Laporan Utama
Jakarta Makin Tak Aman Bagi Perempuan?
“Tolong…Tolong…Tolong…”
Teriakan tersebut memecahkan keheningan pagi di Perum Bumi Citra Lestari (BCL), jalan Arjuna X blok B 35 dan B 34 yang saling berhadapan di Cikarang Utara, Bekasi. Pak Dedi yang mendengar teriakan tersebut dan tinggal di blok B 34 no 24 segera menghubungi tetangga dekatnya, Pak Andi yang tinggal di blok B 35 no 15. Ditelepon pak Dedi, pak Andi pun keluar rumah untuk mengecek apa yang terjadi.
Kala itu jam menunjukkan pukul 3:40 pagi, pak Andi pun menuju sumber suara minta tolong yang ternyata berasal dari rumah blok B 35 no 17, milik Epi Suhendar yang berjarak satu rumah dengan pak Andi. Pak Dedi pun keluar dari rumahnya. Setelah hampir 30 menit mereka berdua mengecek apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba seorang perempuan dengan baju berlumuran darah keluar dari rumah pak Epi.
Pak Andi dengan cepat menghampiri perempuan tersebut yang ternyata adalah Ai Cucun, istri dari pak Epi. Ai Cucun kemudian dibantu berjalan untuk diamankan sambil pak Andi berteriak untuk membangunkan warga yang lain. Melihat kondisi Ny Ai yang berlumuran darah dan darah yang berceceran di rumah pak Epi, membuat pak Andi nekad masuk rumah pak Epi dengan cara mendobrak pintu rumah.
Pak Andi menemukan Ihsan Fazle Mawla, anak pak Epi yang berumur tiga tahun tergeletak dengan berlumuran darah. Sigap, pak Andi menenangkan pak Epi dan meminta warga untuk mengangkat tubuh Ihsan yang sudah tidak bernyawa lagi. Begitulah peristiwa pembunuhan yang terjadi pada tanggal 27 Januari 2014. Seperti yang diceritakan oleh pak Andi pada ABI Press saat ditemui di rumahnya.
Kasus yang terjadi di Cikarang Utara, Bekasi di atas adalah salah satu dari 17 kejadian pembunuhan terhadap perempuan selama tiga bulan terakhir, mulai dari Januari hingga Maret 2014. Indonesian Police Watch (IPW) dalam siaran persnya pada tanggal 31 Maret 2014, menyatakan bahwa Jakarta semakin tidak aman bagi kaum perempuan.
Rincian dari 17 kasus dalam siaran pers IPW, 11 diantaranya mayat korban dibuang di jalanan, 6 kasus terjadi di Bekasi, 3 di Tangerang, 2 di Depok, 2 di Jakarta Pusat, dan masing-masing 1 di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta timur. Pada Januari terdapat lima kasus, Februari dua kasus dan pada Maret 10 kasus.
Hampir dari seluruh kasus yang terjadi, pelakunya adalah orang dekat yang telah dikenal oleh korban. Pemicu aksi bermacam-macam namun lebih banyak didominasi oleh persoalan asmara, yaitu mulai dari ditolak cinta hingga rasa cemburu yang berlebihan. Bahkan beberapa pelaku merupakan mantan kekasih dari korban.
Dari 17 kasus di atas dan juga kasus yang terjadi pada tiga bulan awal tahun 2013, terjadi 72 kasus pembunuhan. Artinya, satu kasus dalam setiap 5 harinya. Dengan kasus terbanyak terjadi juga di Bekasi yaitu rata-rata satu kasus setiap 4 harinya dengan korban yang rata-rata adalah perempuan.
“Jadi dari kasus-kasus itu kita berkesimpulan bahwa Jakarta semakin tidak aman bagi perempuan,” ungkap Neta S Pane, ketua Presidium IPW.
IPW membuat siaran pers, menurut Neta adalah untuk membangunkan masyarakat agar sadar bahwa ada sebuah bahaya yang mengancam keluarga mereka.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto tidak sependapat bila disebut Jakarta semakin tidak aman bagi perempuan. Rikwanto menyebutkan bahwa konteks tidak aman yang disampaikan oleh IPW bukanlah konteks kejahatan jalanan yang membayangi wanita. Bukan hanya wanita menurut Rikwanto yang banyak menjadi korban kejahatan di Jakarta tapi pria pun banyak.
Konteks ketidak amanan yang disampaikan oleh IPW lebih pada konteks sosial masyarakat, sebab sebagian besar dari kasus yang disampaikan oleh IPW bukanlah kejahatan yang terjadi di jalan melainkan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dan dikenal oleh korban.
“Tidak amannya ini secara umum bukan berarti harus dikhawatirkan semua perempuan di Jakarta, tidak demikian” tegas Rikwanto kepada ABI Press.
Dr. Robertus Robet, Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menjelaskan bahwa siaran pers IPW tidak berkaitan dengan aparat tapi berkaitan dengan struktur relasi-relasi yang berkembang dalam lingkungan dan struktur sosial masyarakat itu sendiri.
Menggambarkan kondisi masyarakat Jakarta saat ini bila dilihat dari kasus-kasus pembunuhan yang diakibatkan oleh hal yang sepele dan berkisar masalah asmara, Robet menyebutkan bahwa masyarakat saat ini dapat disebut sebagai masyarakat cair atau Liquid Society. Yaitu suatu masyarakat yang ditandai dengan tersingkinya segala yang bersifat fundamental.
Akibatnya, menurut Robet, orang tidak lagi memiliki pegangan dalam hidup mereka dan berpegang pada isu-isu yang diproduksi oleh media massa. Medialah yang saat ini menentukan siapa yang baik dan yang buruk. Bahkan, menurut Robet cara hidup dan merespon kenyataan dalam kehidupan pun ditentukan oleh media massa.
“Nah pola pikir yang dikendalikan oleh media massa itulah yang disebut dengan Liquid Society,” kata Robet kepada ABI Press.
Lain daripada itu, Neta sendiri menyadari bahwa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang dekat adalah hal yang sulit bagi pihak kepolisian untuk dapat mendeteksinya. Maka Neta menghimbau agar para orang tua lebih peduli dan melakukan pengawasan lebih terhadap anaknya. Serta perlunya dibangkitkan kesadaran dari anak-anak untuk selalu waspada dan ada yang menemani saat melakukan pertemuan dengan orang lain.
Selain itu Neta juga menyatakan apresiasinya kepada pihak kepolisian atas usaha kepolisian menangani kasus-kasus yang ada. Dari 17 kasus itu cuma 5 yang tidak terungkap, yang lain semua terungkap.
“Kita memberi apresiasi kepada kepolisian, atas kerja keras mereka ya,” ujar Neta.
Sementara itu Rikwanto menegaskan bahwa polisi akan menekan tindak kejahatan dengan melakukan patroli rutin di beberapa tempat yang dianggap dibutuhkan, serta terus menggerakkan babin kamtibmas ke tengah masyarakat. Namun bila pelaku kejahatan melawan, maka untuk menumbuhkan rasa aman pada masyarakat bila mendesak “Kita akan tembak mati,” tegas Rikwanto.
Rikwanto juga menegaskan bahwa polisi akan meningkatkan penjagaan pada masyarakat dan menghimbau agar lebih berhati-hati dalam pergaulan untuk menghindari tindak kejahatan yang tidak diinginkan.
Di sisi lain Robet lebih menekankan pembangunan politik kaum perempuan dan perbaikan hukum yang ada di Indonesia agar mampu membuat jera para pelaku tindak kejahatan terhadap perempuan. Selain itu Robet juga menekankan agar konseling psikologis tidak dijadikan hal mewah lagi, misalnya dengan dibangunnya tempat-tempat konseling psikologis gratis.
Bagaimana sebenarnya tanggapan dari perempuan yang hidup di Jakarta tentang kondisi keamanan Jakarta itu sendiri? Kepada ABI Press, Siti Melani Putri, Mahasiswi Universitas Bung Karno (UBK) Jurusan Fikom yang tinggal di Priok mengungkapkan bahwa Putri selama ini merasa aman-aman saja dan tidak ada rasa takut saat bepergian keluar rumah. Yang penting menurut Putri adalah bisa menjaga diri dalam bergaul.
“Nggak ada ketakutan, yang penting bisa jaga diri aja,” kata Putri.
Senada dengan Putri, Aya yang juga Mahasiswi UBK dan tinggal di Bogor, menerangkan kepada ABI Press, kalau Jakarta disebut semakin berbahaya bagi kaum perempuan, buktinya, perempuan yang pulang dari Jakarta menuju Bogor dari Stasiun Kota Jakarta pada jam 11 malam masih banyak. Kenyataannya mereka baik-baik saja dan tetap menjalani aktivitasnya tersebut hingga kini.
“Nggak rawan kok!” Tegas Aya.
(Lutfi/Yudhi)