Laporan Utama
Media Islam atau Media Mungkar?
“Din Syamsudin Jadi Ketua Umum MUI, Syiah Mulai Mengaturnya”
Begitulah judul sebuah artikel yang dirilis www.nahimunkar.com pada 19 Februari 2014. Sebagai reaksi atas headline itu, salah satu media milik Muhammadiyah http://tabligh.or.id menurunkan counter sekaligus klarifikasi atas berita nahimunkar yang bernada tuduhan terhadap pribadi Din Syamsudin selaku petinggi ormas terbesar kedua di Indonesia itu pada 10 Maret 2014.
Perseteruan antara nahimunkar dan tabligh seharusnya tidak perlu terjadi apabila prinsip-prinsip dalam jurnalisme diterapkan oleh nahimunkar.com. Hal paling sederhana dan mendasar, sebelum memuat berita tersebut mestinya nahimunkar terlebih dulu melakukan proses check and re-check terhadap Din, sebagai subjek yang akan diberitakan. Itu salah satunya.
Sementara tabligh dalam responnya menyatakan telah mencoba menghubungi pihak nahimunkar. Tapi karena tidak ada alamat jelas ataupun nomor telepon yang bisa dihubungi, tabligh menyebutkan telah mengisi form di redaksi nahimunkar namun belum juga mendapatkan respon.
Terkait hal itu, kami, media ABI Press menemui Ustad H. Agus Tri Sundani SHI, Koordinator Dakwah Khusus Majelis Tabligh DPP Muhammadiyah di kantor DPP Muhammadiyah, Jakarta pusat.
“Memang sebenarnya ini harus diluruskan. Karena biar bagaimanapun Pak Din itu kan ketua umum kami,” terang Ustadz Agus perihal usaha media tabligh merespon pemberitaan nahimunkar.com. Bila dibiarkan, Agus khawatir bahwa cara-cara yang dilakukan oleh nahimunkar.com akan menjadi pola untuk menjauhkan antara umat dengan pemimpinnya. Selain itu, menurut Agus nahimunkar.com belum tentu paham tentang jurnalisme dan kaidah-kaidah jurnalistik. “Ya, memang mereka menamakan dirinya nahimunkar ya. Namanya boleh saja seperti itu, semangatnya seperti itu. Tapi sayangnya tanpa aturan dan kaidah jurnalistik yang benar,” tuturnya.
Berita-berita bernada tuduhan terhadap seseorang tanpa adanya check and re-check banyak sekali terjadi bukan hanya pada perseorangan seperti halnya Pak Din, namun juga pada kelompok-kelompok lain yang tidak pernah diberi ruang yang adil semacam hak jawab terkait pemberitaan yang dimuat. Hal ini bisa jadi akibat kebebasan yang kebablasan, yang tentunya tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran.
Al-Quran mengajarkan agar setiap berita yang diterima harus disertai upaya tabayyun terlebih dahulu. Ustad Agus menyontohkan para perawi hadis pasti akan mencari sumber-sumber berita yang mutawatir, begitupun seharusnya nahimunkar.com. Namun budaya tabayyun menurut Ustadz Agus sepertinya kurang membudaya saat ini, sehingga menjamurlah media-media online yang hanya mengangkat isu dan bukan fakta.
Demi memberikan hak yang adil pada nahimunkar.com, kami pun berusaha mencari alamat redaksi media itu. Namun karena seperti halnya media tabligh.or.id kami tak berhasil menemukannya, akhirnya kami pun mengisi form di kolom interaktif yang tersedia di web nahimunkar.com. Namun hingga berita ini diturunkan, kami belum mendapatkan jawaban.
Hal itu pun direspon pengamat media dan Program Director ISAI di kantor Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang terletak di Utan Kayu Jakarta. “Bahasa jawanya itu nabok nyilih tangan, ungkap Wiratmo Probo yang biasa disapa Bimbim, menanggapi keberadaan dan alamat nahimunkar yang misterius. Begitu pun tentang media-media online lain yang tidak menyantumkan dengan jelas alamat redaksinya. Dikatakan nabok nyilih tangan, atau menampar dengan meminjam tangan, menurut Bimbim karena media-media tersebut tak berani transparan namun di sisi lain mengajak orang lain untuk membenci seseorang atau kelompok tertentu yang dibencinya.
Media-media tanpa alamat tersebut sering kali tidak menyampaikan fakta tapi hanya memprovokasi. Menurut Bimbim, hal semacam itu tak bisa dibenarkan. Dia mengindikasi bahwa media-media tanpa alamat semacam itu pastilah punya agenda tersembunyi, baik agenda pribadi dalam menyerang pribadi tertentu, maupun agenda kelompok untuk mendiskreditkan kelompok lain.
Menanggapi media-media seperti nahimunkar.com, Anom Bagas Prasetyo, seorang wartawan yang telah bekerja di sejumlah media, dalam perbincangan telepon dengan ABI Press mengungkapkan bahwa sungguh ironi, nahimunkar menyebut diri sebagai media Islam tapi hanya mewakili kelompok tertentu saja, bukan Islam secara keseluruhan. Padahal yang namanya media Islam menurut Anom seharusnya mendidik pembaca, dalam artian memberi informasi yang mendidik dan juga harus berkarakter rahmatan lil ‘alamin. Jurnalisme Islam seharusnya jurnalisme yang damai, bukan justru gemar memprovokasi dan menebarkan ujaran kebencian, mengadu domba antara satu kelompok dengan kelompok lain di tengah umat.
Sejatinya, Dewan Pers telah membuat pedoman bagi wartawan media online dalam menjalankan tugas jurnalistiknya pada 3 Februari 2012 yang disebut sebagai Pedoman Pemberitaan Media Siber. Tinggal bagaimana setiap wartawan mau menjadi wartawan yang baik atau sebaliknya, dengan mengikuti pedoman yang sudah dibuat atau tidak.
Berikut adalah pasal-pasal dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber seperti dirilis website resmi Dewan Pers (www.dewanpers.or.id):
PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER
Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
Media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber sebagai berikut:
1. Ruang Lingkup
a. Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content) adalah segala isi yang dibuat dan atau dipublikasikan oleh pengguna media siber, antara lain, artikel, gambar, komentar, suara, video dan berbagai bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain.
2. Verifikasi dan Keberimbangan Berita
a. Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi.
b. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
c. Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:
1) Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
2) Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
3) Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;
4) Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
d. Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
3. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content)
a. Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan jelas.
b. Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in akan diatur lebih lanjut.
c. Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan:
1) Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
2) Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan;
3) Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d. Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c).
e. Media siber wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan Pengguna yang dinilai melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme tersebut harus disediakan di tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.
f. Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar ketentuan butir (c), sesegera mungkin secara proporsional selambat-lambatnya 2 x 24 jam setelah pengaduan diterima.
g. Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b), (c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).
h. Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu sebagaimana tersebut pada butir (f).
4. Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab
a. Ralat, koreksi, dan hak jawab mengacu pada Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Hak Jawab yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab.
c. Di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan waktu pemuatan ralat, koreksi, dan atau hak jawab tersebut.
d. Bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media siber lain, maka:
1) Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di bawah otoritas teknisnya;
2) Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber, juga harus dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber yang dikoreksi itu;
3) Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu.
e. Sesuai dengan Undang-Undang Pers, media siber yang tidak melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (Lima ratus juta rupiah).
5. Pencabutan Berita
a. Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut.
c. Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik.
6. Iklan
a. Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan.
b. Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan dan atau isi berbayar wajib mencantumkan keterangan ”advertorial”, ”iklan”, ”ads”, ”sponsored”, atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut adalah iklan.
7. Hak Cipta
Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Pencantuman Pedoman
Media siber wajib mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini di medianya secara terang dan jelas.
9. Sengketa
Penilaian akhir atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini diselesaikan oleh Dewan Pers.
(Lutfi/Abu Mufadhdhal/Yudhi)
Bersambung…