Akhlak
Imam Khomeini: Telaah Hadis Ujub [Bag. 6]
Cinta Diri sebagai Sumber Ujub
Sifat buruk ujub berasal dari cinta diri yang telah tertanam dalam fitrah manusia. Sumber semua kesalahan, kemaksiatan dan keburukan moral adalah cinta diri sendiri, manusia membesar-besarkan perbuatan remehnya dan dengan demikian memasukkan dirinya ke dalam kelompok para wali dan orang-orang yang dekat dengan Allah Swt. Karenanya ia tidak hanya memandang dirinya patut mendapat pujian dan penghormatan karena perbuatan-perbuatan remehnya itu tetapi kadangkala ia juga memandang perbuatan buruknya sebagai baik, jika ia melihat adanya perbaikan moral dan kesalehan yang lebih besar pada orang lain ia tidak saja menganggapnya tidak berarti, tetapi juga mencoba merusakkan kesan baiknya sedapat mungkin.
Baca pembahasan sebelumnya Imam Khomeini: Telaah Hadis Ujub
Ia selalu melihat adanya kebaikan dalam perbuatan-perbuatan buruknya sekalipun dan berusaha mewarnainya dengan warna-warna yang semarak. Ia memandang rendah makhluk-makhluk Allah Swt yang lain dalam hatinya, sementara ia berpikir tentang dirinya sendiri dengan optimisme, memandang dirinya amat tinggi. Disebabkan cinta diri yang sama ini juga lah sehingga ia berharap tindakan-tindakan remehnya dan tindakan-tindakannya yang telah dirusakkan oleh ribuan noda cukup berharga untuk diberi balasan oleh Allah Swt.
Lebih baik jika kini kita merenungkan perbuatan-perbuatan baik kita dan ibadah-ibadah kita secara rasional. Kita harus mencoba menilainya dengan adil dan melihat apakah kita memang berhak memperoleh balasan baik dari Allah Swt dan mendapat pujian atas dasar perbuatan-perbuatan itu. Ataukah sebaliknya kita patut dikecam dan dihukum karenanya. Dan jika Allah Swt akan memasukkan kita ke dalam nyala api kemurkaan-Nya disebabkan perbuatan-perbuatan itu yang kita pandang sebagai perbuatan baik apakah Dia cukup adil untuk melakukannya?.
Saya akan memintamu untuk menjadi hakim guna menilai dengan adil masalah berikut ini setelah melakukan perenungan yang mendalam. Pertanyaan saya adalah bahwa jika Rasulullah saw yang kejujurannya telah diakui berkata kepadamu, “Tidak ada pengaruhnya di dunia yang akan datang nanti apakah engkau beribadah kepada Allah sepanjang hidupmu, mematuhi perintah-perintah-Nya dan menahan segala hawa nafsu, atau apakah engkau tidak dengan membangkang kepada-Nya dan menuruti saja seluruh hawa nafsumu? Perilaku ini tidak akan mempengaruhi kedudukanmu di akhirat. Apapun yang kau lakukan kau akan memperoleh penyelamatan dan dimasukkan ke dalam surga, serta bebas dari siksaan-Nya. Tidak ada pengaruhnya apakah engkau melakukan salat atau terlibat maksiat. Meskipun demikian ridha Allah Swt ada pada orang-orang yang menyembah-Nya memuji dan bersyukur kepada-Nya serta menahan hawa nafsunya di dunia ini meskipun untuk itu tidak ada balasannya.”
Jika engkau diberi pilihan tersebut apakah kau akan menyembah-Nya atau melakukan dosa? Akankah engkau menahan hawa nafsumu demi memperoleh ridha Allah Swt atau tidak? Dan apakah engkau masih mau melakukan ibadah-ibadah sunnah, salat Jumat, dan salat berjamaah? atau engkau akan bergelimang dalam kemewahan hiburan dan syahwat?
Saya berharap engkau akan menjawab pertanyaan ini dengan adil tanpa ada praanggapan lain, dan dengan jujur pula. Sedangkan aku dan orang-orang lain yang seperti diriku, kami pasti akan berada dalam kelompok yang melakukan dosa, mengabaikan kewajiban kami terhadap-Nya dan terseret oleh tarikan indrawi kami.
Dari sini kita memperoleh kesimpulan bahwa seluruh perbuatan kita berfungsi sebagai sarana untuk memuaskan keinginan kita dan mengikuti tarikan jasmaniah kita. Kita adalah penyembah daging kita sendiri. Kita menghentikan satu kenikmatan demi kenikmatan yang lain lebih besar. Tujuan yang kita kejar, harapan kita yang tidak pernah mati adalah untuk memuaskan jasmani yang kita. Salat yang merupakan sarana untuk mencapai kedekatan dengan-Nya kita lakukan dengan harapan agar kita dapat berkumpul bersama para bidadari surga, ibadah kita juga tidak ada hubungannya dengan kepatuhan terhadap perintah-Nya dan ribuan mil jauhnya dari keridhan Allah Swt.
Engkau makhluk yang malang tidak mengetahui ajaran Allah Swt, engkau yang tidak memahami apapun kecuali dorongan-dorongan hewanimu. Engkau yang meskipun dengan terpaksa melakukannya merasa bangga dengan mengingatnya menyebut-nyebut namanya mematuhi kewajiban yang diperintahkan dan menghindari apa yang dilarang-Nya. Engkau yang mematuhi aturan-aturan akhlak dan tidak melakukan apa yang diharamkan ingin dihakimi dengan adil atas semua perbuatanmu yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan jasmani agar dapat duduk bermalas-malasan di atas kursi yang bertahtakan batu delima di surga di tengah hadiah-hadiah yang menyenangkan, berpakaian sutera, memiliki rumah megah di sana, adilkah untuk berfikir bahwa keseluruhan perbuatan itu yang dilakukan demi memuaskan ego kita dan memenuhi keinginan diri kita dilakukan semata-mata demi Allah?
Engkau yang melakukan perbuatan baik dengan harapan memperoleh balasan yang seimbang tidak berbeda dari seorang pekerja yang bekerja demi upah lalu berkata bahwa ia bekerja semata-mata demi tuannya? Apakah engkau bukan seorang pendusta ketika engkau berkata bahwa engkau melakukan salat demi Allah semata-mata?
Engkau lakukan untuk mencapai kedekatan dengan Allah Swt atau agar engkau dapat berkumpul bersama para bidadari surga dan memperoleh kenikmatan-kenikmatan jasmaniah? Biarlah saya katakan secara terang-terangan bahwa seluruh salat seperti itu dipandang sebagai sama dengan dosa besar oleh para arif dan wali Allah Swt.
Engkau, wahai makhluk yang malang, berbuat menentang keridaan Allah Swt di hadapan para malaikat dan ibadah yang dimaksudkan sebagai sarana pendakian menuju kedekatan dengan-Nya kau salah gunakan untuk memuaskan diri wadagmu. Dan meskipun begitu kau sama sekali tidak merasa malu atas seluruh dusta yang kau ucapkan di hadapan Allah Swt dan para malaikat-Nya selama salatmu. Dan seakan-akan itu belum cukup kau membuat beberapa tuduhan terhadap Allah Swt, berpikir seakan-akan engkau sedang memerintahkan Allah Swt, bersenang-senang dalam ujubmu, dan sama sekali engkau tidak merasa malu atau menyesal sementara melakukan semua itu!
Apakah bedanya antara ibadah yang kita lakukan ini dengan perbuatan dosa yang pada bentuk paling ekstrem yang merupakan riya? Riya adalah jenis syirik dan keburukannya hanya terletak pada ibadah yang dilakukan bukan karena Allah Swt, bukan untuk Allah. Seluruh ibadah dan kepatuhan kita adalah syirik murni yang sama sekali tidak mengandung setitikpun keikhlasan. Tujuan memperoleh keridhaan Allah Swt tidak tersirat sama sekali di dalamnya –untuk sebagian kecilnya pun– tetapi satu-satunya dorongan adalah pemuasan perut dan farji.
Bersambung..
Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak”