Berita
Memilih Jalan Terjal
Sebuah ajaran yang beresensi tawalli (kepatuhan) sekaligus tabarri niscaya menghadirkan harmoni dan keseimbangan antara pemihakan yang jelas dan resistensi yang tegas. Karena itu, sejak kelahirannya, ia akrab dengan ketidaknyamanan, ketidakamanan dan ketidaktentraman. Tawalli dan tabarri memastikan tidak adanya libur perlawanan dalam ragam dimensi.
Karena ia berdiri di atas logika, maka takkan ada tema yang ngambang atau persoalan yang tak terselesaikan dan pertanyaan yang tak terjawab. Atas dasar itu para penganutnya (mestinya) takkan mempertahankan zona nyaman dengan bersikap pasif, permisif, kompromistis dan pragmatis. Bila yang terjadi dalam fakta adalah kebalikan dan kontranya, maka yang perlu dikoreksi adalah alasan menganutnya. Peristiwa ini mungkin kerap dialami oleh banyak penganut di tengah publik mayoritas relijius yang intoleran.
Gangguan terkecil adalah menyempitnya ruang gerak akibat isolasi dan diskriminasi dalam beragam kondisi seperti dalam lingkungan keluarga, kampung, lingkungan kerja dan mungkin dalam komunikasi dan interaksi di media sosial. Demi mengejar waktu shalat yang hampir berakhir, kadang harus melakukan salat di musala atau masjid dengan kikuk dan sembunyi karena menghindari sorotan bahkan pengusiran. Sedemikian lekatnya beban ketidaknyamanan itu, saat merahasiakan keyakinan pun, rasa tak nyaman menyertainya, karena memperlihatkan tindakan yang tak sesuai pilihan keyakinan adalah derita yang cukup berat.
Sebagian orang, karena keburu merasa menganutnya akibat keterpesonaan sesaat, mengalami stress setelah menjalaninya dan menyadari bahwa ajaran ini takkan pernah bebas dari penyesatan, pengkafiran dan segala macam gangguan dan terperangah mana kala merasakan kehidupan sosialnya berubah radikal.
Mungkin semula mengira ini tak lebih dari perpindahan dari sebuah mazhab ke mazhab lain sebagaimana umumnya dinamika intelektual atau bahkan sekadar ganti beberapa teks bacaan. Ternyata ia bukan “hanya” sebuah mazhab tapi sebuah pandangan dunia yang mirip dengan kacamata tiga dimensi dengan semua objek yang berbeda dalam substansi dan efeknya. Karena tak cukup bekal pengetahuan fundamental yang memproteksi diri dari dampak-dampak negatif dalam kehidupan sosialnya, dia mulai menimbang kebenaran yang dipilihnya dan kerugian yang dideritanya selanjutnya. Setelah menghitung nilai keputusan teologisnya dan harga risikonya, melepas “kacamata tiga dimensi” itu lalu mengendap-endap mengayunkan langkah mundur dalam kesenyapan lalu memisahkan diri dari komunitas sekeyakinannya dan kembali memasuki kehidupan yang nyaman tanpa risiko tawalli dan tabarri.
Mungkin salah satu takdir ajaran ini adalah rotasi orang-orang yang mengunjunginya karena mencoba mencicipinya atau sekadar menjadikan kehadiirannya sebagai sebuah petualangan dan pengalaman temporal. Mungkin karena itu atau karena bagian-bagian tertentu dalam menu ajarannya terasa tak sesuai selera dan terlalu berisiko, jumlah yang masuk ke dalamnya dan yang keluar seolah sama.
Mungkin takdir lain ajaran ini adalah tuntutan kepatuhan. Mungkin sebagian tak mengira bahwa ajaran ini menuntut kepatuhan yang dirasa mengekang ego dan memposisikan penganut sebagai pihak yang tak ikut berperan menentukan arah hidupnya sendiri. Dalam ajaran ini asas otoritas dan kompetensi merupakan prinsip yang tak bisa ditawar.
Mengalahkan pikiran sendiri dan mengutamakan keputusan pihak tertentu yang ditetapkan sebagai pemegang otoritas alias kepatuhan adalah sesuatu yang terberat bagi ego. Sebagian manusia terlanjur menikmati kebebasannya dalam berpandangan dan bertindak sesuai paradigma keuntungan.
Dr. Muhsin Labib Assegaf