Akhlak
Hakikat dan Esensi Salat
Salat berarti seorang hamba berdiri di depan Allah swt, mengakui akan kehambaannya serta mengadukan seluruh permohonannya kepada-Nya. Orang yang berdiri untuk melakukan salat hendaklah merasakan kehadiran Allah swt, hendaklah sadar di depan siapakah ia berdiri. Ini akan membuat ia menjalankan tugas kehambaan dengan
puncak ketundukan dan kekhusyukan.
Ketika kita berdiri untuk menjalankan salat, sangat sedikit konsentrasi kita pada salat, kalau bukan malah terfokus pada masalah-masalah lain yang kita miliki. Bahkan, terkadang masalah tersebut berhubungan dengan puluhan tahun yang lalu yang masuk ke dalam benak kita. Justru ketika kita hendak mengucapkan salam, baru sadar bahwa kita sedang menjalankan salat. Betapa hal ini sangat buruk dan benar-benar tidak pantas, karena kita sedang berdiri di hadapan Allah swt. Kita sepertinya tidak sadar di depan siapa kita
berdiri dan apa yang sedang kita ucapkan. Allah swt menggolongkan sifat-sifat ini sebagai tanda-tanda orang munafik: “Dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan
dengan malas” (QS. Al-Taubah: 54)
Baca Efek Salat dalam Mendidik Individu dan Masyarakat
Terdapat juga dalam sebuah riwayat, bahwa barangsiapa yang menjalankan salat tetapi hatinya tidak terikat oleh salat, apakah ia tidak takut kalau Allah swt akan menjadikannya seperti keledai. Begitu buruk dan tidak pantasnya seseorang yang tidak perhatian dan konsentrasi dalam salatnya sehingga ia berhak diubah menjadi seperti seekor keledai. Pada hakikatnya ia bukanlah manusia.
Bagaimana mungkin seseorang berdiri di depan seorang pembesar, akan tetapi ia tidak perhatian padanya dan hatinya di tempat lain. Apalagi ia berdiri di depan Allah swt,
seluruh kebaikan dan semua kenikmatan dari-Nya –bahkan ia tidak perhatian kepada-Nya, melebihi ketidakperhatiannya kepada manusia biasa.
Apakah ketika seseorang berdiri di depan yang lain dan berbicara dengannya akan memalingkan mukanya? Jika berbuat demikian, apakah secara akal ia tidak disebut gila? Namun demikian, Allah swt tidaklah bersifat jisim (materi; benda), sehingga kita mengarahkan muka kita ke arah-Nya. Akan tetapi hubungan atau perhatian kepada Allah swt dilakukan dengan hati, sebab Dia menguasai segala sesuatu dan hanya dengan hati kita bisa menghadap-Nya. Artinya, jika hati kita berpaling dari-Nya dan tidak memiliki perhatian dalam salat kita, berarti kita berpaling dari Allah swt.
Apakah seseorang, ketika dengan karunia-Nya, Allah swt memberikan izin dan kesempatan untuk berdiri di depan-Nya, berbicara dengan-Nya dan menyampaikan segala isi hatinya serta bermunajat kepada-Nya, tidak memanfaatkan kesempatan ini dan bersyukur atas kenikmatan yang besar ini, tetapi ia lalai dari-Nya?
Orang-orang besar (penting) tidak sembarangan memberi izin dan kesempatan pada sembarang orang untuk bisa menghadap padanya. Namun Allah swt, karena kecintaan-Nya yang tak terbatas, membuka pintu rumah-Nya lebar-lebar untuk semua manusia dan mengizinkan mereka untuk menghadap-Nya. Maka kita mesti menggunakan kesempatan emas ini dan, dengan segenap wujud, kita menghadap kepada-Nya dan perhatian kita hanya tercurah pada-Nya. Jika seseorang tidak memiliki keyakinan kepada Allah swt dan tidak
meyakini bahwa ia berada di hadapan-Nya, jelas ia tidak akan perhatian kepada-Nya. Akan tetapi orang yang meyakini Allah swt dan tahu bahwa kita berdiri di hadapan-Nya, maka ketidakperhatian kita adalah sebuah keburukan dan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Karenanya, dalam riwayat, Allah swt menggunakan kata “Aku heran.” (Kondisi-kondisi seperti: keheranan, takut, sedih dan sifat lain khusus bagi wujud material yang memiliki sifat materi. Allah Swt terlindung dari keheranan karena sesuatu atau sifat jiwa yang lain. Ketika Dia menggunakan kata-kata tersebut, Dia hendak berbicara dengan bahasa kita sebagai manusia.)
Allah swt berfirman, “Aku heran kepada hamba-Ku yang berdiri di depan-Ku, tetapi ia bermalas-malasan dan tidak peduli.”
Dikutip dari buku Menjadi Manusia Ilahi, karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi