Berita
Klarifikasi Kepemimpinan Usia Dini Imam Mahdi as (3/8)
Salah satu konsekuensi konsep Mahdawiyah menurut Ahlulbait adalah keyakinan pada kepemimpinan dini Imam Mahdi as. Terkadang konsekuensi atau ciri ini ditinjau dari sudut pandang agama dalam upaya membuktikan dan menyanggah berbagai kritik terhadap ajaran agama. Adakalanya pula ditinjau dari sudut realitas dalam upaya menjelaskan kepemimpinan itu, yakni kepemimpinan konkrit yang dilengkapi kriteria memadai, bukan kepemimpinan yang dipaksakan atau diklaim begitu saja.
Pembahasan sebelumnya Sejarah Wujud Imam Mahdi as (2/8)
Jika ditinjau dari sudut pandang agama, pertama-tama kita akan menyadari pentingnya memahami duduk perkara imamah; apakah itu perkara akidah? Atau hukum syar’i? Jika benar perkara akidah, kita mendapatkan al-Quran sedemikian tegas dalam menerangkan keniscayaan kenabian seorang anak kecil; padahal keniscayaan ini merupakan perkara akidah. Allah Swt berfirman: Wahai Yahya! Terimalah kitab itu dengan kekuatan dan Kami telah memberikan kepadanya hukum dalam keadaan masih kecil. (QS. Maryam: 12)
Jika imamah termasuk perkara hukum syar’i, maka salah satu hukum Islam paling jelas adalah ke-tak-kuasaan anak kecil, dan siapa saja yang tidak memiliki hak kuasa, maka ia pun tidak memiliki kekuasaan atas dirinya sendiri. Lalu, bagaimana mungkin kekuasaan atas orang lain akan dilimpahkan kepadanya? Maka dari itu, kepemimpinan anak kecil menurut hukum syar’i bersifat ilegal.
Kaum muslimin berbeda pendapat dalam masalah ini. Empat mazhab Ahlussunnah memandang khilafah dan imamah sebagai perkara hukum syar’i dan sejenis ikhtiar hamba. Sementara para ulama Syiah memandangnya sebagai masalah teologis dan ushuluddin; di mana keduanya termasuk urusan kekuasaan Allah Swt, bukan urusan dan ikhtiar hamba. Karena itu, tatkala mazhab Ahlulbait meyakini kepemimpinan dini sejumlah imam mereka, termasuk Imam Mahdi as, pada dasarnya [keyakinan itu] sesuai dengan cara pandang tersebut, dan tidak bisa disanggah dari segi teologis selama al-Quran menegaskan kenabian dini Nabi Yahya as. Selain itu, tidak pula dapat dipermasalahkan dari segi hukum syar’i mengingat masalah tersebut, menurut Ahlulbait as, berada di luar koridor syariat alias berada dalam koridor akidah.
Adapun hukum-hukum syariat mengenai hak kuasa anak kecil hanya berlaku atas hamba; bukan atas Allah Swt. Karena, hukum syariat itu merupakan ketentuan Allah Swt yang ditujukan kepada hamba.
Dengan demikian, jelas sudah tujuan kita dalam mengetengahkan kenabian dini Nabi Yahya as sebagai argumen; yakni, menjelaskan bahwa sebagaimana ihwal kenabian, imamah juga termasuk masalah teologis yang tidak tunduk pada ukuran manusia, tidak pula tunduk pada batas-batas syariat yang diturunkan untuk mengatur perilaku hamba; tidak untuk diberlakukan atas Tuhan alam semesta.
Maka dari itu, kenabian dini Nabi Yahya as meyakinkan kita bahwa masalah teologis itu ditangani oleh argumentasi; jika argumentasi teologis membuktikan kepemimpinan seorang anak kecil, maka kita akan menerimanya sekuat kita menerima kenabian seorang anak kecil manakala ditemukan argumen teologis atasnya. Tentu tidaklah tepat bila dikatakan bahwa berdalil dengan kenabian Nabi Yahya yang masih kecil tidaklah berarti apa-apa, karena kenabiannya secara gamblang telah dinyatakan dalam al-Quran, sementara masalah Mahdawiyah tidak pernah disinggung di dalamnya.
Syahid Muhammad Baqir Shadr mengatakan, “Kepemimpinan dini merupakan fenomena yang telah dialami kakek-kakek Imam Mahdi as. Sebagai contoh, Imam Muhammad Jawad as memangku imamah (kepemimpinan) dalam usia delapan tahun [Ibnu Shibag Maliki, al-Fushul Muhimmah, 253 dan Syaikh Mufid, al-Irsyad, 2/274], Imam Ali Hadi as dalam usia sembilan tahun, dan ayahanda beliau, Imam Hasan Askari as menjabat imamah saat masih berusia 12 tahun. Puncak keunikan fenomena ini terjadi pada masa Imam Mahdi as dan Imam Muhamnad Jawad as.
“Saya menyebutnya sebagai fenomena karena hal tersebut terjadi pada sejumlah kakek Imam Mahdi as dan tampak sebagai subjek indrawi dan praktikal yang dirasakan langsung oleh kaum muslimin, dan mereka telah merasakan hal sama sepanjang pengalaman mereka dengan Imam Mahdi as dalam bentuk lain.
Mengenai suatu fenomena, kita tidak dapat menuntut dalil yang lebih gamblang dan lebih kuat dari pengalaman umat. Ini dapat dijelaskan dalam beberapa poin berikut:
a) Kepemimpinan para imam Ahlulbait bukan suatu pusat kekuasaan dan pengaruh yang menjadi warisan seorang ayah untuk anaknya, bukan pula kepemimpinan yang didukung sistem yang berkuasa seperti kepemimpinan para khalifah dinasti Fathimiyah dan dinasti Abbasiyah. Namun, kepemimpinan mereka bertumpu pada basis-basis masyarakat melalui pembinaan jiwa dan pencerahan pemikiran basis-basis tersebut tentang kelayakan dan kompetensi mereka dalam memimpin Islam di atas dasar-dasar spiritualitas dan intelektualitas.
b) Basis-basis masyarakat itu telah dibangun sejak permulaan Islam, dan mencapai puncak keemasannya pada masa dua imam; Imam Muhammad Baqir as dan Imam Ja’far Shadiq as serta madrasah yang dikelola kedua imam tersebut telah membentuk arus pemikiran yang luas di dunia Islam. Madrasah ini melahirkan ratusan ahli fikih, teologi, tafsir, dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu keislaman dan humaniora yang populer di zaman itu, sampai-sampai Hasan ibn Ali Wasya mengatakan, ‘Aku pernah memasuki masjid Kufah, dan aku melihat 900 syaikh (guru) 49 yang seluruhnya mengatakan, bahwa kami mendengar demikian dari Ja’far ibn Muhammad.’
c) Kriteria-kriteria dan basis-basis sosial-politik umat Islam yang diyakini oleh madrasah ini secara konsekuen dalam menentukan seorang imam dan mengenali kelayakannya untuk memimpin merupakan syarat-syarat yang sangat ketat. Sebab, mereka percaya bahwa seseorang tidak akan menjadi imam kecuali sosok yang paling pintar dan saleh dari semua ulama di masanya. [Dalam ash-Shawaiq Muhriqah, 312, Ibnu Hajar secara detail menukil perdebatan Imam Muhammad Jawad as dan Yahya ibn Aktsam]
d) Madrasah dan basis-basis sosial-politiknya telah memberikan berbagai pengorbanan yang begitu besar dalam rangka mempertahankan keyakinan mereka pada prinsip Imamah. Sebab, di mata para penguasa masa itu, hal ini telah membentuk arus dan jaringan perlawanan, setidaknya pada tataran pemikiran. Ini membuat penguasa masa itu melancarkan penekanan, pembersihan, dan penyiksaan, hingga banyak yang dibunuh, ditahan, betapa banyak yang gugur dalam operasi penangkapan. Ini menunjukkan bahwa keyakinan pada kepemimpinan Ahlulbait as membuat mereka tampak radikal.51 Tiada bujukan dan godaan untuk mengarah ke sana kecuali dirasakan oleh penganutnya sebagai peluang untuk selalu mendekat dan menyatu dengan Allah Swt.
e) Para imam yang dipercayai oleh kekuatan basis-basis sosial-politik itu tidak pernah jauh dari jangkauan mereka, tidak juga menjaga jarak dan memilih tempat tertentu seperti kebiasaan para penguasa terhadap rakyatnya. Mereka juga tidak bersembunyi dari khalayak umum kecuali akibat perlakuan penguasa yang memenjarakan dan mengasingkan. Ini dapat diketahui melalui ungkapan para perawi hadis dan ahli hadis yang meriwayatkan dari tiap-tiap sebelas imam, dan dari penukilan surat-menyurat yang terjadi antara para imam dan orang yang sezaman dengan mereka.
Sejumlah perjalanan yang dilakukan mereka di satu sisi, dan wakil-wakil mereka yang diutus ke berbagai negeri di sisi lain, serta ihwal komunitas Syiah yang sudah terbiasa mencari dan menziarahi para imam mereka ke kota Madinah pada sisi lain lagi, yaitu ketika rombongan penduduk dari berbagai kawasan datang ke kota suci ini untuk menunaikan manasik haji, semua itu meniscayakan adanya kontak yang jelas dan interaksi yang intensif antara para imam dan masyarakat yang tersebar di berbagai penjuru dunia dengan berbagai lapisan masyarakat, baik ulama maupun awam.
f) Penguasa atau khalifah yang sezaman dengan para imam telah memandang imam dan kepemimpinan spiritual mereka sebagai sumber ancaman besar terhadap eksistensi dan kekuasaan mereka. Karena itu, mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk memberangus kepemimpinan ini. Mereka pun siap memikul berbagai risiko yang muncul karenanya. Dalam kondisi terdesak, terkadang mereka melakukan kekerasan dan kekejian, bahkan siap membayar harga sebesar apapun demi tercapainya maksud tersebut. Mereka senantiasa menangkap dan mengisolasi para imam, kendati umat manusia sudah muak dan tersiksa karenanya.
Mencermati enam poin di atas sebagai fakta sejarah yang tak dapat diragukan, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kepemimpinan dini seorang imam adalah fenomena historis; bukan sekedar mitos belaka. Sebab, imam yang tampil di tengah kancah dalam kondisi masih kecil kemudian menyatakan bahwa dirinya seorang pemimpin spiritual dan intelektual kaum muslimin lalu dianut oleh arus yang begitu besar, tentu memiliki kapasitas keilmuan yang kaya dan keunggulan yang luar biasa dalam bidang-bidang seperti fikih, tafsir, dan akidah. Karena, jika tidak demikian, masyarakat tidak akan puas pada kepemimpinannya. Padahal, sebagaimana telah kami sebutkan, para imam harus berada pada posisi yang memungkinkan basis-basis masyarakat untuk berinteraksi dengan mereka dan mendapatkan perhatian serta pengelolaan individual dan sosial dari mereka.
Abdul Karim Albahbani, “Mahdiisme dalam Perspektif Ahlulbait as”