Berita
Penanganan Korban Kekerasan Seksual
Mengenaskan. Itulah ungkapan tepat terkait meningkatnya jumlah kasus pembunuhan terhadap perempuan dalam tempo tiga bulan terakhir di wilayah Ibukota dan sekitarnya.
Data Indonesian Police Watch (IPW) yang disampaikan dalam konferensi pers Senin (31/3) kemarin mencatat sudah 17 perempuan yang menjadi korban pembunuhan sejak Januari hingga Maret 2014 ini.
Tragisnya, sebagian korban dari belasan kasus itu diperkosa sebelum dibunuh, 11 korban di antaranya dibuang begitu saja di jalanan, dan 9 kasus lainnya hingga saat ini belum terungkap siapa pelakunya.
Demikian disampaikan Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane seraya menyebutkan bahwa belasan kasus pembunuhaan disertai pemerkosaan terhadap kaum hawa itu rata-rata korbannya masih berusia muda.
Bagaimana upaya pemulihan trauma bagi para korban yang lolos dari pembunuhan pasca terjadinya kekerasan seksual semacam itu?
Untuk menggali informasi tentang hal ini, Selasa (1/4) ABI Press mengunjungi Yayasan Pulih di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Yayasan yang selama ini konsen dan peduli terhadap penanganan korban kekerasan seksual itu berkantor di sebuah bangunan bergaya minimalis dengan gazebo di halamannya.
Hampir satu jam Norcahyo Budi Waskito, salah seorang pengelola program di Yayasan Pulih, menerima ABI Press dengan ramah di kantornya. Dari Cahyo kami dapatkan banyak cerita tentang kiprah yayasannya selama ini sekaligus gambaran tentang kondisi dan upaya penanganan trauma kejiwaan para korban.
Sebelum ABI Press pamit pulang, Cahyo memberi kami beberapa brosur yang di antaranya berisi tata-cara pemulihan kondisi psikis pasca terjadinya kekerasan seksual.
Berikut ini catatan yang berhasil kami himpun dari Yayasan Pulih tentang apa yang harus dilakukan, bila ada di antara saudara atau kerabat kita yang menjadi korban tindak kekerasan seksual dan pemerkosaan.
Langkah awal yang terpenting adalah jangan sekali-kali menyalahkan korban. Karena korban tidak berhak dan tidak sepatutnya mendapatkan perlakuan semacam itu. Selanjutnya, dengar dan percayai apa yang korban ceritakan. Bila korban tidak berkenan, hindari memaksanya bercerita. Sebisa mungkin jaga jarak tubuh saat korban bercerita agar yang bersangkutan merasa aman dan nyaman.
Selain itu, hindari sikap mengkritik, meyalahkan, atau menyepelekan semua isi cerita. Sebaliknya, tekankan bahwa yang ia lakukan saat itu adalah cara terbaik untuk melindungi dirinya.
Perlu juga berulang kali ditekankan bahwa yang salah adalah pelaku, bukan dirinya. Yakinkan bahwa ia tidak berhak disakiti.
Dampingi dan dukung korban sepenuhnya, agar dia sendiri yang memutuskan hal terbaik untuk dirinya. Hindari memaksanya mengambil keputusan sesuai dengan selera dan kemauan kita.
Hargailah martabat korban dengan tak menceritakan apa yang telah ia ungkapkan kepada orang lain. Biarkan korban yang menentukan kepada siapa ia ingin menceritakan masalahnya.
Agar korban tak merasa sendirian menanggung beban masalah dan trauma yang dialaminya, doronglah dia untuk mencari dukungan dan bantuan dari pihak-pihak lain seperti petugas medis, pendamping, psikolog, atau petugas khusus dari pihak kepolisian yang biasa menangani kasus-kasus semacam itu.
Pahamilah setiap reaksinya. Karena biasanya korban dapat bereaksi dengan berbagai macam cara. Meski peristiwa sudah lama berlalu, tak jarang korban bereaksi seolah peristiwa pahit yang menimpanya baru saja terjadi. Dalam kondisi demikian, tidak pada tempatnya kita memaksanya agar segera melupakan begitu saja kekerasan seksual yang telah dialaminya.
Pekalah terhadap perbedaan budaya dan agama, karena hal tersebut dapat memengaruhi reaksi dan keputusan korban. Bantulah korban untuk memahami sikap masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual dan bagaimana pandangan tersebut dapat memengaruhi perilaku dan respon korban.
Hal terakhir yang tak kalah pentingnya adalah perhatikan diri kita sendiri. Karena mendengarkan kasus kekerasan seksual sangat mungkin memengaruhi perasaan kita. Hal yang wajar bila kita menjadi marah, takut, tidak berdaya, benci dan sedih karenanya. Untuk itulah kita juga perlu memiliki kemampuan prima dalam hal pengendalian emosi agar bisa mengatasi perasaan kita sendiri. Dengan begitu, kita akan dapat membantu upaya pemulihan trauma psikis korban kekerasan seksual itu tanpa harus terdampak efek negatifnya secara psikis pula. (Lutfi/Yudhi)