Berita
Akidah, Membina Pemikiran Manusia (7/7)
Dalam pandangan Islam, akal memiliki kedudukan yang sangat agung. Ia adalah dasar dan modal utama manusia menggapai akidah yang benar. Di samping itu, akal merupakan salah satu dari dalil-dalil ijtihad. Rasulullah saw bersabda, “Segala sesuatu memiliki tiang penyangga, dan tiang penyangga agama adalah akal.” [Al-Mahajjatul Baidla, Al-Muhaqqiq Al-Kasyani 1 : 172, kitabul ’ilm]
Baca pembahasan sebelumnya: Akidah, Sang Pembebas dari Takhayul [6/7]
Di sisi lain, akal menjadi tiang penyokong insan mukmin. Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa memiliki akal, ia telah memiliki agama, dan barangsiapa memiliki agama, niscaya masuk surga.”[Ushulul Kafi, 1 : 11, kitab al-’Aql wal Jahl]
Terdapat ratusan dalil yang membahas peran penting akal. Dengan meninjau dalil-dalil tersebut secara global, kita akan memahami bahwa Islam mengembangkan perannya secara maksimal melalui dua tahap; pertama, membebaskan akal, dan kedua, mengarahkan dan memfungsikan segenap kemampuannya.
Membebaskan Akal
Langkah pertama yang ditempuh Islam dalam mengembangkan peran akal secara maksimal ini dapat kita pahami dari dalil-dalil yang memerintahkan setiap insan untuk memberantas belenggu-belenggu yang dapat mengikat akal, mencegahnya dari berkreasi, dan menjerumuskannya ke jurang kesalahan. Usaha Islam dalam hal ini adalah memberantas taklid buta.
Contoh-contoh usaha ini dapat kita baca dalam al-Quran dalam berbagai kesempatan. Saat meminta musyrikin membuktikan keyakinannya (penyembahan patung) dengan argumentasi yang benar, al-Quran menekankan bahwa satu-satunya argumen yang mereka miliki hanyalah mengikuti tradisi nenek moyangnya. Allah Swt berfirman: Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka. (QS az-Zukhruf: 22)
Al-Quran juga menekankan bahwa mengikuti tradisi nenek moyang ini adalah kebiasan sekelompok manusia yang akalnya telah terkunci. Allah Swt berfirman: Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam satu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.”[QS. Az-Zukhruf: 23]
Kadangkala al-Quran menceritakan tradisi (mengikuti jejak nenek moyang) tersebut dalam dua ayat berturut-turut. Ini dimaksudkan agar terlihat jelas, betapa bodoh dan dangkalnya keyakinan mereka. Nanun, bagaimanapun, mereka tidak akan mengikuti kebenaran dan argumentasi yang dibawa agama suci ini. Mereka akan berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang telah kami dapati nenek moyang kami melakukannya?”[QS. Yunus: 78]
Bahkan, sekalipun seorang pemberi peringatan mendatangi mereka, menerangkan kesesatan keyakinan mereka, dan bertujuan membangkitkan kemauan mereka untuk mencari kebenaran, lalu berkata: “ Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kamu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari apa yang kamu dapati nenek moyangmu menganutnya?”[QS. Az-Zukhruf : 24], mereka tak akan beranjak untuk mengikuti argumentasi kebenaran itu. Bahkan, mereka akan tetap memegang teguh kekeliruan itu. Allah Swt berfirman: Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami melakukannya.”[QS. Al-Ma’idah: 104]
Al-Quran berkali-kali menyebutkan pengingkaran mereka itu dalam kesempatan yang berbeda. Pasalnya, keyakinan-keyakinan semacam itu telah terpatri kuat dalam sanubari masyarakat kala itu. Bahkan, ada kemungkinan keyakinan itu akan merambat dan merasuki sanubari masyarakat yang hidup di masa mendatang. Lebih dari itu, keyakinan tersebut juga telah mempengaruhi suluk dan tingkah laku mereka. Allah Swt berfirman: Dan jika mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapatkan nenek moyang kami mengerjakan yang demikian.”[QS. Al-A’raf : 28] Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.” [QS. Asy-Syu’ara: 74]
Setelah semua itu, al-Quran menjelaskan balasan yang menunggu kedatangan suatu kaum yang memiliki keyakinan semacam itu dengan tujuan agar mereka tidak mengikuti cara berpikir tersebut. Allah Swt berfirman: Maka Kami binasakan mereka. Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana akibat para pendusta.”[QS. Az-Zukhruf: 25.]
Mengarahkan dan Memfungsikan Daya Akal
Setelah membebaskan akal dari belenggu-belenggu yang mengikatnya, akidah Islam lantas mendorongnya maju ke depan. Dengan menproyeksikan seluruh kemampuannya untuk berpikir serta merenungkan alam dan kehidupan. Hal ini demi terwujudnya kehidupan sempurna baginya, baik kehidupan agama maupun dunia. Kami akan mengutip beberapa ayat al-Quran yang mengajak akal untuk merenungkan cakrawala alam yang luas dan beraneka ragam ini.
Pertama, ayat yang mengajak akal untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah Swt di jagad raya dan jiwa.
Allah Swt berfirman: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau! Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”[QS. Ali Imran: 190-191]
Allah Swt berfirman: Dan di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?[QS. Adz-Dzariyat: 21-22]
Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di laNgit dan di bumi.”[QS. Yunus: 101]
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan.”[QS. Ath-Thariq: 5]
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.”[QS. ‘Abasa: 24]
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan, gunung-gunung, bagaimana ditegakkan, dan bumi, bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.”[QS. Al-Ghasyiyah: 17-21]
Layak diperhatikan, al-Quran kerap menceritakan ihwal alam dan rahasia penciptaannya dalam beberapa surah dengan metode ulasan yang berbeda-beda, serta mengajak pembacanya untuk melihat dan merenungkan segala fenomena yang terjadi di dalamnya. Lebih penting dari semua itu, al-Quran menjadikan alam ini sebagai garis start untuk menuju Allah Swt, Penciptanya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw acapkali membaca ayat: Kemudian beliau bersabda, “ Celakalah bagi orang yang membacanya tapi tidak mau merenungkannya.”
Imam Ali as berkata, “Rasulullah saw, ketika bangun malam, menggosok gigi, kemudian menengadahkan wajahnya ke langit dan membaca: …”[Al-Kasysysaf, Zamakhsyari 1 : 453]
Dalam membuktikan keberadaan Allah Swt, para imam as menganjurkan para pengikutnya untuk merenungkan alam dan aturan kompak yang berjalan di dalamnya. Di kalangan teolog (ahli kalam), argumentasi ini dikenal dengan sebutan “dalil an-nazhm” (argumentasi keteraturan alam). Amirul Mukminin as berkata, “Jika mau merenungkan kekuatan dan nikmat (Allah Swt) yang agung (yang telah dianugerahkan pada para hamba-Nya), niscaya mereka akan kembali ke jalan yang benar dan takut siksa neraka. Akan tetapi, hati dan sanubari mereka telah dihinggapi penyakit (pengingkaran terhadap kebenaran). Apakah mereka tidak mau merenungkan makhluk kecil yang telah Allah Swt ciptakan dengan bentuk dan susunan yang sempurna, dan memberikan penglihatan, pendengaran, tulang, dan kulit kepadanya?
Lihatlah semut yang tubuhnya kecil dan lembut. Binatang kecil ini nyaris tidak dapat dilihat mata dan dijangkau akal manusia. (Lihatlah) bagaimana ia berjalan di atas bumi mencari rezekinya. Jika engkau merenungkan alat pencernaan makanannya, tinggi dan rendahnya, sarana-sarana menakjubkan yang terdapat di perut, kepala, dan telinganya, engkau akan terheran-heran memikirkan penciptaannya dan tidak akan mampu mengungkapkan keajaibannya.
Lihatlah matahari dan bulan, gelombang ombak di lautan, aneka gunung, memanjangnya puncak-puncak, serta perbedaan bahasa dan logat bicara. Celakalah orang yang mengingkari adanya Dzat penentu Qadar dan mendustakan Dzat yang mengatur (alam ini). Mereka menyangka diri mereka bak tetumbuhan (yang tumbuh sendiri) tanpa penanam dan aneka wajah mereka (timbul dengan sendirinya) tanpa ada yang membuatnya. Sebenarnya mereka tidak memiliki argumentasi dan riset yang kuat untuk membenarkan persangkaan mereka itu.
Mungkinkah suatu bangunan terwujud tanpa ada yang membangunnya dan kriminalitas terjadi tanpa ada yang bertindak kriminal?!”[Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 270-271]
Di sisi lain, al-Quran sendiri mendorong manusia untuk berpikir. Dalam hal ini, adakalanya al-Quran menggunakan bentuk ‘istifham inkari’ (yang digunakan untuk membatalkan keyakinan seseorang secara tidak langsung). Seperti firman Allah Swt: Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakanmu dengan sia-sia dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.[QS. Al-Mukminun: 115]
Terkadang pula, al-Quran secara langsung membatalkan keyakinan orang-orang yang meyakini bahwa manusia diciptakan sia-sia (tidak dengan pola istifham inkari). Seperti firman Allah Swt: Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan main-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan hak. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. [QS. Ad-Dukhan: 38-39]
Mazhab Ahlulbait as menganggap berpikir serta merenungkan langit dan bumi itu sebagai ibadah. Bahkan ibadah yang paling utama. Berkaitan dengannya, Imam Jafar Shadiq as berkata, “Ibadah paling utama adalah senantiasa merenungkan Allah dan kekuasaan-Nya.”[Ushulul Kafi 2 : 55/3, kitab al-Iman wa al-Kufr]
Para pengikut Ahlulbait as senantiasa memperbanyak ibadah ini sehingga mampu memberikan sumbangsih secara aktif dalam membangun manusia dan mengantarkannya ke derajat spiritual tertinggi. Sebagai contoh, mayoritas ibadah Abu Dzar ra adalah berpikir dan mengambil pelajaran (‘ibrah) dari orang lain.
Ibu Abu Dzar saat ditanya tentang ibadah anaknya itu, menjawab, “Hari-harinya diisi dengan merenungkan satu sisi dari sekian banyak sisi yang dimiliki manusia.”[Tanbihul Khawatir, Al-Amin Warram bin Abi Firas 1 : 250, bab at-Tafakkur, Dar Sha’b]
Perlu diketahui, cara memandang alam wujud sebagaimana yang telah dibimbing al-Quran dan ‘Itrah (keluarga Rasulullah saw) adalah dasar utama bagi seluruh cara berpikir dan tingkah laku manusia. Karena itu, dengan berbedanya cara memandang alam wujud, muncullah aneka peradaban dan kebudayaan.
Kedua, ayat-ayat yang mengajak akal untuk merenungkan sejarah masa silam (di masa kini, metode ini dikenal dengan “filsafat sejarah”).
Akidah Islam mengajak kita merenungkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan cermat dan teliti. Tujuannya agar kita dapat mengetahui faktor-faktor kehancuran dan kesuksesan suatu masyarakat dan peradaban. Allah Swt berfirman: Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikan bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan rasul-Nya.[QS. Ali Imran 3 : 137]
Markaz Ar-Risalah, Peran Akidah