Berita
Sayyid Murtadha: Ulama Idola Sepanjang Masa
Sayyid Murtadha bernama lengkap Ali bin Husain bin Musa, lahir tahun 355 H (966 M) dan wafat pada 436 H (1044-45 M). Beliau seorang fakih sekaligus teolog mazhab Imamiah yang sangat berpengaruh. Sepeninggal ayah dan saudaranya, Sayyid Radhi (kolektor ucapan Imam Ali dalam kitabnya, Nahjul Balaghah), beliau selama 30 tahun menjadi pembesar kelompok Alawi (keturunan Nabi saw), pemimpin haji, dan ketua dewan pemberantas kezaliman. Dewan ini menangani aduan masyarakat terhadap para penguasa dan gubernur.
Sayyid Murtadha sangat menekankan argumentasi akal dalam kajian-kajian akidah dan teologi. Selain itu, dalam pemikiran-pemikiran fikihnya, beliau condong pada pendekatan rasional. Karenanya, beliau termasuk pelopor metode ijtihad dalam fikih Syiah, yang dalam istimbat hukum menggunakan dalil-dalil rasional, tidak sebagaimana kaum Akhbari.
Baca juga Biografi Singkat Allamah al-Hilli
Selama proses kreatifnya, Sayyid Murtadha banyak menorehkan karya monumental dalam bidang fikih, ushul fikih, dan tafsir al-Quran. Sebagaimana gurunya, Syaikh Mufid, beliau mengingkari legitimasi khabar wahid. Menurutnya, berpegang pada khabar wahid bukan hanya tidak boleh dalam tema-tema akidah, bahkan dalam istimbat hukum-hukum fikih juga tidak dibenarkan.
Dari segi intelektual, Sayyid Murtadha yang berjuluk Alamul Huda ini memiliki posisi yang sangat tinggi. Suatu posisi yang hanya sedikit orang saja yang dapat mencapainya pada masa itu. Beliau sangat menonjol dalam banyak disiplin ilmu di masanya, seperti teologi, fikih, yurisprudensi, tafsir, filsafat, astronomi, dan sastra. Saking cerdasnya, beliau dianggap sebagai murid istimewa Syaikh Mufid. Sepeninggal gurunya, beliau dianggap sebagai ulama besar fikih, teolog, dan marja utama mazhab Syiah di masanya. Sayyid Murtadha juga dikenal sebagai penyebar agama pada awal abad kelima Hijriah.
Sayyid Murtadha termasuk sosok pemikir rasionalis. Beliau percaya bahwa untuk membuktikan Tuhan, diperlukan pencarian rasional dan penalaran. Karena, menurutnya, seseorang tidak dapat merujuk teks-teks agama untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Sebab, teks-teks agama sendiri dianggap valid tatkala Tuhan sudah dibuktikan melalui akal dan beberapa sifat-Nya juga sudah diketahui.
Pandangan Sayyid Murtadha ini berakar pada ajaran al-Quran bahwa prinsip-prinsip agama, termasuk keyakinan pada Allah, kenabian, konsep imamah, hari kebangkitan, dan keadilan– sebagai rukun Iman–tidak dapat diterima hanya dengan mengandalkan taklid dan ucapan orang lain. Prinsip-prinsip itu harus dibuktikan dengan argumentasi rasional. Baru setelah itu seseorang dapat memanfaatkan teks agama dalam menerima rukun-rukun agama lainnya.
Ulama besar ini memandang akal sebagai hujjah dalam berakidah dan kajian teologis. Maka, segala sesuatu yang bertentangan dengan akal dianggap batil. Karena itu, bila ada riwayat yang bertentangan dengan akal, beliau memilih pandangan akal dan percaya bahwa tidak semua riwayat yang disampaikan itu berstatus sahih.
Pada masa itu, kelompok Mu’tazilah juga aktif melakukan kegiatan ilmiah di Baghdad. Kelompok ini juga berpegang pada rasionalitas. Karena itu, beberapa pihak menganggap Sayyid Murtadha sebagai penganut mazhab Mu’tazilah, meski kenyataannya tidaklah demikian. Sebagai pemikir mazhab Syiah, beliau menentang pemikiran Mu’tazilah terkait sejumlah prinsip penting. Seperti konsep imamah, kemaksuman, iradah Ilahi, dan kehendak manusia.
Baca juga Kepeloporan Syiah dalam llmu Ushul Fiqih
Sayyid Murtadha memiliki pendekatan rasionalitas di bidang fikih dan meyakini bahwa jika tidak ditemukan dalil-dalil naqli untuk membuktikan hukum syariah suatu subjek, maka akal dengan sendirinya dapat menyingkap hukum syariah. Beliau termasuk salah satu pelopor metode ijtihad dalam fikih Syiah yang dalam istimbat hukum, menggunakan dalil-dalil rasional.
Sayyid Murtadha mewariskan banyak karya berharga. Almarhum Allamah Amini dalam kitab al-Ghadir menyebutkan 86 judul buku ulama besar itu. Salah satunya adalah buku koleksi puisi berisi 20 ribu bait. Di antara buku fikih yang ditulisnya adalah al-Intishar. Buku ini termasuk salah satu contoh kitab fikih pertama yang mengupas pelbagai masalah yang diperdebatkan kalangan Syiah dan Sunni. Dalam buku itu juga diungkapkan hukum-hukum yang berhubungan dengan fikih Syiah. Karya penting lainnya dalam bidang fikih adalah al-Nasiriyat. Buku ini ditulis untuk menafsirkan pandangan fikih kakeknya, Nasir Kabir.
Sayyid Murtadha menulis sebuah buku yang lengkap dan komprehensif dalam bidang yurisprudensi Syiah, yaitu az-Zari’ah ila Ushul asy-Syari’ah dan memberikan penilaian tentang pandangan mazhab lain. Kitab ini dianggap sebagai awal terbentuknya ilmu ushul fiqh di kalangan mazhab Syiah dan membuatnya terpisah dari ilmu ushul fiqih Sunni. Karya-karya lain Sayyid Murtadha adalah kitab Amali yang terkait dengan persoalan fikih. Lalu, buku-buku di bidang tafsir, hadis, syair, sastra, dan kitab asy-Syafi yang membahas konsep imamah.
Beliau sangat terkenal selama masa hidupnya. Konon, kuliahnya selalu dipadati mahasiswa dan sebagian ulama. Bahkan gurunya, Syaikh Mufid, sesekali juga ikut hadir dalam kuliahnya. Sayyid Murtadha memiliki rumah besar yang dijadikan sebagai madrasah dan mengajar berbagai mata kuliah seperti fikih, yurisprudensi, teologi, tafsir, bahasa, syair, astronomi, dan matematika. Muridnya datang ke Baghdad dari penjuru terjauh untuk menimba ilmu darinya.
Banyak muridnya yang mengalami kesulitan lantaran jauh dari kampung halaman. Akibatnya, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikannya selama di rantau. Sayyid Murtadha lalu memfungsikan sebagian rumahnya untuk para mahasiswa. Beliau menjadi orang pertama yang mengubah rumahnya menjadi madrasah dan tempat diskusi serta menyediakan sebuah perpustakaan besar untuk para mahasiswa.
Ketika buku-buku masih ditulis dengan tangan lantaaan belum adanya industri percetakan, perpustakaan Sayyid Murtadha mengoleksi hampir 80 ribu buku. Di madrasahnya, mahasiswa dari berbagai agama sangat terkesan dengan perilaku dan akhlak beliau. Kontribusi penting lain yang diberikan Sayyid Murtadha adalah mendedikasikan salah satu pabrik miliknya untuk memproduksi kertas yang dibutuhkan para ilmuwan dan fukaha.
Sayyid Murtadha meninggal dunia pada usia 80 tahunan, tanggal 25 Rabiul Awal 436 H di Baghdad. Jenasahnya dimandikan Abu al-Hussain Najashi dan murid-muridnya yang lain. Sementara salat jenasah dipimpin putranya, Sayyid Muhammad. Jenasah Sayyid Murtadha dimakamkan di rumahnya, di daerah Karkh, Baghdad. Jasad mulia Sayyid Murtadha kemudian dipindahkan ke Karbala dan dimakamkan di samping makam suci Imam Husain as. (wikishia/parstoday)