Berita
Hukum Orang yang Tidak Mendengar Seruan Islam
Sangat mungkin di benua Australia, Afrika, bahkan Amerika masih terdapat kelompok-kelompok yang sama sekali belum mendengar tentang Islam. Atau mereka mendengarnya namun belum terpenuhinya fasilitas dan sarana yang cukup untuk mengenal dan memeluknya. Lantas, apakah yang akan mereka dapatkan setelah kematian kelak?
Jawaban:
Sudah barang tentu kelompok-kelompok yang termasuk dalam pertanyaan tersebut tidak akan pernah mengalami azab setelah kematiannya dan tidak pula terkena sasaran untuk ditanya dan disiksa. Ini berdasarkan apa yang ditetapkan akal dan syariat; di situ pula bergabungnya hukum rasio dan agama. Darinya, akal sehat dengan jelas menghukumi bahwa hisab serta siksa terhadap mereka tidak beralasan. Ini merupakan perkara yang menyimpang dari keadilan Allah Swt.
Sedangkan dalil-dalil nash yang ada pada kita antara lain adalah firman Allah Swt dalam surah an-Nisa ayat ke-98 dan 99: “Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki maupun wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan [untuk hijrah] mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Penulis kitab Kifayah al-Muwahhidin yang juga penulis Kitab Tafsir terkenal, Majma al-Bayan, Allamah Thabarsi, mengatakan bahwa mereka yang tertindas termasuk di dalamnya laki-laki dan wanita, tergolong di antara orang yang lemah akalnya atau belum beroleh hujjah lantaran kurangnya akal mereka; atau Islam itu sendiri belum sampai ke pendengaran mereka sama sekali; atau boleh jadi telah sampai ke mereka namun kemampuan mereka lemah dalam mempelajari hingga memperoleh Islam dan iman.
Baca juga Alamah Thabathabai: Di Hadapan Hukum dan Keadilan, Semua Sama
Di antara ciri-ciri mereka adalah dungu, gila, tuli, dan bisu; dus mereka yang hidup di masa jahiliyah dan mati sebelum mengetahui cahaya Islam. Semua itu termasuk orang-orang yang tertindas. Di mana mereka belum mendapatkan hujjah. Adapun orang kafir adalah orang yang menjalani masa hidupnya dengan tidak beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, lalu mati dalam keadaan tersebut.
Sedangkan fasik adalah orang yang melakukan perbuatan dosa, maksiat, kezaliman, atau mengerjakan perbuatan yang diharamkan hingga mati tanpa bertaubat atas dosa-dosa dan kemaksiatannya. Balasan dan azab setelah mati bagi orang-orang seperti mereka berkorelasi dengan tingkat keterbatasan maupun kelalaian mereka.
Adapun bagi mereka yang memiliki kekurangan, maka mereka tidak akan mendapatkan azab. Namun, jika lalai, mereka akan mendapatkan azab akibat kelalaian itu. Kondisi keterbatasan itu sama dengan ketidakmampuan untuk menciptakan atau memperoleh sesuatu. Adapun kelalaian sama dengan tindakan meninggalkan sesuatu.
Guna memperjelas perbedaan keduanya, katakanlah ada seseorang yang tinggi badannya tidak mencapai satu meter namun obat atau makanannya berada di ketinggian dua meter. Sementara yang tidak memiliki sarana untuk menggapai atau naik ke atas, maka orang semacam ini dikatakan sebagai orang yang tidak dapat meraih obat atau makanan yang diperlukan guna mengobati diri atau menjaga hidupnya. Jika mati dalam kondisi ketidakmampuan ini, maka ia tidak tergolong sebagai orang lalai melainkan termasuk orang yang memiliki keterbatasan dan tidak akan disiksa maupun dihisab. Sebab, ia tidak lalai dalam memperoleh sarana untuk mendapatkan obat dan makanannya karena memang tidak mampu dan memiliki keterbatasan.
Sebaliknya, orang yang tingginya mencapai dua meter dan bisa berdiri untuk mengonsumsi obat atau makanannya, namun tetap duduk dan meninggalkan penyelamatan atas dirinya, lalu mati akibat kelalaian itu, maka ia akan dihisab dan disiksa karena kelalaiannya dan bukan termasuk orang yang tak mampu atau terbatas.
Berdasarkan perbedaan antara orang yang tak mampu dan orang lalai, maka siapa saja yang mati dan tidak mampu untuk meraih keimanan kepada Allah Swt dan hari akhir, serta keyakinan-keyakinan lainnya, akibat kelemahan atau kekurangan pada organ akal dan pengetahuannya, maka ia tidak akan dihisab atau diazab. Hukum yang sama juga berlaku bagi orang yang belum pernah mendengar hal itu dan benar-benar tidak dapat memperolehnya. Orang-orang semacam ini tidak akan diazab sebagaimana yang telah kita tekankan dengan hukum bahwa ia termasuk orang-orang yang tidak mampu, bukan orang-orang lalai.
Lain hal dengan orang fasik. Hukum rasio fitrah manusia menghukumi dosa mereka sebagai sesuatu yang buruk dan tercela; seperti pembunuhan, mencaci, menzalimi orang, dan sebagainya. Ia tidak tergolong orang yang tidak mampu. Ia akan mendapatkan perhitungan serta siksa sebagai balasan atas apa yang telah diperbuatnya.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa orang kafir termasuk golongan yang tercakup dalam pertanyaan yang tidak diazab dari sisi kekafirannya dan disebabkan ketidakmampuannya. Namun, mereka akan diazab atas apa yang telah dilakukannya seperti membunuh dan sebagainya, di mana akal sehat menghukumi sebagai buruk dan haram. Sebab, orang semacam ini dapat membela diri dari sisi kekurangan dan ketidakmampuannya untuk memahami Islam serta mengetahui tonggak-tonggak dan hukum-hukumnya. Namun begitu, ia tidak dapat memiliki hujjah atas pembunuhan terhadap jiwa manusia walaupun ia tidak mengetahui haramnya hal tersebut dalam hukum Allah Swt.
Dengan demikian, apa yang dihukumi akal dan hatinya berkenaan dengan keburukan dan keharaman perbuatan tersebut akan menjadi hujjah baginya dan mendatangkan siksa. Adapun dosa-dosa yang tidak ditetapkan kecuali melalui hukum-hukum syariat, seperti salat dan puasa, maka seseorang tidak akan terkena hisab jika benar-benar tidak mampu melakukannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap hal itu dan tidak boleh diazab sebagaimana yang telah kita singgung dalam jawaban di atas. Jika ingin merujuk lebih mendalam lagi, Syahid Muthahhari telah menyebutkan pelbagai jenis aspek yang berkaitan dengan masalah ini dalam kitab al-Adil al-Ilahi [Keadilan Ilahi].
Abdul Husein Dasteghib, Menepis Keraguan Beragama