Sejarah
Imam Ali Ridha as dalam Pandangan Syiah dan Ahlusunnah
Imam Ali Ridha as dalam Pandangan Syiah dan Ahlusunnah
Nama lengkapnya adalah Ali bin Musa bin Ja`far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Lahir di Madinah al-Munawarah (tahuh 148 H), meninggal (tahun 203 H) dan dikuburkan di kota Thus (Masyhad) Iran. Menurut Syiah Imamiyah, beliau adalah Imam yang ke delapan dari Ahlulbait Rasulullah SAW.
Secara nasab, beliau adalalah keturunan Rasulullah SAW. Hal itu ditegaskan pula oleh Al-Hakim An-Naisaburi As-Syafi’i; “Salah satu kebesaran nasab Ali bin Musa Ar-ridha adalah beliau keturunan sebaik-baik manusia Muhammad al-Mustofa SAW. Ini adalah pandangan Ahlussunnah waljamaah dan ijmak para ulama Hijaj. Barangsiapa menolak pendapat ini, maka berarti telah menolak al-Kitab dan as-Sunnah, memerangi kebenaran dan melakukan permusuhan terhadap pemimpin dua pemuda penghuni surga (Hasan dan Husain) serta keturunananya hingga hari kiamat” . Penegasan ini seakan jawaban terhadap aliran-aliran yang memusuhi Ahlulbait Nabi SAW yang berusaha memisahkan mereka dari garis keturunan Rasulullah sepanjang sejarah.
Baca juga : Biografi Singkat Imam Ali Ridha As
Nama aslinya adalah Ali, dan Ar-Ridha adalah nama panggilannya. Sebagian Ahlusunnah menduga bahwa orang pertama yang memberi gelar Ar-Ridha adalah Khalifah Abbasiyah. Hal itu terjadi pada tahun 201 H, tatkala beliau rela diangkat sebagai putra mahkota Khilafah Abbasiyah. Berbeda dengan Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr al-Bizinthi yang menukil dari Imam al-Jawad as, bahwa dugaan tersebut dianggap tidak beralasan. Ibnu Abi Nashr al-Bizinhti pernah bertanya kepada Imam al-Jawad as: Ada sekelompok kaum yang menduga bahwa ayahmu diberi gelar Ar-ridha oleh al-Makmun (kholifah Abbasiyah) karena menerima jabatan sebagai putra mahkota. Imam Jawad as menjawab: “Sungguh, demi Allah mereka telah berbohong. Allahlah yang memberinya gelar Ar-ridha, sebab beliau adalah kekasih Allah di langit dan kekasih Rasul-Nya serta para Imam setelahnya di muka bumi”. Lalu aku bertanya: Tidakkah masing-masing dari ayah-ayahmu terdahulu adalah kekasih-kekasih Allah, Rasul dan para Imam as? Beliau menjawab: “Benar”. Lalu kenapa hanya Ayahmu yang mendapat gelar Ar-Ridha? Imam al-Jawad as menjawab: “…sebab para penentang dari musuhnya telah ridha kepadanya, sebagaimana para kekasih dan pendukungnya…”
Pendapat ini diperkuat pula oleh sebagian tokoh Ahlussunnah, seperti al-Juwaini as-Syafi’i dan Abdurrahman al-Jami al-Hanaf. Di antara mereka ada yang sempat menyusun syair sebagai berikut:
Imam Ali pemilik nasab tinggi nan agung
Penghulu para Ajam dan pemimpin para Arab
Sungguh ridha sang Pencipta Alam kepadanya
Dan karenanya dia diberi gelar Ar-Ridha.
Baca juga : Imamah Imam Ali Ridha
Imam Ridha as di Zaman Harun Ar-Rasyid
Imam Ridha menggantikan posisi ayahnya sebagai imam pada tahun 183 H, tepat pada saat beliau berusia 35. Yaitu setelah ayahnya, Imam al-Kazim, meninggal di dalam penjara Harun Ar-Rasyid. Dalam kepemimpinan, beliau sezaman dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan kedua putranya, Al-Amin dan Al-Makmun. Sepuluh tahun berada di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid, lima tahun di bawah pemerintahan Al-Amin dan lima tahun berikutnya di bawah pemerintahan Al-Makmun.
Setelah ayahnya Syahid, secara tegas dan terang-terangan beliau as menyatakan diri sebagai Imam, pemimpin umat, menggantikan ayahnya. Tanpa ragu dan takut, hal tersebut terus beliau dengungkan. Padahal secara politik, masyarakat di zaman pemerintahan Harun Ar-Rasyid berada dalam tekanan, sehingga nyaris tidak seorangpun bisa lepas dari hukumannya. Sikap berani dan tegas ini, membuat para sahabat dan kawan dekat khawatir akan keselamatan beliau as. Sebab, hampir tidak ada beda antara kekuasaan Abbasiyah dan Umayyah dalam visi dan misi. Hanya metode dan strategi yang membedakannya. Mereka sama-sama berusaha menyingkirkan peran Ahlulbait dari umat. Tapi Umayyah lebih cenderung brutal dan sadis, sedang Abbasiyah lebih lembut, tapi licik dan agama sebagai bentengnya.
Shofwan bin Yahya menceritakan setelah ayahnya syahid, secara lantang dan tegas Imam Ridha berbicara yang membuat kami khawatir akan keselamatan jiwanya. Kami katakan kepadanya: “Sungguh engkau telah menampakkan sesuatu yang sangat besar dan kami khawatir atas keselamatanmu dari penguasa zalim (Harun) ini. Dengan tenang Imam Ridha menjawab: “Apapun yang dia inginkan, silahkan dia berusaha. Sungguh tiada jalan baginya untuk mencelakai diriku”. Beliau mengatakan: “Sesungguhnya yang membawa aku melakukan ini adalah sabda Rasulullah SAW; “Andaikata Abu Jahal bisa memotong sehelai rambut dari kepalaku, maka saksikanlah oleh kalian bahwa aku pasti bukanlah nabi”. Dan kemudian beliau menegaskan kembali; “Andaikata Harun bisa memotong sehelai rambut dari kepalaku, maka saksikanlah oleh kalian bahwa aku pasti bukanlah Imam”.
Apa yang dipredeksikan Imam, benar-benar terjadi. Selama berkuasa, Harun Ar-Rasyid tidak pernah bisa menyentuh kehidupan Imam sama sekali. Berbagai gejolak politik telah menyibukkan Harun Ar-Rasyid, sehingga kesempatan untuk mengancam Imam pun tidak ada. Di Iran Timur telah terjadi pemberontakan besar-besaran yang akhirnya memaksa Harun Ar-Rasyid pergi memimpin pasukan sendiri menuju Khurasan. Di tengah perjalanan, Harun Ar-rasyid terkena penyakit dan kemudian meninggal di daerah Thus pada tahun 193 H. Dengan demikian, Imam terbebas dari kekejaman Harun Rasyid dan aman dari pembunuhan.
Baca juga : Sifat Imam Ali Ridha
Imam Ali Ridha as di masa Al-Amin
Setelah kematian Harun, terjadi perebutan kekuasaan antara Al-Amin dan Al-Makmun yang mengakibatkan gejolak besar. Sebelum meninggal, Harun Arrasyid telah menunjuk Al-Amin sebagai kholifah, menggantikan posisinya. Harun Ar-Rasyid telah membuat perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan dengan Al-Amin. Di antaranya; setelah kekuasaan Al-Amin berakhir, maka kekuasaan harus diberikan sepenuhnya kepada Al-Makmun dan diangkat sebagai kholifah. Dan di saat Al-Amin berkuasa, hendaknya pemerintahan wilayah Khurasan diserahkan kepada Al-Makmun. Namun setelah kematian Harun, Al-Amin justru mengisolasi Makmun dari jabatan putra mahkota dan mencalonkan putranya sendiri, Musa.
Pergolakan akhirnya tidak bisa dihindarkan. Perang dahsyat dan berdarah di antara dua saudara tidak bisa dihentikan. Sehingga pada tahun 198 H, Al-Amin terbunuh dan jabatan khilafah diambil alih sepenuhnya oleh Al-Makmun.
Di saat terjadi perebutan kekuasaan, Imam Ridha as justru memanfaatkan kondisi ini untuk membina, menggembleng dan mendidik para pengikutnya agar tetap kuat dan solid. Beliau tidak ingin masuk dalam percaturan politik praktis penguasa yang justru akan melemahkan posisi beliau di tengah umat dan memecah soliditas para pengikutnya. Dan inilah strategi seorang Imam yang layak dikaji lebih jauh.
Baca juga : Rekaman Sejarah Singkat Imam Ali Ridha
Imam Ridha as di masa Al-Makmun
Di antara sekian Khalifah Abbasiyah, yang paling berbobot dan berilmu adalah Al-Makmun. Menguasai berbagai bidang ilmu, terutama agama, fikih dan kalam (teologi). Sering terlibat dalam berbagai pertemuan dan kajian ilmiah dengan para ulama. Namun di balik ini semua, Makmun juga dikenal sebagai orang yang cerdik, licik, banyak makar dan tipu muslihat. Kemampuannya dalam menguasai ilmu modern menjadi modal terbesar dalam menjalankan arah politiknya. Meskipun telah terjadi pemberontakan di beberapa daerah, namun kekuasaan Al-Makmun tetap kuat. Pendekatan persuasive terhadap para tokoh dan ulama secara intensif dilakukan, syiar agama terus didengungkan guna memperkokoh kekuasaannya. Bahkan tak jarang Makmun mengundang para ulama dari berbagai mazhab ke pusat kerajaan untuk berdialog.
Ad-Dumairi As-Syafi’i mengatakan: “Tidak seorang pun dari Bani Abbas yang lebih alim daripada Makmun, menguasai ilmu, cerdas dan pandai berpolitik”
Ibnu Nadim: “Sungguh dia adalah penguasa Abbasiyah yang paling menguasai fikih dan ilmu thiologi”
As-Suyuthi As-Syafi’i: “Dia adalah sebaik-baik pemimpin Bani Abbas, tegas, tegar, berilmu, cerdas, berwibawa dan pemberani..”
Meskipun menguasai ilmu agama dan fikih, namun Al-Makmun seakan merasa tidak terikat dengan Islam sama sekali. Kedekatan Al-Makmun dengan Al-Qodli Yahya bin Aktam, seorang manusia rendah, adalah bukti nyata akan kefasikan dan kemunafikannya. Di tengah masyarakat, Yahya dikenal sebagai orang yang paling jahat, bahkan pena pun malu untuk menceritakannya. Orang seperti ini dijadikan Makmun sebagai sahabat karibnya, baik di dalam masjid, di kamar mandi bahkan di kebun sekali pun. Lebih daripada itu, orang seperti ini diangkatnya sebagai Hakim Agung bagi umat Islam dan dijadikan tempat rujukan dalam urusan penting pemerintahan.
Tidak dipungkiri bahwa pada masa kekuasaan Makmun, secara lahiriyah, ilmu dan pengetahuan semakin berkembang. Banyak ulama di undang ke pusat pemerintahan dan didorong untuk melakukan penelitian dan kajian. Hal itu dilakukan sebagai langkah mulus untuk mencari simpati dan dukungan.
Makmun juga berusaha menarik hati para pecinta Ahlulbait dan pengikut Imam Ridha as dengan berbagai tindakan. Misalnya, dia berbicara bahwa Ali adalah orang yang layak menjadi khalifah Nabi SAW. Bahkan secara resmi dia mengeluarkan maklumat yang mengutuk tindakan Muawiyah dan mencaci-maki perbuatannya. Mengembalikan Fadak kepada Alawiyin dan bersikap simpatik terhadap mereka. Semua ini dilakukan sebagai upaya membersihkan diri dari warisan kejahatan yang diterima dari para leluhur sebelumnya.
Baca juga : Hari Kelahiran Imam Ali Ridha
Rekayasa di Balik Jabatan Putra Mahkota
Meskipun Makmun sudah berkuasa dan bahaya Al-Amin, saudaranya telah dilenyapkan, akan tetapi pengikut Al-Amin masih belum bisa menerimanya. Mereka menilai bahwa pemerintah yang berkuasa dianggap tidak berpihak kepada mereka. Di sisi lain, perlawanan Alawiyin telah menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Al-makmun. Sebab, pada tahun 199 H, Muhammad bin Ibrahim, salah satu tokoh Alawiyin yang disegani, telah bangkit dan membantu Abu Saraya melakukan perlawanan. Perselisihan antara Al-Amin dan Makmun dalam perebutan kekuasan, dimanfatkan oleh para pemberontak untuk memperluas gerakan. Akibatnya, kekacauan terjadi di mana-mana, di Hijaj, Irak dan tempat-tempat lain. Bahkan diperkirakan, orang-orang Iran juga akan bangkit membantu kelompok Alawiyin, karena meraka meyakini bahwa hak syar’i kepemimpinan berada di tangan Ahlulbait. Dan ini adalah ancaman tersendiri bagi kekuasaan Al-Makmun.
Melihat situasi seperti ini, Makmun merasa lumpuh dan tidak akan bisa mengusai keadaan. Untuk antisipasi, langkah setrategis dan praktis harus segera diambil. Di mata Makmun, tokoh utama yang bisa meredam kelompok Alawiyin adalah Imam Ridha as. Di samping sebagai ulama yang disegani, beliau juga keturunan Nabi yang sangat dicintai semua orang. Akhirnya, surat pernyataan Makmun untuk meletakkan jabatan khilafah dan rencana menyerahkannya kepada Imam Ridha as segera di layangkan ke Madinah. Diharapkan langkah antisipatif ini dapat meredam emosi kelompok Alawiyin dan orang-orang Iran yang setia kepada Ahlubait as. Namun, dengan tegas Imam Ridha as menolaknya. Dalam surat yang kedua, Makmun menulis: “..ketika kamu menolak permohonanku yang pertama, maka kini kamu harus menerima jabatan sebagai putra mahkotaku”. Permohonan yang kedua ini pun ditolak oleh Imam Ridha as.
Tidak ada jalan lain bagi Makmun selain memaksa Imam Ridha as. Akhirnya, dari Madinah beliau didatangkan ke Marwa (pusat pemerintahan) untuk melakukan pertemuan khusus. Dalam pertemuan terbatas ini, hadir pula Fadl bin Sahal Dzirriyasatain. Makmun berkata: “Pendapatku tidak berubah, khilafah dan urusan kaum muslimin aku serahkan kepadamu”. Pendirian Imam pun tidak berubah, beliau tetap menolak.
Ketika, Makmun mengulangi permohonannya yang ke sekian kalinya dan Imam as tetap menolak, maka dengan tegas Makmun mengatakan: “Umar bin Khattab telah menentukan khalifah sesudahnya dengan membentuk dewan syura yang anggotanya terdiri dari enam orang, salah satunya adalah kakekmu, Ali bin Abi Talib. Umar mengeluarkan perintah agar membunuh setiap orang yang melawannya. Sekarang, tidak ada jalan lain bagimu kecuali menerima apa yang aku inginkan. Sebab, tidak ada jalan dan alternatif lain yang bisa aku temukan”.
Di bawah ancaman, Imam terpaksa menerima jabatan tersebut, dengan syarat. Dalam jawabannya, Imam as berkata: “Aku siap menerima jabatan sebagai putra mahkota dengan syarat aku tidak akan mengeluarkan perintah dan tidak mengeluarkan larangan, tidak mengeluarkan fatwa, tidak mengeluarkan keputusan, tidak melakukan pemecatan atau mengangkat seseorang, tidak mengubah orang dan atau menggantinya”. Makmun menyetujui persyaratan ini.
Ini adalah taktik dan rekayasa politik yang sangat matang. Jabatan penting ditawarkan, tanpa perduli dampak negatif di internal Bani Abbasiyah. Kalau bukan karena perhitungan matang dengan keuntungan politik yang besar, maka langkah ini sulit dilakukan olah Makmun. Resiko perpecahan di internal Abbasiyah adalah taruhannya. Sulit dipercaya, orang yang membunuh saudaranya sendiri untuk merebut kekuasaan dan hidup dalam kezaliman, tiba-tiba berubah drastis menjadi agamis, zuhud dan menjauhi kekuasaan. Oleh sebab itu, wajar jika Imam Ridha menolak tawaran tersebut karena di dalamnya terselubung makar, tipu muslihat dan konspirasi.
Bukti bahwa langkah tersebut adalah makar, dapat dilihat dari pernyataan Al-Makmun sendiri yang termuat dalam surat yang disampaikan kepada Hamid bin Mahram salah satu pejabat tinggi kerajaan:
“….pria ini bersembunyi dan jauh dari kita. Dia berdakwah untuk dirinya sendiri. Kita angkat sebagai putra mahkota karena kita menginginkan agar dia berdakwah untuk kepentingan kita, mengakui kerajaan dan kekhilafahan kita. Dengan demikian, maka para pengagumnya akan memahami bahwa apa yang diklaimnya sebagai miliknya adalah kosong. Khilafah adalah khusus milik kita dan tiada bagian apapun untuknya. Kita khawatir, apabila kita biarkan dalam posisinya yang semestinya, akan terjadi gejolak di dalam negeri yang kita tidak akan mampu menghadapinya. Jika itu terjadi, akan ada kondisi yang membuat kita lumpuh untuk menghadapinya…”.
Muhammad bin Arafah bertanya kepada Imam: “Wahai putra Rasulullah, apa alasan kamu menerima jabatan putra mahkota? Imam menjawab: “Karena alasan yang sama seperti alasan yang mendorong kakekku, Ali bergabung dalam dewan syura”.
Yasir, salah seorang pembentu Imam, bercerita; Setelah penyerahan jabatan putra mahkota, dia mengunjungi Imam ke rumahnya. Yasir menemukan Imam dalam keadaan mengangkat tangan ke langit, dan berkata:
“Tuhanku, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku menerimanya karena terpaksa, maka jangan Engkau siksa aku sebagaimana Engkau tidak menyiksa hamba-Mu dan Nabi-Mu, Yusuf, ketika menerima kekuasan Mesir”
Imam pernah menegur salah satu sahabat khususnya karena terlihat bergembira atas penerimaan Imam sebagai putra mahkota: “Kamu jangan bergembira, masalah ini tidak akan pernah selesai, dan keadaannya tidak akan pernah tetap seperti ini”.
Baca juga : Ridha atas Ridha Ilahi
Kesyahidan Imam Ridha as
Segala macam cara telah dilakukan Makmun untuk meredam gerakan Imam Ridha dan pengikut-pengikutnya, namun tidak memberikan hasil. Dari sisi lain, Bani Abbas yang lain terus mengkritik dan mengolok-olok sepak terjang Makmun karena memberikan posisi jabatan putra mahkota kepada Imam Ali Ridha as. Itu artinya, masa depan mereka terancam. Tidak ada pilihan bagi Makmun, kecuali mengakhiri hidup sang Imam. Akhirnya, racun yang maha dahsyat ditaburkan dalam makanan dan diberikan kepada Imam yang mengakibatkan kesyahidannya.
Dengan cara ini, Makmun merasa aman dan terbebas dari ancaman. Dengan senang dan bangga, dia menulis surat kepada Bani Abbas: “Kalian telah mengkritik aku karena menyerahkan jabatan putra mahkota kepada Ali bin Musa Ar-Ridha. Ketahuilah bahwa kini ia telah mati. Dengan demikian, kalian harus tunduk dan patuh kepadaku”. [erfan.ir]
Ustaz Miqdad Turkan, Pengasuh Ponpes Darut Taqrib Jepara, Jawa Tengah
Baca juga : Surat Imam Ali Ridha untuk Sang Putra