Berita
Fadullah : Diskusi Bukan Untuk Mengkafirkan
Syiah-Sunni adalah produk dinamika sejarah
Dua mahzab besar masa kini yang jika bersatu akan mampu menoreh sejarah.
Syiah-Sunni disatukan ikatan suci, tauhid dan kecintaan pada nabi
Lihat saja mereka bersyahadat, tak berubah, sehingga mengapa harus saling damprat?
Potongan bait puisi di atas adalah bagian dari puisi penutup yang dibacakan oleh Ust. Fajrudin Mucthar LC, moderator acara bedah buku MUI, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia dengan tajuk “Merajut Perbedaan dengan Silaturahim” yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam, Minggu (9/3) di Ciburial, Bandung.
Para hadirin pun mulai berdiri hampir bersamaan untuk meninggalkan tempat acara setelah empat jam berlangsung. Pukul setengah satu siang tepatnya acara itu ditutup namun matahari di Babussalam tampak teduh dan tak sepanas di Jakarta. Tak seperti para hadirin yang lain, kami, wartawan ABI Press tidak langsung beranjak meninggalkan tempat diskusi, tapi kami merapikan peralatan, seperti kamera dan tripod yang sebelumnya kami gunakan untuk liputan.
Setelah semua peralatan masuk ke dalam tas bawaan, mulailah seperti biasanya kami memburu pembicara untuk diwawancarai. Kebetulan saat akan mewawancarai ketua Yayasan Babussalam, DR. H. Fadlullah M Said, MA, ternyata VJ (Video Jurnalis) dari TVRI Jawa Barat, Mas Yana juga bermaksud mewawancarai Fadlullah. Maka kami pun bergabung dengan Mas Yana.
DR. H. Fadullah M Said, MA adalah ketua Yayasan Babussalam saat ini. Disertasi untuk gelar doktor beliau adalah tentang hadis-hadis Sunni yang dipakai dalam tafsir Quran Syiah yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Sebagian dari pembicara menyebut Fadullah berlatar belakang paham Wahabi dan beliau hanya tersenyum-senyum kecil ketika disebut seperti itu.
Dengan cepat kami bergegas mendekati Fadlullah yang saat itu masih berdiri di atas panggung tempat para pembicara memaparkan materi mereka sebelumnya. Fadlullah yang saat itu mengenakan baju koko warna putih dengan topi haji putihnya dan setelan celana hitam tampak asyik berbicara dengan seorang jamaah dan kami pun sabar menunggu hingga ada waktu luang untuk wawancara.
Dengan kumis tipisnya dan jangut yang tercukur rapi serta kaca mata yang dikenakan menambahkan kewibawaan yang tersirat dalam setiap senyuman kecil yang sering dilontarkannya ke semua orang. Saat selesai berbincang dengan salah seorang jamaah tersebut, barulah giliran kami mohon waktunya untuk wawancara. Satu demi satu kami mulai melontarkan beberapa pertanyaan kepada Fadullah dan dijawabnya dengan nada yang datar dan perlahan, layaknya penjelasan seorang guru pada muridnya.
“Babussalam melaksanakan diskusi antara Sunni dan Syiah tujuannya bukan untuk saling mengkafirkan dan menyesatkan tapi bagaimana bisa saling menghargai di dalam perbedaan, adalah bagaimana harmonisasi terjadi di tengah-tengah umat Islam apapun mahzabnya”, tegas Fadullah saat menjelaskan tujuan diadakannya bedah buku MUI yang saat ini sedang menjadi tren di berbagai wilayah di Indonesia.
Namun yang membedakan bedah buku di Babussalam dengan di tempat lain adalah kelengkapan narasumber. Bila di tempat lain, pastilah akan kita jumpai bedah buku MUI hanya akan mendatangkan narasumber dari MUI dan mereka yang sepaham, tapi di Babussalam semua di akomodir dan diberi hak yang sama untuk saling menjelaskan. Hal ini yang membuat bedah buku di Babussalam saat ini istimewa.
“Pak Yunahar sendiri penulisnya sudah kita hubungi, tetapi belum bisa hadir”, jelas Fadullah saat kami menanyakan tentang narasumber dari penulis buku MUI yang tidak hadir dalam beda buku hari ini. Lebih jauh Fadullah menjelaskan bahwa Babussalam terbuka untuk siapa saja baik mereka yang menuduh buruk pada Babussalam ataupun yang tidak.
Menurut Fadullah kadang-kadang ada yang diundang dan tidak mau hadir. Ada sejumlah ulama, kyai, penulis buku, yang pernah diundang untuk hadir berbicara, tapi mereka keberatan hadir dengan alasan-alasan tertentu. Padahal Babussalam sudah memberi jaminan tidak akan menghakimi siapapun dalam berdiskusi.
Terkait dengan buku MUI Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, Fadullah mengatakan bahwa pernyataan MUI pun tidak tertutup untuk dikritisi, sebab menurut Fadullah, dinamika pemahaman dan perkembangan selalu terjadi. Yang membuat seseorang fanatik adalah karena tidak memahami perkembangan pemikiran suatu paham.
Menerangkan seberapa bahaya buku MUI bagi masyarakat yang saat ini digempur dengan berbagai macam kesimpangsiuran isu yang disuguhkan oleh pemberitaan-pemberitaan media pada masyarakat, Fadullah menjelaskan; “Buku ini lahir, bukan untuk ukhuwah, merajut silatuhrahim, seharusnya buku MUI itu buku yang mendewasakan umat, bukan yang untuk saling menyesatkan dan mengkafirkan” terang Fadullah dengan wajah cemas.
Fadullah menyatakan tetap menghargai apa yang telah dilakukan oleh MUI, sebagai representasi ulama yang ada di Indonesia. Meski demikian, sebagai manusia biasa bukan berarti mereka yang ada di MUI tidak lepas dari kelemahan dan kesalahan, dan dalam beda buku inilah sebenarnya sarana untuk menutupi kelemahan-kelemahan dengan pemikiran yang lain dapat terjadi.
“Nah untuk itu kita bedah buku ini untuk memberi wawasan pada umat, bahwa banyak fatwa MUI itu sudah dikritisi secara Ilmiah dan hasilnya banyak fatwa-fatwa MUI itu yang diklarifikasi kembali dan ternyata setelah dikaji, tidak semua fatwa MUI itu bisa diterima seratus persen” terang Fadullah lebih lajut.
Mananggapi sejauh mana buku MUI Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia dapat memicu tindakan intoleran di Indonesia, Fadullah menerangkan bahwa dalam sebuah kajian penelitian, terjadinya saling mengkafirkan antar umat Islam di Indonesia tak lepas juga dari sebagian fatwa MUI dan fatwa-fatwa tersebut haruslah dikritisi kembali.
Fadullah mengingatkan agar jangan sampai fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI membuat umat di bawah saling gontok-gontokan, hal tersebutlah yang harus dikhawatirkan. Sebuah fatwa jangan sampai menjual nama MUI dan jangan mengedepankan kepentingan MUI, jangan kepentingan Sunni, jangan juga kepentingan Syiah, tapi sebuah fatwa harus berdasarkan kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Saat kami bertanya, apakah buku MUI tersebut merupakan cerminan Syiah yang ada di Indonesia saat ini? Fadullah menjelaskan bahwa buku MUI tidak mencerminkan Syiah di Indonesia seratus persen. Kemudian Fadullah bercerita bahwa saat Sholat di Masjidil Haram, ada orang Syiah yang sholat di sampingnya. Fadullah mengenali tata cara sholat yang dilakukan orang di sebelahnya adalah Mahzab Syiah, namun shalawatnya, tahiyatnya sama dengan bacaan di Sunni. Syahadatnya bukan menyebut Ali, hanya Asyhadu Allaa Illahailallah wa Asyhadu anna Muhammadan Abduhu Warasuluhu.
“Nah! Maka syiah di Indonesia tidak semuanya ekstrem seperti yang ada di buku MUI, masih banyak Syiah-Syiah di Indonesia yang masih perlu kita hargai”, pungkas Fadullah. (Lutfi/Abu Mufadhdhal)