Berita
The Syrian Virus: Apa Antisipasi Jakarta?
Dari Washington, Moskow, London, Paris, Brussel, Jenewa, New York dan pelbagai ibukota negara lain kita dengar kabar santer soal bahaya meriapnya virus terorisme yang merongrong Suriah ke seluruh penjuru dunia. Ukurannya bukan dekat atau jauh secara geografis, tapi apakah ada ancaman yang dapat ditimbulkan dari perang yang disponsori kekuatan hegemonik di Suriah terhadap negara kita? Apakah ada warga negara kita, atau negara mana pun, yang ikut bergabung dalam aksi kekerasan di bumi Syam itu atau tidak? Apakah ada milieu domestic yang menopang ‘jihad’ di Suriah? Apakah negara tertentu telah menjadi habitat bagi tumbuhnya spesies baru jihadis takfiri yang jauh lebih mengerikan daripada mujahidin Afghanistan; mutan yang lahir dari rahim organisasi seperti Islamic State of Iraq and Sham/Levant (ISIS/L), Jabhat An-Nusra, Ahrar Al-Sham, faksi-faksi militer Free Syrian Army yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin Suriah dan sebagainya?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting untuk kita jawab, lantaran Indonesia jelas masuk dalam kategori di atas. Suka atau tidak suka, sejumlah warga Indonesia melibatkan diri dalam perang di Suriah. Kehadiran mereka di sana bukan saja sebatas propaganda, pengumpulan dana, pengiriman bantuan medis, dan sebagainya, melainkan juga telah sampai pada pengiriman pasukan. Mereka kesana baik dengan kesadaran penuh untuk ikut membunuh warga negara lain atau tergiur iming-iming ‘pahala jihad’, ‘gugur sebagai syuhada’ dan janji-janji indah ‘bidadari di surga’. Fakta keberadaan kelompok ini sudah sejak lama tersimpan di Kementrian Luar Negeri Suriah, Kemenlu Indonesia, badan-badan keamanan di bawah PBB, sejumlah badan intelijen negara di kawasan Timur Tengah, CIA, dan sebagianya. Sejumlah media massa juga telah memverifikasi data tersebut.
So, apa yang sudah atau akan kita lakukan? Kebijakan apa yang sudah dan sedang kita rancang untuk menanggulangi konsekuensi dari keterlibatan aktif warga Indonesia di sana? Naga-naganya, sejauh ini pemerintah belum punya kebijakan apalagi langkah-langkah konkret untuk mencegah dampak-dampak keterlibatan sejumlah warganegara Indonesia di sana. Atau, setidaknya publik belum mengetahui ihwal respons pemerintah terhadap kasus yang sangat berbahaya ini. Jika perang Afghanistan kita anggap ‘berbahaya’ akibat banyaknya mujahidin Indonesia yang ikut terlibat di sana dan dan pulang menjadi kombatan yang mengangkat senjata melawan aparat, maka bahaya dampak konflik sipil di Suriah bisa dipastikan jauh lebih besar — dan membunuh. Jika perang Afghanistan butuh waktu setidaknya 10 tahun untuk menimbulkan bahaya teror global, maka konflik di Suriah hanya butuh waktu kurang dari 3 tahun. Untuk saat ini, kita tidak akan membahas apa saja faktor yang membedakan kedua konflik berbau religius itu dan mengapa Suriah dianggap lebih berbahaya daripada Afghanistan. Di sini, kita hanya perlu ingat fakta ini: bahaya spillover kedua konflik ini jelas berbeda jauh, lantaran di Suriah kita berbicara tentang kombatan yang membunuh sesama Muslim dari wilayah yang sama, sedangkan di Afghanistan kita berbicara tentang kombatan yang membunuh penjajah asing dari wilayah yang berbeda.
Nah, mari kita simak reaksi sejumlah negara yang sejak mula terlibat mendukung para pemberontak Suriah. Kita mulai dari Arab Saudi. Sudah jadi rahasia umum kalau kerajaan penghasil minyak terbesar di dunia itu sejak semula merupakan penyokong terbesar pemberontakan bersenjata di Suriah. Tapi, sejak sebulan silam, Saudi justru telah membuat daftar hitam organisasi teroris yang berisi lebih dari 90 % faksi bersenjata yang paling aktif di Suriah, seperti ISIS, Jabhatun Nusra, Ikhwanul Muslimin, Ahrar Al-Sham dan sebagainya. Kebijakan Saudi ini sebenarnya cukup kontradiktif dengan sikapnya yang getol mendukung aksi-aksi kekerasan melawan rezim Assad dan penolakannya atas solusi diplomatik-politik. Namun, kepentingan nasional telah membuat Riyadh — dan banyak lagi negara lain — tak kenal malu menerapkan standar ganda. Meski dikenal sebagai salah satu eksportir teroris terbesar, ia kini melarang warganya bergabung dengan organisasi-organisasi teroris yang nengaku berjihad di Suriah. Bagi warga Saudi yang telah bergabung, ada batas waktu untuk segera pulang dan mendapatkan ampunan. Yang melanggar batas waktu itu akan dicabut kewarganegaraannya dan dihukumi sebagai teroris. Sejurus dengan itu, sejumlah ulama Saudi juga telah memfatwakan haramnya keikutsertaan warganegara Saudi dalam perang saudara di Suriah. Dalil mereka ialah keharusan menghindari fitnah.
Nah, seperti Saudi, Amerika Serikat sebagai inkubator ekstrimisme juga mulai merasakan bahaya pukulan balik saat perang di Suriah memasuki tahun ketiga. Kementerian Keamanan Dalam Negeri atau yang dikenal dengan Departement of Homeland Security (DHS) telah meningkatkan kesiagaan menyangkut keterlibatan sejumlah warga Amerika di Suriah. Menteri DHS Jeh Johnson memperingatkan seluruh jajarannya agar mengawasi status beberapa warga AS yang ‘berjihad’ ke Suriah dan memastikan apakah mereka berniat kembali atau tidak. Johnson menyatakan perlunya koordinasi aparat keamanan di tingkat global untuk mengamati tiap warganya yang ikut berperang di Suriah.
DHS, seperti dikutip Huffington Post, tidak memiliki data akurat ihwal jumlah warganya yang pergi ke Suriah. Namun, konsultan pertahanan Inggris, IHS Jane’s, memperkirakan jumlahnya mencapai puluhan orang. Sementara itu, sejumlah sumber pemerintahan di Uni Eropa menyebut antara 1.200 sampai 1.700 orang warga Eropa yang bergabung dengan pemberontak di Suriah.
Masih dari Huffington Post, Direktur Dinas Telik Sandi Amerika (NSA), James Clapper, akhir Januari silam telah meluncurkan sebundel info kepada Komite Intelijen Senat menyangkut upaya kelompok-kelompok al-Qaeda di Suriah untuk membuka pusat-pusat pelatihan. Clapper menggambarkan tujuannya untuk “melatih kombatan yang ingin segera pulang ke negara masing-masing”. Bagi Clapper, intelijen ini mengungkapkan ancaman paling nyata bagi AS selama satu dekade terakhir. Clapper juga memperkirakan tidak kurang dari 7.000 warga asing dari 50 negara, termasuk Eropa dan Asia, telah bergabung aktif dengan kaum ekstremis dan pemberontak di SUriah.
Tapi, bagi Johnson, kekhwatirannya bukan terpusat pada sejumlah orang yang telah bergabung dengan kelompok ekstremis di Suriah. “Melainkan keinginan mereka untuk terus merekrut orang baru, mengindoktrinasi dan memulangkan mereka dengan ideologi dan pandangan ekstremis baru mereka,” katanya. “Suriah telah menjadi masalah keamanan dalam negeri bagi kami. DHS, FBI dan komunitas intelijen AS akan terus bekerja melacak mujahid asing yang paling membahayakan keamanan dalam negeri.”
Johnson kemudian menjelaskan bahwa hal yang paling mengkhawatirkannya ialah munculnya para teroris “serigala kesepian” yang biasanya tidak pernah mendapatkan latihan keterampilan dari al-Qaida tapi punya kemarahan yang liar dan membuncah. Johnson menyebut tersangka bom di Boston Marathon sebagai contoh. “Kelompok ini mungkin paling susah dideteksi, karena mereka adalah pelaku mandiri yang tinggal di tengah-tengah kita, dengan akses pada benda-benda yang, di tangan yang salah, dapat berubah menjadi senjata kekerasan massal,” katanya.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, awal Februari silam bertemu Presiden Perancis, François Gérard Georges Nicolas Hollande, untuk memperkuat kerjasama Eropa menghadapi apa yang mereka gambarkan sebagai ancaman rembesan konflik Suriah. Menlu Inggris William Hague sebelumnya juga mengingatkan Uni Eropa bahwa Suriah telah menjadi ‘magnet jihad’ dari seluruh dunia, tidak terkecuali warga Eropa sendiri.
Badan keamanan Belgia medio Desember 2013 telah menyebar informasi bahwa tidak kurang dari 5.000 jihadis pemegang paspor Eropa telah berangkat jihad ke Suriah. Di sana mereka bergandengan tangan dengan organisasi-organisasi turunan al-Qaedah. “Kita harus mengantisipasi kepulangan mereka, cara-cara menangani kasus ini, upaya-upaya penceagahan dan terutama pertukaran informasi seputar dokumen-dokumen keberangkatan mereka,” tandas Menteri Dalam Negeri Belgia, Joelle Milquet.
Hingga saat ini, puluhan badan keamanan dunia telah bekerja memburu warganegara masing-masing yang diduga ikut berjihad di Suriah. Rezim Suriah sendiri terang-terangan menyatakan bahwa sekarang banyak sekali negara Eropa yang menjalin kembali kontak dengan Suriah untuk tujuan ini. Mobilisasi jihad global atas di awal 2011 untuk menjatuhkan Assad ternyata terlalu cepat berbalik jadi senjata makan tuan. Jika dalam kasus Afghanistan masa inkubasi mujahid menjadi teroris perlu setidaknya satu dekade, maka dalam kasus Suriah telah terjadi katalisasi yang mencengangkan. Dalam kurun waktu 2-3 tahun mujahid atau jihadis telah sepenuhnya menjadi teroris yang siap melakukan bom bunuh diri. Tentu banyak faktornya, tapi tidak bisa dipungkiri ada faktor infeksi kebencian yang demikian akut dalam benak para jihadis itu hingga tidak menemukan cara lain kecuali mengekspresikannya dalam aksi kekerasan yang paling brutal.
Akhirnya, semuanya terpulang pada apa yang telah dan bakal ditempuh pemerintah Indonesia untuk menangka bahaya di depan mata ini. Kita hanya bisa berharap. (Islam Times/MK)
Sumber: islamtimes.org