Berita
Alamah Thabathabai: Di Hadapan Hukum dan Keadilan, Semua Sama
Apakah tolok ukur kemuliaan seseorang bergantung amal perbuatannya; bukan dengan anak siapakah dia, siapa keluarganya, dan apa warna kulitnya? Kalau anjuran Islam memang seperti ini, lalu mengapa para penganut Mazhab Ahlulbait sampai saat ini selalu menganggap Nabi Muhammad saw dan imam suci keturunan Imam Ali as berbeda dengan manusia lain?
Dalam agama Islam, semua orang memiliki kedudukan yang setara di depan keadilan dan hukum-hukum Islam. Karenanya, seorang raja, pengemis, kaya raya, miskin, kuat, lemah, wanita, pria, berkulit hitam, berkulit putih, nabi, imam maksum, dan lainnya tidak memiliki perbedaan di hadapan hukum agama. Tak seorang pun yang boleh melanggar hukum-hukum Islam. Semuanya wajib berperilaku sesuai aturan.
Kecintaan kaum muslimin terhadap para keturunan nabi disebabkan ayat suci yang diturunkan Allah Swt dalam kitab suci-Nya. Dalam ayat tersebut,
Allah Swt memerintahkan nabi-Nya untuk selalu menekankan umat beliau agar berperilaku baik dan menghormati keluarga sucinya.
Allah Swt berfirman: … katakanlah wahai Muhammad saw, “Aku tidak meminta upah apapun dari kalian melainkan kecintaan terhadap keluargaku.” (QS. asy-Syura: 23)
Ternyata rahasia perintah Ilahi ini baru tersingkap sepeninggal Rasulullah saw. Saat itu, keluarga Rasulullah saw mendapat perlakuan dari umat
beliau yang tidak pernah didapatkan oleh keluarga pemimpin manapun. Beberapa tahun setelah Rasulullah saw wafat, para sayyid (baca: keturunan Rasulullah saw) tidak pernah merasa aman sekejap mata pun; mereka semua mati terbunuh, kepala mereka diarak dari satu kota ke kota lain, dikubur hidup-hidup, disiksa, dipenjara di lorong-lorong gelap selama bertahun-tahun, dan mati diracun. Kemudian, beberapa tahun setelah itu, di mana orang-orang pengikut Ahlulbait relatif sudah mengecap kebebasan, mereka mulai menampakkan rasa cintanya terhadap keturunan Rasulullah saw dan menghormati mereka semua.