Connect with us

Akhlak

Imam Khomeini: Telaah Hadis Kibr [Bag. 2]

Dilihat dari perspektif lain takabur juga memiliki sejumlah tingkatan yaitu; (1) takabur terhadap Allah Swt, (2) takabur terhadap para nabi, para rasul-Nya dan para wali-Nya, (3) takabur terhadap perintah-perintah Allah Swt, dan ini juga sama dengan takabut terhadap Allah, (4) takabur terhadap makhluk-makhluk Allah Swt, dan ini menurut para ahli makrifat juga sama dengan takabur terhadap Allah Swt.

Takabur terhadap Allah Swt merupakan sifat yang paling buruk, paling rusak, dan paling tinggi derajatnya. Takabur ini ada pada orang-orang kafir, orang-orang yang ingkar, dan orang-orang yang mengaku sebagai tuhan. Kadang-kadang jejaknya terlihat pada beberapa orang mukmin. Takabur semacam ini menunjukan puncak kebodohan dan tidak adanya pengetahuan tentang batas-batas maujud yang mumkin dan kebesaran yang wajib ada [yaitu Allah Swt].

Baca pembasan sebelumnya Imam Khomeini: Telaah Hadis Kibr [Bag. 1]

Adapun takabur terhadap para nabi dan para wali Allah merupakan sikap yang lebih lazim pada masa mereka. Al-Quran menukil perkataan mereka dalam ayat berikut:

Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kami percaya kepada dua orang manusia seperti kami (juga). [QS. al-Mukminun: 47]

Disebutkan bahwa salah seorang dari kaum Nabi Muhammad pernah berkata [tentang diri beliau]:

Kalau saja al-Quran itu diturunkan kepada pembesar dari 2 kota [yaitu Mekah dan Tha’if]. [QS. al-Zukhruf: 31]

Selama masa-masa awal Islam keangkuhan terhadap wali-wali Allah seperti ini sangat sering terjadi. Dan sikap seperti itu juga masih terlihat ada pada perilaku sebagian pemeluk Islam.

Takabur karena perintah-perintah Allah Swt terlihat ada pada beberapa pelaku dosa seperti orang-orang yang tidak mau menunaikan ibadah haji lantaran menganggap pakaian ihram tidak layak bagi diri mereka, tidak mau menunaikan salat lantaran menganggap bersujud itu tidak sesuai dengan kedudukan dan status mereka. Keangkuhan seperti itu kadang-kadang terlihat ada pada orang-orang beriman, ahli-ahli ibadah dan alim-alim dengan meninggalkan berazan disebabkan oleh ketakaburan. Juga ada orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran jika itu diucapkan oleh karib kerabat atau orang yang berstatus rendah.

Kadang-kadang orang mendengar sesuatu dari teman-temannya dan dengan sengit menolaknya seraya menghina orang yang mengucapkannya, tetapi ia serta-merta menerimanya apabila itu disampaikan oleh seseorang yang lebih tinggi kedudukan keagamaan dan duniawinya daripada dirinya. Bahkan mungkin ia menerimanya dengan keseriusan yang sama dengan ketika ia menolaknya sebelumnya.

Orang semacam ini bukanlah orang yang mencari kebenaran tetapi keangkuhannya telah menutupnya dari kebenaran. Keangkuhannya telah membuatnya buta dan tuli terhadap kebenaran. Keangkuhan semacam ini pulalah yang membuatnya tidak mau mengajarkan ilmu tertentu atau nash tertentu sebab ia menganggap hal itu merendahkan harga dirinya atau membuatnya tidak mau mengajari orang-orang yang tidak memiliki kedudukan yang penting atau tidak mau berada di sebuah masjid kecil yang dihadiri sebuah kecil orang karena alasan yang sama, padahal ia tahu bahwa keridhaan Allah Swt terletak pada keberadaannya bersama mereka.

Kadang jejak-jejak keangkuhan sangat tidak kentara sehingga orang yang terkena keburukan ini kalau saja ia tidak berhati-hati dan bersungguh-sungguh mau mengoreksi diri tidak akan tahu bahwa perbuatan-perbuatannya menunjukkan adanya takabur dalam karakternya.

Contoh paling buruk takabur terhadap makhluk-makhluk Allah adalah takabur terhadap ulama. Pengaruh buruk takabur semacam ini lebih berbahaya daripada pengaruh buruk jenis takabur yang lain. Yang tergolong takabur semacam ini adalah tidak mau berada bersama orang miskin yang berada di depan dalam pertemuan di jalan dan di dalam kendaraan takabur ini merata dalam hampir semua kalangan masyarakat dari yang elit hingga ulama dan ahli hadis, dan yang dapat menghindarinya adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah Swt.

Kadang-kadang sangat sulit membedakan antara rendah hati dan memuja diri, serta antara takabur dan sikap menyendiri sehingga orang harus berlindung kepada Allah Swt supaya membimbing kita ke jalan yang lurus. Jika kita hendak memperbaiki diri dan berupaya mencapai tujuan kita Allah Swt pasti akan meliputi kita dengan rahmat-Nya yang tidak terbatas dan memudahkan kita berjalan di jalan petunjuk.

Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak”

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Akhlak

Eksistensi Ilmu Akhlak

Eksistensi Ilmu Akhlak

Ahlulbaitindonesia.or.id – Ilmu akhlak, yang merupakan cabang dari al-Hikmah al-‘amaliyah, memandang dimensi lain dalam eksistensi manusia dan mengarahkannya pada masalah tempat kembali dalam gambaran Qurani yang paling indah.

Allah Swt befirman: Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams: 7-10)

Nafs adalah esensi hakiki bagi manusia. Kandungan hakikinya adalah yang menentukan perjalanan manusia menuju kebahagiaan dan kesempurnaan, yang menjelaskan tempat kembalikya pada masa datang dalam kesengsaraan dan kegagalan atau dalam kemenangan dan kenikmatan.  Selama seseorang bersifat materialis membatasi pandangan pada alam fisik dan hubungan materi atau mengarahkan pandangan padanya, dirinya menjadi manifestasi dari apa yang Allah Swt firmankan: … Sungguh rugi orang yang mengotorinya.

Sayyid Abbas Nuruddin, Menerbitkan Cahaya Diri

Baca juga : Musuh Paling Keras

Continue Reading

Akhlak

Musuh Paling Keras

Musuh Paling Keras

Musuh Paling Keras

Rasulullah saw bersabda, “Musuh paling keras bagimu adalah dirimu (nafsumu) yang berada di antara kedua tulang rusukmu.” (Mizan al-Hikmah, VI, hal. 95)

Karena diri manusia adalah musuh paling keras bagi manusia, maka manusia wajib menundukkannya. Jika dirinya (nafsunya) telah ditundukkan maka manusia dapat menjadikannya sebagai tunggangan untuk melakukan kebajikan, dan dapat mengerjakan segala kebajikan yang menjadi kewajiban dan meninggalkan segala keburukan yang wajib dihindarinya.

Baca juga : Sebab Keutamaan Diam

Allah Swt befirman: Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS asy-Syams: 7-10)

Manakala manusia telah menyucikan dirinya, dan menjadikannya berada di bawah perintah akalnya, maka ia akan mampu mempersiapkan lahan yang baik baginya untuk berbuat dan bertindak secara bijak dan lurus dalam semua medan kehidupan.

Khalil Musawi, Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda

Baca juga : Sifat Mulia Imam Ja’far Shadiq

Continue Reading

Akhlak

Sebab Keutamaan Diam

Sebab Keutamaan Diam

Sebab Keutamaan Diam

Diam itu lebih utama lantaran lidah memiliki banyak bahaya seperti dusta, menggunjing, mengadu domba, memaki, berdebat (demi mencari kemenangan), ikut campur urusan orang lain, menyakiti orang lain, menyingkap aib orang lain, dan lain-lain.

Bahaya lidah bisa disebabkan lantaran tabiat seseorang atau berasal dari tipuan setan. Orang yang terjebak dalam bahaya lidah jarang yang mampu menggunakan lidahnya untuk hal yang penting dan menahannya dari hal tak penting. Ini disebabkan sulitnya mengetahui kapan seseorang harus berbicara dan kapan harus diam.

Baca juga : Musuh Paling Keras

Oleh karena itu, diam jauh lebih utama. Di samping itu, diam membuat orang berwibawa dan memberinya waktu luang untuk merenung, beribadah, dan berzikir. Diam juga akan menghindarkan manusia dari dampak negatif bicara di dunia dan hisab atasnya di akhirat.

Allah Swt befirman: Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS. Qaf: 18)

Fidha Kasyani, Mengobati Penyakit Lisan

Baca juga : Sifat Mulia Imam Ja’far Shadiq

Continue Reading

Trending