Berita
Ghadir Khum Bukan ‘Simsalabim’
Pada masa awal Islam, sebelum Rasulullah saw mendakwahkannya ke khalayak secara terang-terangan, pertama kali beliau mendakwahkan kepada keluarganya sendiri lebih dulu. Maka dikumpulkanlah sanak famili Rasulullah saw, dan ketika suasananya dipekirakan sudah pas, beliau pun menyampaikan dakwah dzul asyirah (dakwah kepada karib kerabat).
Nabi Saw bersabda,
“Tuhan telah memerintahkanku untuk mengajak kalian kepada-Nya. Siapakah di antara kalian yang mau membantuku berdakwah dan menjadi saudara dan penerusku?”
Sebagian besar dari sanak famili yang hadir kala itu menolak dan membenci ajakan itu, bahkan mencemooh Rasulullah saw. Namun tidak dengan Imam Ali as. Beliau bangkit dan mengumumkan dirinya siap menjadi pembantu Rasulullah saw dan memperingatkan siapa saja yang menentang Nabi saw.
Melihat keberanian dan kelantangan Imam Ali as, Rasulullah saw langsung memeluknya dengan ekspresi penuh kasih sayang.
Selanjutnya, ketika umat Islam memperoleh kemenangan dalam perang Khaybar, Rasulullah saw dengan jelas memuji dan menyampaikan kekagumannya pada Imam Ali as. Bahkan Nabi saw menyamakan posisi Imam Ali as seperti Nabi Harun as bagi Nabi Musa as.
“Engkau adalah bagianku dan aku adalah bagianmu. Kau akan mewarisiku…Engkau bagiku seperti Harun bagi Musa as. Engkau akan paling dekat denganku di Hari Kiamat dan paling dekat denganku di Telaga Kautsar. Permusuhan terhadapmu adalah permusuhan terhadapku, perang melawanmu adalah perang melawanku. Keimanan yang enngkau miliki sebanyak keimananku. Kau adalah gerbang bagiku.”
Ini merupakan pernyataan gamblang Rasulullah saw terkait posisi Imam Ali as bagi beliau. Tak akan ada dua Harun bagi Nabi Musa, dan posisi Imam Ali as di sisi Rasulullah saw laksana posisi Harun bagi Nabi Musa as. Kurang gamblang apa lagi pernyataan ini?
Kemudian pada Perang Tabuk. Ketika itu bangsa Romawi mengerahkan kekuatannya untuk menyerang umat Islam dan banyak suku Arab yang bergabung dengan pasukan Romawi. Rasulullah saw memutuskan untuk menghadapi pasukan musuh itu di tanah air umat Islam.
Di sisi lain, pemerintahan Rasulullah saw sedang mendapat tekanan dari dalam negeri berupa bencana kelaparan di wilayah Hijaz, Thaif, dan Yaman. Sehingga kaum munafik melancarkan propaganda dengan mengatakan bahwa bencana kelaparan terjadi sebagai tanda Allah Swt tak menyukai kaum Muslim dan ingin membinasakan mereka dengan kematian yang mengenaskan.
Maka jika pasukan Islam tumbang dalam pertempuran dengan Romawi, pastilah akan muncul pemberontakan-pemberontakan. Karenanya, pasukan Islam yang bertempur melawan tentara Romawi haruslah dipimpin sosok yang setia dan kuat. Lantas ditunjuklah Imam Ali as sebagai pengawal utama untuk mempertahankan benteng terakhir pertahanan pasukan Islam.
Kemudian Rasulullah saw bersabda,
“Ya Ali! Tidak ada yang mampu menjaga Negeri Muslim selain dirimu dan aku.”
Lalu pada 10 Hijriah, usai melaksanakan haji wada’, dalam perjalanan kembali pulang Rasulullah saw memerintahkan rombongan umat Islam yang jumlahnya sekitar 120 ribu jamaah untuk berhenti di sebuah tempat bernama Ghadir Khum.
Usai melaksanakan salat zuhur, Rasulullah saw meminta semua rombongan berkumpul. Lalu beliau berdiri di tengah dan memulai khutbahnya. Rasulullah saw menyampaikan khutbahnya dengan lantang dan tegas, sehingga seluruh khalayak yang hadir siang itu dapat mendengarnya dengan jelas. Mungkin itu adalah rapat terbesar yang pernah Rasulullah saw adakan.
Setelah menyampaikan beberapa pesan, beliau terdiam sejenak lalu memanggil Imam Ali as agar mendekat dan berdiri di dekatnya. Selanjutnya Rasulullah saw meraih tangan Imam Ali as dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil bersabda,
“Dengarlah dan ingatlah bahwa siapa pun yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali juga menjadi pemimpinnya. Dia bagiku seperti Harun bagi Musa as. Ya Allah! Semoga Engkau selalu dekat dengan teman-teman Ali dan memusuhi musuh-musuhnya, bantulah orang-orang yang membantu Ali dan gagalkan mereka yang mengkhianatinya.”
Peristiwa itu selanjutnya dikenal dengan Idul Ghadir, di mana Rasulullah Saw mendeklarasikan Imam Ali as sebagai pemimpin.
Rentetan kisah di atas membuktikan bahwa, peristiwa Ghadir Khum bukanlah peristiwa yang sekonyong-koyong muncul, seperti “simsalabim”. Namun, sudah sejak semula Islam diturunkan, ketika tidak ada satu pun yang mau mengikuti ajaran Rasulullah saw, Imam Ali as sudah pasang badan untuk Rasulullah saw dan Islam.
Sumber: M.Askari Jafari, Gold Profile of Imam Ali