Laporan Utama
Media Bodong Diancam undang-Undang ITE
“Darah di tangan kita” demikian gambaran Akhmad Kusaeni tentang media di tanah air saat ini. Alasan Akhmad Kusaeni menyatakan hal tersebut adalah karena menurut beliau, media saat ini justru menjadi provokator dan memperburuk ketegangan dalam konflik beragama. Seperti halnya ketengangan yang terjadi antara media online nahimunkar.com dengan media online tabligh.or.id.
Media seharusnya menjadi pemadam kala api konflik antar umat beragama terjadi dan bukan menyiram bensin pada konflik tersebut. Hal itu ditegaskan oleh Akhmad Kusaeni dalam sebuah diskusi terbuka tentang Media Islam pada 18 Februari 2014 di Wisma Antara. Media juga bisa melakukan kesalahan-kesalahan dalam penulisan berita, sebab wartawan yang melakukan liputan adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah. Namun ada juga media yang mencari sensasi dan segaja melakukan provokasi kepada pembacanya dengan agenda-agenda tertentu yang ingin dicapainya.
Provokasi-provokasi oleh media yang tidak bertanggung jawab, karena tidak mencantumkan redaksi yang dapat dihubungi yang sering kali menjadi media pembuat opini dan bukan fakta “itu menyesatkan” terang Wiratmo Probo, Program Director Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang biasa disapa Bimbim.
Menanggapi kondisi media pada saat ini Bimbim menilai bahwa mutu media saat ini menurun sekali, terutama bagi media online. Hal ini menurut Bimbim dikarenakan media online mementingkan kecepatan sehingga mereka kurang melakukan verifikasi terhadap berita yang mereka turunkan. Sangat beda sekali dengan media cetak yang lebih menekankan pada keontentikan berita.
Apa yang disampaikan oleh Bimbim mungkin sejalan dengan Laporan Kerja Komisi Pengaduan Dewan Pers tahun 2013. Laporan berisi 776 kasus surat pengaduan yang masuk ke Dewan Pers, yang terdiri dari pengaduan langsung sebanyak 409 kasus, pengaduan tembusan sebanyak 351 kasus, permintaan pendapat dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebanyak 5 kasus, permintaan pendapat dari kepolisian sebanyak 5 kasus dan kasus lain-lain sebanyak 6 laporan.
Dalam 776 kasus pengaduan ke Dewan Pers, 327 di antaranya adalah terkait dengan pengaduan pemberitaan dan 209 tentang hak jawab yang tidak diberikan. Hal tersebut mungkin belum lagi kasus-kasus lain yang tidak dilaporkan ke Dewan Pers seperti halnya kasus nahimunkar.com dengan majalah tabligh.or.id. Bisa jadi ada ribuan kasus pemberitaan yang juga tidak dilaporkan ke Dewan Pers ibarat puncak gunung es.
Terkait dengan banyaknya media online yang tidak memiliki alamat redaksi yang jelas atau apabila media tersebut melakukan pemberitaan yang tidak mengikuti kaidah jurnalistik yang benar dan merugikan pihak lain, Ismanto, bagian pengaduan Dewan Pers, menyarankan agar melaporkannya ke kepolisian dan bisa dijerat dengan menggunakan undang-undang ITE.
Jadi seandainya saja pak Din melaporkan nahimunkar.com ke kepolisian maka pemilik nahimunkar dapat dijerat dengan Undang-Undang ITE. Ismanto mencontohkan salah satu kasus yang terjadi di Jakarta, ketika sebuah media dilaporkan oleh seseorang dan setelah di cek ternyata tidak ada alamat redaksinya maka pada saat itu juga Dewan Pers menyarankan pelapor untuk melanjutkan laporannya ke kepolisian.
Dewan Pers telah melakukan beberapa hal untuk mengantisipasi media-media nakal dengan cara memberikan sertifikasi kepada sejumlah wartawan setiap enam bulan sekali dan menghimbau media-media online untuk mendaftarkan medianya ke Dewan Pers, sehingga apabila ada kasus pengaduan terhadap media tersebut Dewan Pers dapat menjadi penengahnya. Namun jika media tersebut tidak terdaftar di Dewan Pers, maka Dewan Pers akan menyerahkan masalah tersebut ke pihak kepolisian.
Dengan banyaknya kasus tentang media yang ada di Indonesia saat ini, Ustadz H. Agus Tri Sundani SHI, Koordinator Dakwah Khusus Majelis Tabligh DPP Muhammadiyah yang merasakan pak Din sebagai korban media nakal, mengharapkan baik Dewan Pers, Pemerintah dan kominfo untuk menertibkan media-meida provokator.
Lain dengan Ustadz Agus, Akhmad Kusaeni mengharapkan adanya pedoman penulisan berita tentang agama, seperti halnya ada pendoman pemberitaan tentang politik, ekonomi dan yang lain-lain. Sehingga ada aturan yang jelas dan tidak lagi serampangan seperti sekarang ini. Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir adanya provokator-provokator dari media terkait dengan pemberitaan tentang agama. (Lutfi/Abu Mufadhdhal)