Ikuti Kami Di Medsos

14 Manusia Suci

Sumber Ilmu Para Imam Maksum

Di antara keistimewaan imam adalah keluasan dan kelengkapan ilmu pengetahuannya. Imam mengetahui semua ilmu dan makrifah serta hukum dan undang–undang agama yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi saw bagi kebahagiaan dunia dan akhirat manusia.

Ilmu Imam dari Perspektif Akal

Sebelumnya dalam filsafat mengenai pentingnya wujud imam, telah dijelaskan bahwa hukum dan undang-undang agama yang diturunkan ke Rasulullah saw tidaklah dikhususkan bagi era yang pendek dari risalah beliau, melainkan diturunkan untuk selamanya dan bagi segenap manusia sepanjang zaman.  Oleh sebab itulah, di masa ketiadaan rasul, wujud imam suci diperlukan agar semua hukum dan undang-undang agama terpelihara serta mereka berupaya sungguh-sungguh untuk menyampaikannya serta mencegah penyelewengan dan bid’ah. Oleh karenanya, imam merupakan pemelihara  pengetahuan dan hukum agama. Seperti ungkapan hadis,  mereka adalah penyimpan ilmu kenabian dan kalau tidak seperti itu,  agama tidak akan sempurna dan luthuf  ilahi akan menjadi mandul.

Dari sisi lainnya, Rasulullah saw adalah pelaksana hukum dan undang-undang sosial Islam dan dengan jalan ini, beliau mengatur negara Islam dan menyelesaikan problema masyarakat.   Sepeninggal Rasulullah, tanggung jawab besar ini jatuh ke pundak imam.  Dengan demikian, imam harus mengetahui semua hukum dan undang-undang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pengadilan Islam sehingga dapat melaksanakannya.  Imam harus memenuhi keperluan masyarakat dan menjawab berbagai kesulitan.  Apabila Imam tidak pandai mengenai hukum sejati Islam, hukum dan undang-undang non Islam mungkin digunakan. Apabila demikian, pemerintahan seperti ini tidak akan menjadi pemerintahan sempurna yang dikehendaki oleh syariat. Maka, umat Islam pun akan terjauhkan dari kelebihan-kelebihan pemerintahan Islami yang adil sebagaimana yang kita saksikan sepanjang sejarah.

Ilmu Imam dari Segi Hadis

Dalam banyak hadis, dijelaskan bahwa ilmu yang berkaitan dengan hukum dan ketetapan agama merupakan salah satu syarat penting dan lazim yang ada dalam diri imam.

Imam Ali as mengatakan:

قد علمتم انه لا ينبغي ان يكون الوالي علي الفروج و الدماء و المغانم و الا حكام و امامه المسلمين  البخيل فتكون في اموالهم نهمته ولاا لجاهل فيضلهم بجهله ولا الجافي فيقطعهم بجفا ئه و لا الخا ئف للدول فيتخد قوما دون قوم ولا المرتشي في الحكم فيذ هب بالحقوق و يقف بها دون المقاطع و لا المعطل للسنه فيهلك الا مه

“Kalian mengetahui bahwa orang yang pelit tidak dapat memiliki wilayah terhadap kehormatan, nyawa, harta, dan hukum masyarakat serta menjadi imam Muslimin karena ia akan rakus untuk menguasai harta Muslimin. Orang yang bodoh juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena, dengan kebodohannya, akan menyesatkan umat. Orang yang berperangai keras juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena ia akan berpisah dari masyarakat. Orang yang tidak menjaga keadilan dalam membagi baitul-mal juga tidak dapat menjadi wali Muslimin karena, dalam pembagian baitul-mal umum, akan lebih mengutamakan kelompok tertentu daripada kelompok lainnya. Orang yang menerima suap juga tidak layak menjadi wali atau imam karena akan menyia-nyiakan hak individu dan masyarakat dan akan berhenti dalam pelaksanaan hudud atau hukum ilahi. Orang yang tidak melaksanakan sunah ilahi juga tidak layak mengemban wilayah karena, dengan mengabaikan sunah, akan menyesatkan umat.”[1]

Dalam sebuah hadis yang panjang, Imam Ridha as mengatakan:

ان الا نبيا ء و الا ئمه صلوات الله عليهم يوفقهم الله و يو تيهم ما لا يو تيه غير هم فيكون علمهم فوق علم اهل الزمان و ان العبد اذا اختاره الله عز و جل لا مور عباده شرح صدره لذالك و اودع قلبه ينابيع الحكمه و الهمهم العلم الهاما فلم يعي بعد ه بجواب و لا يحير فيه عن الصواب

“Sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada para nabi dan imam taufik yang tidak diberikan kepada selain mereka.  Kemudian ilmu mereka lebih tinggi daripada ilmu ahli zamannya. Ketika Allah swt memilih seorang hamba untuk mengurusi urusan hamba-hamba lainnya, Ia akan memberikan kelapangan dada bagi hamba tersebut dan mengalirkan mata air hikmah di hatinya. Allah senantiasa mengilhamkan ilmu kepadanya. Maka setelah itu, ia akan selalu bisa menjawab setiap pertanyaan dan tidak bingung dalam mengatakan yang benar.” [2]

Imam Ali bin Abi Thalib as menegaskan:

ايها ا الناس ان احق الناس بهذا الامر اقواهم عليه و اعلمهم با مر الله فيه فان شغب شاغب استعتب فان ا بيقو تل

“Wahai manusia! Manusia yang paling layak untuk menjadi imam adalah orang yang memiliki kebijakan dan tadbir yang lebih kuat serta lebih mengetahui hukum ilahi. Apabila setelah baiat, ada yang mencoba membuat makar dan fitnah, hendaknya ia disarankan untuk berpaling dari niatannya itu dan jika menolak, maka harus diperangi.” [3]

Batasan Ilmu Imam

Kini muncul pertanyaan, apakah ilmu imam terbatas atau tidak terbatas? Apabila terbatas, apakah batasannya?

Sebagai jawabannya haruslah dikatakan, memandang bahwa Imam adalah seorang manusia dan mumkinul wujud (wujudnya memungkinkan) yang dalam ilmunya memerlukan ifadhoh (karunia) ilahiah, sudah barang tentu ia terbatas. Adapun mengenai batasannya harus dikatakan dengan menimbang argumentasi aqliyah dan naqliyah tentang pentingnya wujud imam dan ilmunya. Maka, jawabannya dapat dipastikan bahwa imam harus memiliki semua ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan untuk memenuhi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, yang diturunkan melalui wahyu kepada Rasulullah saw, sehingga dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang diletakkan ke atas pundaknya karena sebelumnya telah dikatakan, bahwa  imam adalah pelanjut  program-program Rasulullah saw. Perkara penting ini baru memungkinkan apabila semua ilmu dan pengetahuan agama berada di tangannya.

Ilmu dan pengetahuan yang diperlukan imam dapat diringkas sebagai berikut.

  1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah, kewajiban, dan mustahab yang niat qurbah dalam menunaikannya merupakan syarat bagi sahnya ibadah tersebut.
  2. Hal-hal yang diharamkan secara ta’abbuddiyah seperti haramnya minuman keras, haramnya memakan daging binatang yang belum disembelih secara syariat, haramnya memakan daging binatang yang memakan daging haram, dan haramnya makan najis. Semua itu merupakan syariat Islam yang harus diterima secara ta’abbudi.
  3. Hal-hal najis seperti kencing, kotoran manusia, binatang pemakan daging, darah manusia, binatang yang memiliki darah memuncrat, mani, dan najis-najis lainnya juga hal-hal yang menyucikan serta cara menyucikan. Perkara-perkara seperti ini merupakan syariat Islam yang diterima secara ta’abbudan.
  4. Perkara sosial seperti berbagai jenis transaksi, warisan, wasiat, nikah, perceraian dan urusan-urusan lainnnya yang ada di masyarakat. Hukum seperti ini ada di tengah masyarakat dan syari’ (penetap syariat) suci Islam memiliki andil dalam mengkonfirmasi, menolaknya, atau men-tasyri’ hukum yang terkait.
  5. Hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan dan pengelolaan negara seperti hukum pengadilan (judge) dan penyelesaian perselisihan, sanksi terhadap para agresor, qishosh dan hudud, diyah dan ta’zir (cambuk), jihad dan pembelaan diri, khumus dan zakat, serta rampasan perang dan urusan-urusan lainnya.
  6. Ushul dan akidah serta furu’ seperti pengenalan Allah, ma’ad, nubuwwah, dan imamah.
  7. Akhlak (etika): akhlak mulia dan akhlak tercela.

Persoalan seperti ini memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Maka, harus dikatakan bahwa Rasulullah saw mengetahuinya  dari Allah swt dan ditugaskan untuk menyampaikannya kepada manusia. Dalam kondisi seperti ini, harus dikatakan, bahwa imam dan pengganti Rasulullah saw mengetahuinya agar dapat mengambil-alih tanggung jawab Rasulullah di masa ketiadaan beliau dan melanjutkan agama.

Dalam kaitan dengan berbagai pandangan yang dikemukakan para imam suci mengenai berbagai fakultas ilmu pengetahuan lainnya, yang terdapat dalam kitab hadis dan dinisbatkan kepada para imam suci, kita tidak bisa mencukupi hanya dengan adanya satu atau beberapa hadis dan kemudian kita menisbatkannya kepada para mubalig suci itu, melainkan satu persatu dari segi sanad dan teks hadis itu memerlukan pengkajian dan pembahasan.  Alhasil, di mana pun kita menemukan dalil yang pasti akan kesahihannya, maka ia diterima dan dinisbatkan kepada imam.  Namun, dalam keadaan yang meragukan atau bahkan madznun (prasangka buruk), hanya terdapat sebuah kemungkinan.

Sumber Ilmu Imam

Kini timbul pertanyaan, apakah sumber ilmu imam itu dan dari jalan manakah mereka memperolehnya?  Maka, terlebih dahulu harus diperhatikan bahwa Rasulullah saw menerima ilmunya melalui wahyu dari Allah swt. Namun, Muslimin memandang  wahyu tasyri’ adalah khusus milik Rasulullah saw dan dengan wafatnya Rasulullah saw , yang merupakan nabi paling akhir, wahyu telah terputus. Hal ini juga disebutkan dalam hadis.

Imam Ali bin Abi Thalib menegaskan, “Allah swt mengutus nabi-Nya di masa fatrah dan perselisihan di antara kaum. Melaluinya, Allah swt menyempurnakan risalah dan wahyu pun berakhir.”

Dengan memperhatikan hadis-hadis seperti ini, maka terputusnya wahyu merupakan salah satu persoalan penting bagi Muslimin. Maka, haruslah kita katakan, bahwa para imam suci dalam pengetahuannya terhadap hukum dan undang undang yang berasal dari wahyu syariat Islam, secara langsung, tidak memperolehnya dari wahyu melainkan melalui sumber-sumber dan jalan-jalan lain. Sumber itu dapat diringkas menjadi tiga bagian.

1. Sunnah dan hadis-hadis Nabi

Meskipun era Rasulullah saw pendek dan tidak lebih daripada 23 tahun, agama Islam tidaklah ditinggal dalam keadaan berkekurangan. Kumpulan hukum dan undang-undang serta pengetahuan yang diperlukan manusia telah diterima melalui wahyu Allah swt. Secara lambat-laun, dalam momen yang sesuai, hukum dan undang-undang serta pengetahuan itu disampaikan kepada Muslimin agar mereka mengenal kewajiban dan tanggung jawab mereka serta mengamalkannya.

Muslimin biasanya menantikan turunnya wahyu, mendengarkan pidato wahyu Rasulullah, dan memberikan perhatian istimewa  terhadap hal itu tetapi dalam batas mendengarkan dan mengamalkannya sementara tidak begitu terpusat untuk menghafalkan persis kalimatnya dan menukilkannya kepada orang lain sebagai hadis.  Walaupun begitu, di antara para sahabat, ada yang meluangkan waktu untuk menghafal kalimat dan merekamnya dengan tujuan menukilkannya kepada orang lain sebagai hadis dan wahyu samawi, bahkan beberapa orang dari mereka yang mengenal baca dan tulis mencatat semua yang didengar dan atau sebagian darinya pada semacam prasasti yang umum pada masa itu, agar tidak hilang dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Akan tetapi, usaha seperti ini bagi keabadian makrifah, ilmu, hukum, dan undang-undang Islam yang luas di sepanjang sejarah adalah belum cukup karena beberapa hal:

  • Pertama, jumlah orang ini tidaklah banyak;
  • kedua, orang-orang yang mampu baca dan tulis di masa itu tidaklah begitu banyak;
  • ketiga, mereka tidaklah berada di sisi Rasulullah saw sepanjang masa untuk senantiasa mendengarkan wahyu, kecuali dalam perjalanan, keadaan sakit, keadaan mencari nafkah, atau mengurusi urusan kehidupannya;
  • keempat, sebagian besar dari mereka tidak memiliki daya hafal yang kuat sehingga dapat merekamnya di memori otaknya sebagaimana adanya;
  • kelima, banyak sekali persoalan yang tidak terjadi sehingga mereka merasa perlu menanyakannya kepada Rasulullah saw;
  • keenam, untuk menghafal dan merekam, mereka tidak merasa bertanggung jawab; dan ketujuh, Muslimin lazimnya hidup dalam kondisi yang sangat sulit dan menghadapi banyak problema, misalnya penyiksaan dan gangguan dari musyrikin ketika hijrah ke Etiopia (Habasyah) dan pengepungan ekonomi hingga mesti berlindung ke Syi’ab Abu Thalib di Mekkah dan pada akhirnya, hijrah ke Madinah karena adanya teror, masalah tempat tinggal, dan pemenuhan kebutuhan hidup.

Pendek kata, kesulitan yang dialami adalah serangan beruntun musuh dan persiapan Muslimin untuk membela diri serta berbagai persoalan lainnya.

Rasulullah saw dengan baik mengetahui bahwa, dengan memandang kondisi dan situasi yang memprihatinkan pada masa itu serta kesulitan yang ada, mayoritas Muslim tidak memiliki kesiapan untuk merekam dan mencatat semua hukum dan undang-undang syariat serta ilmu dan makrifah Islami secara sempurna sehingga tetap eksis bagi generasi Muslimin berikutnya di sepanjang sejarah. Dari itulah, untuk menyelesaikan problema ini, beliau, dengan wahyu ilahi, berpikir dan memutuskan untuk menyimpan kumpulan ilmu dan makrifah serta hukum dan undang-undang Islam yang diterimanya melalui wahyu di tempat yang aman dan terpelihara dari kesalahan dan kealpaan.  Tempat aman itu tidak lain adalah hati Imam Ali bin Abi Thalib yang bercahaya.

Karena, melalui wahyu ilahi, mengetahui problema ini, Rasulullah saw memulai perkara penting dan prinsip ini sejak awal nubuwwah dan melanjutkannya hingga wafat. Di semua tempat dan dalam semua keadaan, beliau menggunakan kesempatan untuk menularkan ilmu nubuwwah kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali menerima tanggung jawab berat ini dan berupaya serius untuk menjaganya. Dalam kaitan ini, beliau memiliki potensi zatiah dan pertolongan ilahiah. Pendukung fakta ini adalah hadis-hadis yang telah tercatat.

  1. Imam Ali bin Abu Thalib mengatakan: Rasulullah mendekatkan diriku kepadanya kemudian berkata, “Allah swt memerintahkanku untuk mendekatkan dirimu kepadaku dan tidak menjauhkanmu dari diriku agar engkau mendengarkan ucapanku dan menghafalnya. Adalah hak Allah yang engkau harus tunaikan untuk mendengarkan dan menghafal ucapanku. Kemudian turun ayat ini (QS. Al-Haqqah: 12).” [4]
  2. Ibnu Abbas dari Rasulullah saw meriwayatkan, “Bahwasannya Baginda Rasulullah saw bersabda, Tatkala turun ayat ini (QS. Al-Haqqah: 12), aku meminta kepada Tuhanku agar menjadikannya telinga Ali lalu Ali berkata, Tidak aku mendengar sesuatu dari Rasulullah kecuali aku menghafalnya dan mencatatnya dan tiada pernah aku melupakannya selama-lamanya.” [5]
  3. Ibnu Abbas berkata, “Suatu hari Baginda Rasulullah saw bersabda, Manakala aku berada di sisi Tuhanku, ia berbicara denganku dan bermunajat. Lantas apa yang aku dengar aku ajarkan kepada Ali dan kemudian Ali menjadi pintu ilmuku.”
  4. Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Secara rutin, sekali setiap hari, aku menjumpai Rasulullah saw dan dalam keadaan kami hanya berdua, dan tiada orang ketiga, ke mana pun beliau pergi aku ikut dengannya, para sahabat Nabi saw mengetahui bahwa Nabi tidak bersikap demikian selain denganku. Di banyak waktu, beliau datang ke rumah kami. Adakalanya, ketika aku masuk ke rumah salah seorang istrinya, bahkan istrinya pun keluar dan tiada seorang pun kecuali dia.  Namun, ketika beliau datang ke rumah kami, Fatimah dan putra-putranya tidak keluar, apa yang aku tanya dari beliau, beliau menjawab. Tatkala pertanyaanku sudah selesai, dan aku diam, beliau sendiri yang mulai berbicara.  Dan tidak ada satu pun ayat yang turun kepada Rasulullah saw, kecuali beliau membacakannya untukku dan aku menulisnya.  Beliau menjelaskan kepadaku ta’wil dan tafsir, nasikh dan mansukh, dan muhkam dan mutasyabih, serta khas dan umum ayat.Rasulullah berdoa kepada Allah agar memberikan kepahaman ilmunya kepadaku. Lantas aku tidak pernah melupakan satu pun ayat Kitab Allah, dan tidak ada satu pun ilmu yang dibacakan oleh beliau kepadaku dan aku tulis, kemudian aku melupakannya.  Apa yang Allah swt turunkan mengenai halal dan haram dan larangan serta perintah dari masa lalu atau masa depan dan setiap kitab yang diturunkan terhadap rasul sebelumnya berkaitan dengan ketaatan kepada Allah atau penentangan terhadapnya, semuanya diajarkan kepadaku dan aku hafal, dan tiada sedikit pun yang aku lupa. Saat itu, Rasulullah saw meletakkan tangannya di dadaku dan berdoa supaya kalbuku dipenuhi dengan ilmu dan kepahaman serta cahaya. Aku bertanya, Wahai rasul Allah!  Semenjak engkau mendoakanku, aku tidak pernah melupakan sesuatu. Apakah engkau masih khawatir aku akan lupa terhadap sesuatu. Rasulullah bersabda, Tidak! Aku tidak takut terhadap masuknya kealpaan dan kebodohan kepadamu.
  5. Ali ditanya, “Mengapa hadismu yang engkau riwayatkan dari Rasulullah lebih banyak daripada sahabat lainnya?” Ali menjawab, “Karena aku bertanya kepada Rasulullah dan ia menjawabnya. Ketika aku diam, beliaulah yang memulai pembicaraan.” [6]
  6. Ali berkata, “Demi Allah! Tiada satu pun ayat kecuali aku mengetahui ia diturunkan dalam kaitan apa dan di mana dan tentang siapa diturunkan. Sebagaimana Allah swt memberikan kepadaku kalbu yang memahami dan lisan yang fasih.”
  7. Ashbugh bin Nabathah berkata, “Aku mendengar Imam Ali bin Abi Thalib berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw mengajarkanku seribu pintu ilmu dan setiap pintu darinya dibuka seribu pintu hingga menjadi seribu-seribu pintu, sehingga aku tahu apa yang ada dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat, dan aku mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang, dan aku mengetahui takdir dan apa yang bakal terjadi, dan aku mengetahui dengan baik cara mengadili.” [7]

 

Konfirmasi Rasulullah saw mengenai Kelengkapan Ilmu Ali as

Imam Ali bin Abi Thalib berkat kecerdasan dan potensi zatiah-nya yang luar biasa dan dengan keseriusan serta istiqomah yang diikuti dengan adanya taufik, pertolongan ilahiah, dan inayah khusus yang Rasulullah curahkan dalam mengajar dan mendidik beliau, akhirnya dalam masa 23 tahun risalah Rasulullah berhasil mengetahui dan mengingat semua ilmu, makrifah, hukum, dan undang-undang Islam dari Rasulullah saw sehingga dapat dikatakan Imam Ali adalah penyimpan ilmu nubuwwah.

Hakikat ini dikonfirmasikan dan dibenarkan oleh Rasulullah saw. Dalam banyak kesempatan, Nabi saw menjelaskannya. Pertolongan dan pembenaran ini dicatat dan direkam dalam kitab hadis. Sebagiannya adalah sebagai berikut.

Rasulullah saw bersabda kepada Ali, “Wahai Ayah Hasan! Engkau telah meminum ilmu bagaikan meminum air. Semoga air itu menyegarkanmu.” [8]

  1. Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa menghendaki ilmu maka datangilah pintunya.” [9]
  2. Rasulullah saw bersabda kepada Ali, “Wahai Ali! Aku adalah kota ilmu dan engkau adalah pintunya. Maka, barangsiapa yang mengira dapat memasuki kota melalui selain pintunya telah berbohong.” [10]
  3. Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah rumah hikmah dan Ali adalah pintunya.”[11]
  4. Salman Al-Farisi menukil dari Rasulullah saw yang bersabda, “Ali adalah yang teralim di antara umatku.” [12]
  5. Ibnu Mas’ud berkata, “Waktu itu aku bersama dengan Rasulullah saw dan kemudian Rasulullah ditanya tentang ilmu Ali. Maka, Rasulullah bersabda, “Hikmah itu dibagi menjadi sepuluh bagian. Ali diberi sembilan bagian dan manusia satu bagian dan Ali juga yang paling alim di antara lainnya.” [13]
  6. Anas bin Malik menukil dari Rasulullah saw yang berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Sepeninggalku nanti, engkau akan menjelaskan perselisihan pendapat di antara umatku.” [14]
  7. Dari Abi Sa’id Al-Khudri, diriwayatkan bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, “Di antara umatku, Ali bin Abi Thalib adalah yang paling alim tentang pengadilan (Qadhawah).” [15]

Penulisan dan Penyusunan Ilmu

Meskipun Imam Ali bin Abi Thalib terpelihara dari kesalahan dan kealpaan sehingga dalam menghafal hadis tidak memerlukan penulisan, Rasulullah saw tetap memerintahkannya agar menulis hadis-hadis dalam sebuah kitab sehingga menjadi peninggalan bagi para imam suci di sepanjang sejarah.

Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa Baginda Rasulullah saw bersabda, “Wahai Ali! Apa yang aku katakan kepadamu, tulislah!” Ali bertanya, “Wahai Rasulullah!  Adakah engkau khawatir aku lupa.” Rasulullah berkata, “Aku tidak khawatir soal itu karena telah memohon kepada Allah swt agar menjadikanmu sebagai hafiz ilmu. Namun, tulislah itu bagi para sekutumu, yakni para imam dari anak-anakmu, para imam yang karena keberadaan mereka, turun hujan sebagai rahmat bagi manusia, doa mereka dikabulkan, bencana dicegah dari mereka, dan turun rahmat dari langit. Kemudian Rasulullah mengatakan kepada Hasan, “Hasan adalah yang paling pertama dari mereka.” Kemudian kepada Imam Husain, Rasulullah menunjuk seraya bersabda, “Husain adalah yang kedua dari mereka.” Lantas Rasulullah berkata, “Dan para imam berikutnya adalah dari putra Husain.”[16]

Ayatullah Ibrahim Amini, dalam buku Para Pemimpin Teladan.

Catatan Kaki

[1] Nahjul Balaghah, khutbah 131.
[2] Kafi, jilid 1, hal.102.
[3] ‌Nahjul Balaghah, khutbah 173.
[4] Al-Manaqib Khawarazmi, hal. 199.
[5] Ibid
[6] Thabaqatul Kubro, jilid 2, hal. 338.
[7] Yanabi; al-Mawaddah, hal. 88.
[8] Yanabi; al-Mawaddah , hal. 88.
[9] Al-Manaqib Khawarazmi, hal. 40; Usudul Ghobah, jilid 4, hal. 22; Al-Mustadrak , Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 127.
[10] Yanabi; al-Mawaddah, hal 82.
[11] Ibid, hal. 81
[12] Ibid, hal. 80.
[13] Ibid.
[14] Al-Mustadrak Hakim Nisyaburi, jilid 3, hal. 122.
[15] Al-Manaqib Khawarazmi, hal 39.
[16] Yanabi; al-Mawaddah, hal 22; Jami’ Ahadis Syiah, jilid 1, hal. 196.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *