah berbalik menantangnya sambil berteriak memanggil pamannya.
‘Wahai Paman, kemarilah! Awas, kau demi Allah, Paman Husain akan datang seperti elang menyambar!.’
Kemudian Qasim menerkam Umar dengan pedangnya bagaikan singa yang menerkam mangsanya, namun apalah artinya kekuatan seorang anak dibandingkan musuh-musuh yang terdiri dari orang-orang dewasa yang berbadan kekar, dengan sekali tebasan Umar berhasil memutuskan bahu anak tersebut kemudian ia menyeret dengan kudanya menjauhi Imam Husain. Setelah anak tersebut tidak bergerak lagi mereka tinggalkan jasadnya begitu saja. Imam Husain segera memburunya di hadapan kepala anak itu. Imam berkata,
‘Celakalah orang-orang yang telah membunuhmu, nak. Bagaimana mereka memusuhimu sedangkan kakekmu adalah Rasulullah. Betapa menyesalnya aku, engkau berulang kali meminta izin untuk ikut bertempur, sedangkan aku tidak mengabulkanmu, betapa tidak bermanfaatnya jawabanku itu nak. Demi Allah hari ini begitu banyaknya musuh namun betapa sedikitnya orang-orang yang membelaku.’ Lalu Imam memeluk jenazah Qasim didadanya, kemudian datanglah putra Imam Husein Ali Akbar menemani ayahnya.
Aku bertanya kepada orang-orang yang ada disekitarnya, ‘siapa sebenarnya anak itu,’ mereka menjawab bahwa anak itu adalah Qasim bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Semoga rahmat Allah tercurah bagi mereka semua.
Itulah keberanian seorang anak remaja yang saleh putra Imam Hasan yang syahid di bumi Karbala, ia telah berjuang di jalan kebenaran, ia telah menyirami bumi Karbala dengan darahnya yang suci, ia telah memenuhi janjinya untuk membela pamannya yang telah mengasuhnya semenjak kesyahidan ayahandanya. Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah selalu tercurah baginya.
Musa Sadr, Syuhada Padang Karbala