Berita
Apakah Keabadian di dalam Neraka Selaras dengan Keadilan Ilahi?
Pembahasan sebelumnya Mengapa Zat Tuhan Tidak Dapat Diketahui?
Di dalam surat Hud [11], ayat 106 kita membaca, “Adapun orang-orang yang celaka, maka [tempatnya] di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas [dengan merintih]. Mereka kekal di dalamnya ….”
Dengan menyimak ayat suci di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita dapat menerima manusia yang selama hidupnya -maksimal usianya seratus tahun, misalnya-melakukan pekerjaan buruk, dan lenyap dalam kekufuran dan dosa, namun usia seratus tahun ini harus dibayar dengan siksa seribu tahun?
Mereka yang mengajukan pertanyaan ini lalai akan satu poin penting, yaitu perbedaan antara hukuman konvensional dan hukuman penciptaan yang merupakan hasil dari rangkaian realitas perbuatan dan kehidupan.
Penjelasan
Terkadang pembuat hukum merumuskan sebuah hukum sehingga setiap orang yang melanggarnya harus membayar tebusan uang dalam jumlah tertentu, atau harus berdiam di dalam penjara selama beberapa waktu. Tentu, dalam asumsi seperti ini kesesuaian antara pelanggaran dan hukuman harus diperhatikan. Hanya lantaran pelanggaran kecil, ia tidak akan dieksekusi atau mendapatkan hukuman abadi. Dan sebaliknya, karena perbuatan seperti membunuh, lalu ia dikenakan hukuman sehari penjara saja, hukuman seperti ini tidaklah memiliki arti baginya. Hikmah dan keadilan menjawab bahwa kedua hukuman ini harus setimpal.
Akan tetapi, hukuman yang pada hakikatnya adalah efek natural sebuah perbuatan dan termasuk tipologi penciptaan, atau hasil langsung perbuatan tersebut di hadapan manusia, ia tidak menerima asumsi tersebut di atas, baik dalam kaitannya dengan efek-efek perbuatan di alam dunia ini ataupun di alam yang lain.
Contoh, seseorang melanggar aturan lalu-lintas; melaju melebihi batas kecepatan yang telah ditentukan, berlomba tanpa sebab, dan melintas zona terlarang. Barangkali karena beberapa kali melanggar aturan, ia mengalami tabrakan dan patah tangan serta kakinya, atau akan menderita kelumpuhan seusia hidupnya. Resiko buruk akibat sebuah kesalahan kecil ini jelas tidak mencerminkan keadilan (jika ditinjau dari sisi hukuman konvensional). Tapi, hal ini tidak berasal dari sisi hukuman-hukuman konvensional lalu-lintas jalan raya yang di dalamnya keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman harus mendapatkan perhatian. Kondisi ini merupakan dampak alami dari perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh manusia. Dan ia sendirilah yang membuat dirinya terpuruk ke dalam kondisi tersebut.
Demikian juga ketika dianjurkan kepada Anda agar jangan mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol atau bahan-bahan psikotropika lainnya. Lantaran dalam waktu yang singkat, semua jenis minuman itu akan mengoyak hati, perut, otak dan syaraf Anda. Kini sekiranya Anda mengkonsumsinya, niscaya Anda akan menderita syaraf lemah, penyakit-penyakit hati, perut luka dan kerusakan pembuluh darah. Hanya beberapa hari menuruti hawa nafsu, Anda terpaksa menjalani sisa hidup Anda di dalam siksa yang pedih. Di sini tak seorang pun akan keberatan dengan ketaksetimbangan antara pelanggaran dan hukuman tersebut.
Kini anggaplah orang seperti ini -alih-alih seratus tahun usianya- seribu tahun atau sejuta tahun sekalipun ia bermukim di dunia ini, tentu saja ia harus menahan derita dan azab selama waktu yang panjang ini lantaran beberapa hari saja menuruti hawa nafsunya.
Tentang banyaknya azab dan hukuman kehidupan ukhrawi adalah masalah yang melebihi masalah duniawi. Dampak-dampak riel sebuah perbuatan dan hasil-hasil pembawa mautnya barangkali senantiasa bersandar kepada manusia. Perbuatan-perbuatan itu sendirilah nanti yang akan menjelma di hadapan manusia (tajassum al-a’mâl). Dan lantaran kehidupan alam sana adalah kehidupan abadi, perbuatan baik dan buruk juga abadi.
Sebelumnya telah kami singgung bahwa hukuman dan siksa pada Hari Kiamat memiliki dampak riel yang lebih kuat. Alquran berfirman, “Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh [azab] yang mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. al-Jatsiyah [45]: 33)
Alquran juga berfirman, “… dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah Kamu kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Muatan ayat ini, kendati terdapat sedikit perbedaan, juga terkandung dalam ayat-ayat yang lain.
Dengan demikian, ruang untuk pertanyaan ini tidak tersisa lagi, bahwa mengapa kesetimbangan antara hukuman dan pelanggaran tidak diperhatikan?
Manusia harus terbang dengan dua sayap iman dan amal saleh demi mendapatkan kenikmatan surgawi dan kebahagiaan berada di hadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Kini, dengan menuruti hawa nafsu barang sedetik atau seratus tahun lamanya, ia telah mematahkan kedua sayapnya sendiri dan untuk selamanya ia harus menderita dalam kehinaan. Di sini, aspek ruang dan waktu, serta ukuran pelanggaran tidak menjadi pokok persoalan. Yang menjadi tolok ukur adalah sebab dan akibat serta dampak lama dan singkatnya. Sebuah korek kecil boleh jadi dapat membakar seisi kota. Dan dengan menanam satu gram duri, barangkali setelah beberapa waktu, sahara yang luas penuh dengan duri dan dapat menggangu manusia selamanya. Demikian juga dengan menanam satu gram bunga, barangkali dengan berlalunya sang waktu, akan tercipta sahara yang dihiasi bunga-bunga yang begitu indah mewangi sehingga semerbak baunya menggairahkan jiwa dan memuaskan hati.
Kini sekiranya seseorang bertanya apa keseimbangan antara sebatang korek dengan terbakarnya sebuah kota, dan antara beberapa tanaman kecil dengan sebuah sahara duri. Maka, perbuatan-perbuatan baik dan buruk juga demikian adanya. Dan barangkali dampak keabadian yang teramat panjang menjadi kenangan dan memori baginya. (Perhatikan baik-baik)
Masalah yang penting di sini adalah, para nabi besar dan washi Ilahi telah memberikan peringatan kepada kita bahwa dampak maksiat dan dosa ini adalah azab yang abadi, dan dampak ketaatan dan kebajikan adalah kenikmatan abadi. Persis seperti peringatan para penjaga taman yang telah menjelaskan kepada kita dampak keluasan tanaman berduri dan bunga tersebut. Dan kita sendiri dengan sadar yang memilih jalan ini.
Di sini kepada siapa kita harus ajukan keberatan, dan kesalahan siapa yang harus kita cari, serta hukum mana yang kita harus protes, selain pada diri kita sendiri?
Menjawab 110 Masalah Akidah, Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi