Berita
Guru Besar UIN Alauddin Makassar: Sunni dan Syiah di Iran Hidup secara Harmonis
Guru Besar UIN Alauddin Makassar: Sunni dan Syiah di Iran Hidup secara Harmonis
“Di Iran antara Sunni dan Syiah hidup secara harmonis. Dan saya melihatnya langsung. Saya ke Ghurghan dan Mahad Hanafiyah dan berbincang langsung dengan komunitas Sunni yang menceritakan betapa mereka hidup aman, harmonis dan rukun ditengah-tengah masyarakat Syiah.”
Diskusi Hari Santri Nasional 2019 IPI Iran bertempat di ruang seminar Al-Hikmah Institute Universitas Internasional Al-Mustafa Qom Iran. Menghadirkan Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar sekaligus Wakil Rais PW Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan Prof. Dr. KH. Abd. Rahim Yunus, MA sebagai pembicara, juga hadir sebagai pembicara pertama, Mahasiswa kandidat Doktor Filsafat Islam Universitas Internasional Al-Mustafa, Abdul Latif, MA. Hadir sejumlah mahasiswa Indonesia di acara diskusi yang berlangsung dari pukul 14.30 sampai 17.00 waktu setempat tersebut.
Prof. Dr. KH. Abd. Rahim Yunus, MA mengatakan, “Pesantren dan santri adalah ciri khas Indonesia yang tidak ditemukan negara lain. Kata santri bukan berasal dari bahasa Arab apalagi Persia, tapi dari ajaran umat Hindu dalam melaksanakan pendidikan agama. Ada lima ciri khas dari pesantren Islam Indonesia. Yaitu, ada santri, ada kyai yang tinggal bersama santrinya, ada pondok, ada masjid sebagai tempat mengaji selain ruangan belajar dan ada kitab kuning.”
“Di Hari Santri Nasional ini, kita ucapkan selamat kepada para santri. Sudah menjadi kepatutan juga untuk kita mendoakan para pejuang-pejuang pesantren yang telah kembali ke rahmatullah. Mari kita membacakan Alfatihah, kepada mereka yang telah mempersembahkan jasa besar bagi negara maupun agama.” Ungkap Prof. Dr. KH. Abd. Rahim Yunus, MA mengawali pembicaraannya dalam acara diskusi Hari Santri Nasional 2019 yang diselenggarakan oleh IPI Iran bekerjasama dengan Gusdurian Tehran pada Selasa (22/10).
“Keberadaan pesantren di Indonesia telah dirasakan besar manfaatnya. Misalnya disuatu wilayah yang sebelumnya dipenuhi aktivitas maksiat dan kejahatan dengan kemudian di tempat tersebut didirikan pesantren, wilayah tersebut akan berubah menjadi daerah yang religius. Di Jombang misalnya. Menurut informasi sebelumnya di Jombang adalah sarang kemaksiatan, namun sekarang dikenal sangat religius dan disucikan setelah didirikan pesantren di daerah tersebut.” Lanjut Wakil Rais PW NU Sul-Sel tersebut.
“Mengapa pesantren dirasakan manfaatnya oleh masyarakat? karena fungsi pesantren adalah mendidik santri, selain dimensi intelektual juga akhlak dan karakter. Fungsi kedua adalah mendakwahkan ajaran agama dan yang ketiga adalah memperbaiki masyarakat.” Tambahnya lagi.
Baca juga : Nikah Mut’ah Menurut Syiah dan Ahlusunah
“Salah satu ciri Islam Indonesia adalah datang dengan damai. Islam datang ke Nusantara tidak dengan senjata tetapi melalui dakwah muballigh dan pedagang. Islam yang didakwahkan diterima masyarakat setempat karena tidak dengan membabibuta menabrak tradisi-tradisi yang telah lama berlaku di masyarakat yang terpengaruh tradisi Hindu dan Budha. Melainkan tradisi-tradisi yang bisa diadaptasi akan dikembangkan, diperbaiki dan dilengkapi. Jadi dalam perkembangan agama di Indonesia ada kesinambungan. berlangsung secara damai, sebelum masuk Islam sudah ada Hindu dan Budha, dan itu berkembang secara damai. Begitupun kehadiran Konghucu dan Kristen pun datang dengan damai.” Papar pakar sejarah Islam tersebut.
“Itulah mengapa ulama-ulama kita tidak mempersoalkan ketika harus mengadaptasi tradisi nyantri milik umat Hindu ke dalam sistem pendidikan Islam. Pesantren sebagai lembaga tradisional yang mengembangkan Islam di Indonesia kemudian menjadi motor berkembangnya Islam yang damai dan sejuk.” Lanjutnya.
Mantan Pembantu Rektor UIN Alauddin Makassar tersebut lebih lanjut menguraikan bahwa santri sangat berpotensi menjadi agen dan juru damai karena dalam tradisi pesantren dikembangkan sikap menghormati kyai. Penghormatan pada guru dengan sendirinya akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Menurutnya selain memberi penghormatan pada guru atau kyai, pada santri juga ditanamkan sikap menghormati pandangan yang berbeda.
“Dengan santri belajar dan mengenal ushul dan juga dibekali ilmu mantik, santri jadi tidak mudah terprovokasi membenci suatu kelompok hanya karena berbeda pandangan keagamaan. Mengapa ada mazhab-mazhab yang berbeda, itu karena ada perbedaan tempat, waktu dan kondisi. Misalnya Imam Malik yang tinggal di Madinah, lebih tekstual karena dengan berada di Madinah, banyak riwayat dan hadis yang ditemukan, sementara Imam Abu Hanifah yang menetap di Bagdad yang karena kurang pasokan riwayat sehingga fatwa dan hasil ijtihadnya lebih kontekstual. Semakin luas wawasan, maka akan fleksibel dalam menyikapi perbedaan, dan lebih bisa bersikap toleran karena mengetahui sumber perbedaan itu dalam ilmu ushul.” Jelasnya mendetail.
Ketua Umum Forum Kerukunan Umat Beragama Sulawesi Selatan tersebut menyayangkan merebaknya paham-paham radikalisme yang muncul. Menurutnya itu lahir dari wawasan yang sempit. “Mereka yang terpapar radikalisme kebanyakan tidak mengetahui sumber-sumber perbedaan pendapat. Yang mereka ketahui dan pelajari hanya satu pendapat saja, sehingga menihilkan pendapat-pendapat yang lain.” Ungkapnya.
“Munculnya radikalisme dan takfirisme adalah pengaruh dari luar, bukan bagian dari Islam yang dikembangkan di Indonesia. Takfirisme tidak sesuai dengan tradisi dan budaya Indonesia yang tepa selira terhadap perbedaan. Jumlah kelompok-kelompok takfiri sedikit, namun karena gaungnya besar, kemunculan mereka menjadi berbahaya. Terorisme yang lahir dari takfirisme bukan berasal dari pesantren, kalaupun ada santri yang melakukannya, itu memang berasal dari pesantren yang sengaja didirikan untuk menciptakan mesin-mesin pembunuh.” Tegas Anre Gurutta Rahim Yunus.
Baca juga : Syiah antara Fitnah dan Fakta: Apa itu Rafidhah?
Lebih lanjut, Prof. Rahim Yunus berkata, “Indonesia lahir dari konsep kenegaraan yang tidak melawan dengan konsep yang sudah berkembang sebelumnya. Yang umumnya tidak mau memahami, karena sudah digembleng dengan satu pemahaman. Mereka tidak paham dengan sejarah perbedaan-perbedaan yang ada. Sejarah harus dipelajari dengan baik, sehingga tidak gagap dalam mengenal dan memenuhi kebutuhan masa sekarang.”
“Solusi yang harus dilakukan adalah, lembaga pendidikan Islam baik dari pesantren sampai perguruan tinggi harus mengembangkan pendidikan moderasi beragama. Kepada peserta didik harus dibekali ilmu alat sehingga mengetahui proses lahirnya hasil ijtihad. Harus dipahamkan bahwa Indonesia lahir dari kebersamaan. Semua penganut agama berjuang, dan jasa-jasa mereka ada. Sehingga yang harus dikembangkan adalah sikap saling menghargai satu sama lain.” Tambahnya.
Lebih lanjut, akademisi yang keberadaannya di Iran karena mendapat tugas dari Kementerian Agama untuk melakukan riset mengenai toleransi beragama di Timur Tengah, mengatakan, “Di Iran antara Sunni dan Syiah hidup secara harmonis. Dan saya melihatnya langsung. Saya ke Ghurghan dan Mahad Hanafiyah dan berbincang langsung dengan komunitas Sunni yang menceritakan betapa mereka hidup aman, harmonis dan rukun ditengah-tengah masyarakat Syiah.”
“Banyak informasi yang tidak benar mengenai Iran dan Syiah yang beredar di Indonesia. Saya diajak salah seorang dosen Sunni alumni Lybia yang memperlihatkan di perpustakaan-perpustakaan umum, literatur Sunni sangat mudah ditemukan. Tidak ada kebencian dan permusuhan pada Sunni dari rakyat Iran yang Syiah yang selama ini viral diberita-berita. Saya dengan bisa dengan tenang melakukan salat dengan tatacara Sunni NU tanpa ada gangguan dari mereka yang Syiah. Di Ghurghan saya salat dhuhur di salah satu masjid, dan Imamnya Sunni sementara jamaahnya dari Sunni dan Syiah.” Jelasnya.
Baca juga : Syiah & Sunnah: Sumber Syariat Islam dalam Dua Mazhab [1/4]
Source: ABNA.IR