Berita
Apa Itu Akidah? (3/7)
Akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia dari penindasan politik. Islam tidak merestui seseorang menindas sesamanya atau satu golongan menghina golongan yang lain. Sepanjang sejarah, Islam menjadi faktor utama bagi munculnya gerakan-gerakan kemerdekaan dan kebebasan. Bagaimanapun pandangan seseorang terhadap agama, ia tidak akan dapat melupakan faktor agamis dan pengaruhnya dalam memunculkan kesadaran revolusioner (al-wa’y al-tsauri) sepanjang sejarah Islam.
Perlawanan Abu Dzar ra dan revolusi Imam Husain as (terhadap rezim penguasa kala itu) tidak lain merupakan satu titik tolak kesadaran umat untuk meluruskan penyelewengan-penyelewengan yang menggerus sejarah Islam. Betapapun banyaknya penyelewengan yang telah menjangkiti muslimin sepanjang sejarah, akan tetapi semua itu tidak mampu membasmi semangat revolusioner para pemeluk agama suci ini, yang senantiasa berusaha memulihkan kembali agama tersebut (sehingga dapat berkiprah dalam kehidupan sehari-hari), membasmi kezaliman, dan menjunjung tinggi hak-hak dan kehormatan seorang muslim. [Dauruddin Fi Hayatil Insan, Syekh Al-Ashifi : 50]
Di samping misi pembebasan di atas, akidah Islam juga telah berhasil membebaskan manusia dari kebiasaan menuhankan manusia lain. Seperti pemujaan dan penyembahan raja dan kabilah-kabilah yang berkuasa. Ini adalah tradisi yang berlaku di kalangan sebagian umat terdahulu, seperti penduduk Mesir kuno. Begitu pula Islam telah berhasil melenyapkan sistem diskriminasi kesukuan umat manusia, baik yang dilandasi keturunan, bahasa, warna kulit, harta, atau kekuatan. Tolok ukur keutamaan dalam Islam terbatas pada karakter spiritual, yaitu takwa dan fadhilah.
Allah Swt berfirman: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal). [QS. Al-Hujurat: 13]
Islam telah mengumandangkan semboyan kemerdekaan dan kebebasan dua puluh abad sebelum revolusi Perancis meletup. Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib as berkata dalam salah satu khutbahnya, “Wahai manusia, sesungguhnya Adam tidak melahirkan budak dan sahaya. Dan sesungguhnya seluruh manusia adalah merdeka).”[Furu’ul Kafi 8 : 69]
Hanya saja, Islam tidak memberikan kebebasan mutlak pada manusia. Karena, itu akan menyebabkan manusia bebas berbuat sesuka hati. Islam menentukan batasan-batasan yang jelas bagi kebebasan tersebut sehingga tidak terjadi anarki. Dari sini, tampak jelas perbedaan antara akidah Islam yang mengikat kebebasan manusia dengan penghambaan kepada Allah Swt, tunduk dan taat terhadap kekuasaan-Nya (kebebasan terikat), dengan undang-undang hasil rekayasa manusia (al-qanun al-wadl’i) yang (dengan kebebasan mutlak yang diberikan kepadanya) telah menjerumuskan manusia dalam jurang kebingungan yang tidak sejalan dengan kemampuan dan tuntutan penciptaannya.
Harus ada keseimbangan antara kebebasan dan penghambaan. Dan itu hanya dapat kita temukan dalam Islam; penghambaan kepada Allah Swt dan bebas dari penghambaan kepada selain-Nya. (Dalam pandangan Islam), kebebasan seorang hamba tidak mungkin sempurna kecuali dengan penghambaan kepada Allah Swt, dan penghambaannya kepada Allah Swt tidak mungkin sempurna jika tidak membebaskan diri dari menghamba kepada selain-Nya. Dari teori kebebasan semacam ini, terwujudlah keseimbangan dan keserasian antara dimensi sosial dan dimensi iman seorang muslim. [Ma’alim Sakhsiyatil Muslim, Dr. Yahya, hal. 79-80]
Dengan ini, akidah Islam menganggap penghambaan kepada Allah Swt semata sebagai inti kebebasan yang hakiki. Hal ini dikarenakan penyembahan kepada Allah Swt adalah pembebasan diri dari seluruh kekuasaan orang-orang lalim. (Dan perlu diingat), penghambaan kepada Allah Swt bukanlah penghinaan bagi harga diri manusia. Namun sebaliknya, penghambaan tersebut akan lebih memuliakan harga diri dan memelihara kedudukannya.
Rasulullah saw berbangga diri karena beliau menjadi hamba Allah Swt dan menolak sikap pengkultusan berlebihan (ghuluw) yang terkadang dapat menjerumuskan seseorang menuhankan beliau. Kondisi ini sebagaimana pernah dilakukan Ahli Kitab terhadap para nabi mereka, meskipun Allah Swt mengancam mereka untuk tidak mengkultuskan para nabi mereka.
Allah Swt berfirman: Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Almasih Isa, putra Maryam itu adalah utusan Allah, Kalimah-Nya yang Dia anugerahkan kepada Maryam dan ‘ruh’ dari-Nya. [QS. An-Nisa: 171]
Sesungguhnya mazhab Ahlulbait dalam konteks menghadapi (orang-orang yang) menuhankan manusia, menekankan pentingnya penghambaan (kepada Allah dalam ucapan-ucapan mereka).
Amirul Mukminin as berkata, “Aku adalah hamba Allah dan saudara Rasul-Nya.” [Kanzul ‘Ummal 13 : hadis ke 36410]
Imam Ali Ridha as juga berkata, “Aku bangga dengan beribadah (menghamba) kepada Allah.” [Biharul Anwar 49 : 129]
Ini dikarenakan tipe pemikiran semacam itu telah berkembang di kalangan umat-umat yang lain dan berhasil merasuk ke lingkungan para pengikut agama-agama langit lainnya. Sebagai contoh, para pemeluk agama Kristiani meyakini Almasih sebagai tuhan dan para pemeluk agama Yahudi menganggap ‘Uzair sebagai putra Allah.
Dari sini, tampak jelas hikmah dan kejituan sikap Imam Ali as tatkala menekankan karakter penghambaan dan menentang seluruh propaganda kaum Ghulat yang menuhankan beliau. Dalam sebuah hadis, datang sekelompok kaum mendatangi Amirul Mukminin as seraya berkata, “Salam sejahtera bagimu, wahai Tuhan kami. Beliau menyuruh mereka supaya bertobat. Akan tetapi mereka membangkang. Lalu beliau menggali sebuah lubang dan menyalakan api di dalam lubang tersebut. Selanjutnya beliau menggali sebuah lubang lagi di sampingnya dan menyalakan api di dalamnya. Ketika mereka enggan bertobat, beliau melemparkan mereka ke dalam kedua lubang itu hingga mereka mati.”[Wasailusy Syi’ah 18 : 552]
Dalam kesempatan lain, beliau berkata, “Dua orang celaka ketika menanggapi diriku: orang yang cinta kepadaku secara berlebihan (ghulat) dan orang yang membenciku).”[Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : Hikmah ke 469]