Berita
Imam Khomeini: Tangisan dan Pembacaan Kidung Duka Kekalkan Pemikiran Imam Husain as
Imam Khomeini qs menuturkan dalam Sahifah Nour pentingnya mengadakan acara duka di bulan Muharram. Beliau menegaskan, kidung duka Imam Husain as adalah demi melindungi pemikiran Imam Husain as sepanjang zaman.
“Mereka yang mengatakan jangan membaca kidung duka Imam Husain as pada dasarnya tidak tahu apa itu pemikiran Imam Husain as. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Tangisan dan pembacaan kidung duka Imam Husain as telah mengabadikan pemikiran Imam Husain as. Sekarang, 1400 tahun berlalu, pidato di atas mimbar, pembacaan kidung duka, pembacaan musibah, dengan memukul dada ini, berhasil menyelamatkan kita. Dengan ini, Islam dibawa. Ini peran yang mampu menghidupkan Islam. Sama seperti bunga yang senantiasa diberi air agar tetap hidup, segala tangisan ini mempertahankan pemikiran Imam Husain as. Pembacaan musibah juga berhasil menghidupkan kembali pemikiran Imam Husain as.”
“Kita harus memahami nilai penyelenggaraan acara ratapan duka ini. Bila mereka memahami dimensi politik dari acara ratapan duka Imam Husain as, niscaya mereka yang terbaratkan itu juga akan menyelenggarakannya dan meratapi duka Imam Husain as. Sebagaimana bangsa ini melakukannya, mereka juga akan melakukannya. Saya berharap majelis ratapan duka ini diselenggarakan lebih baik lagi. Karena mulai dari pidato hingga pembacaan kidung duka, semua memiliki pengaruh besar. Baik itu berupa seseorang berdiri di atas mimbar dan membacakan syair puisinya, hingga seorang khatib. Keduanya punya pengaruh besar. Pengaruhnya sangat alami. Pengaruhnya tetap ada sekalipun sebagian orang tidak tahu apa yang telah dilakukan. Pengaruhnya tetap ada tanpa mereka sadari.”
“Imam Husain as dengan jumlah yang sedikit telah mengorbankan segala yang dimilikinya. Beliau tegar menghadapi suatu imperium besar dan tetap mengatakan ‘tidak’. Setiap hari dan di segala tempat, sikap ‘tidak’ ini harus terjaga. Dan acara-acara ratapan duka inilah yang tetap mempertahankan kelanjutan sikap ini, sehingga ‘tidak’ tetap terjaga.
“Acara pembacaan musibah Imam Husain as adalah sumber mata air yang meluap-luap dan bermula dari Zuhur hari Asyura. Sejak Sayyidah Zainab as, sebagaimana dinukil, berdiri di atas Tel Zainabiyah, mengadu kepada kakeknya (Nabi Muhammad saw), dengan berteriak, ‘Wahai Muhammad! Semoga salawat para malaikat senantiasa bersamamu. Ini adalah jasad Husainmu yang terbungkus darah dan anggota tubuhnya telah terpisah-pisah, sementara jubah dan sorbannya dijarah.’” [Al-Luhuf ala Qatla at-Thufuf, hal. 133]
“Setelah itu, Sayyidah Zainab as mulai membaca kidung duka Imam Husain as dan menceritakan peristiwa Karbala dengan suara lantang. Padahal mereka ingin peristiwa ini tetap tersembunyi dan tidak diketahui oleh orang lain. Saudari Imam Husain as menjelaskan peristiwa yang sebenarnya terjadi dengan suara lantang, baik di Karbala, Kufah, Syam, maupun Madinah. Sumbernya telah mendidih sejak awal terjadinya peristiwa ini dan itu berlanjut hingga kini. Itulah peristiwa Asyura.”
“Kini hendaknya menyelenggarakan acara peringatan ratapan duka dengan cara yang konvensional, sama seperti berabad-abad lalu, di mana umat Islam dan ulama ikut dalam acara ini. Yakni, dibentuknya majelis ratapan duka, iringan ratapan duka, dan tempat-tempat ratapan duka yang memiliki kondisi sedih dan cinta kepada Ahlulbait. Hendaknya diusahakan agar pembacaan musibah, syair, ratapan duka lebih berisi, memiliki kandungan yang benar dan berasal dari para Imam Maksum as atau ulama besar.” (iqna.ir)