Berita
Bedah Buku MUI Versi Ciburial
“Kalau memang ada tahrif dalam Al-Qurannya Syiah yang sekarang beredar, gantung saya di Monas!” demikian dikatakan Mohammad Babul Ulum yang langsung disambut dengan sorak-sorai para hadirin yang menghadiri Bedah Buku MUI, “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yang diadakan di Pesantren Quran Babussalam, Ciburial, Bandung, sebuah pesantren berjarak 5 km dari kota Bandung tersebut, pada Minggu (9/30) kemarin. Hal tersebut diucapkan oleh Babul Ulum untuk menjawab tuduhan tentang adanya tahrif Quran milik Syiah di buku MUI.
Kegiatan bertajuk “Merajut Perbedaan dengan Silaturahim” tersebut dihadiri oleh pembicara yang duduk di atas panggung dengan membentuk setengah lingkaran. Mulai dari sebelah paling kiri ke kanan berturut-turut adalah Ust. Mohammad Babul Ulum, M.Ag, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta, DR.H. Izzuddin Mustafa, Sekertaris Komisi Fatwa MUI Jawa Barat, DR. H. Mujiyo Nurcholis,M.Ag, Dosen Ushul Fiqh UIN Bandung sebagai perwakilan dari NU, K.H. Drs. Muchtar Adam, pendiri Pesantren Babusalaam, DR. H. Fadullah M Said, MA yang merupakan pimpinan Yayasan Babusalaam saat ini dan yang paling kanan adalah Ust. Fajruddin Muchtar, LC sebagai moderator.
Buku MUI Ilusi
DR.H. Izzuddin Mustafa selaku Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jawa Barat membuka perkataannya dengan permintaan maaf pada para hadirin yang hadir saat itu, karena seharusnya yang berkompeten hadir seharusnya penulis buku MUI tersebut. Cendikiawan muslim yang meraih gelar doktornya dalam Program Bahasa Arab di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung DJati Bandung tersebut menyampaikan bahwa beliau ditunjuk MUI untuk melakukan klarifikasi terhadap buku MUI tersebut sebagai pesan Ketua Umum MUI dan Sekjen MUI Pusat. “Pesan dari Pak Kyai, ketua umum bahwasanya buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia adalah buku representasi dari MUI, ini pesan Sekretaris dan juga Ketua Umum MUI.”
Selanjutnya, pemuka MUI Jawa Barat yang lahir di Lempuyang, Tanara Serang, Banten, 20 September 1961 tersebut menjelaskan beberapa pokok kandungan yang terdapat dalam buku MUI dimaksud, dari yang menyatakan bahwa Syiah meyakini tahrif Quran, mengkafirkan para sahabat Nabi Muhammad saw, mengkafirkan umat Islam. Syiah juga mengimani bahwa kedudukan para Imam Syiah lebih tinggi atau berderajat daripada nabi dan rasul serta perkara hukum nikah mut’ah.
Tidak seperti dalam bedah buku MUI yang terlaksana selama ini yang cenderung satu arah dengan menghadirkan narasumber dari MUI saja, diskusi kali ini juga menghadirkan narasumber dari pihak Syiah yaitu Ust. Mohammad Babul Ulum. Dalam kesempatan ini, akademisi yang terlahir di Pekalongan 15 juli 1974 itu mengatakan bahwa tuduhan dari buku MUI tersebut semuanya adalah bohong dan salah seratus persen. Babul Ulum menegaskan bahwa apa yang ada dalam buku MUI itu adalah ilusi dan bukan berdasarkan fakta. Dicontohkannya tentang tuduhan tahrif Quran dan tuduhan Al-Quran Syiah beda dengan milik Sunni.
“Saya berani seratus persen, tolong tunjukkan kepada saya, mana Al-Qurannya Syiah yang memuat perubahan-perubahan seperti yang disebutkan dalam buku ini? Kalau memang ada dalam Al-Qurannya Syiah yang sekarang beredar, gantung saya di Monas!” tegas Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta tersebut. Ia kemudian mempertanyakan sikap yang serupa terhadap orang yang menyatakan adanya perbedaan Qur’an Syiah dan Sunni, serta tahrif yang sering dianggap sebagai penyimpangan Syiah tersebut. “Tapi beranikah mereka-mereka yang mendukung di dalam buku ini yang menuduh bahwa Al-Qurannya Syiah itu berbeda, beranikah digantung di Monas kalau ternyata itu tidak ada?” tantang Babul Ulum di hadapan para hadirin yang langsung disambut tepuk tangan dengan meriah.
Sejalan Babul Ulum, K.H. Drs. Muchtar Adam, yang masih tampak segar walaupun sudah berusia 77 tahun serta rambut dan janggutnya telah memutih, menerangkan tentang tuduhan dalam buku MUI dengan menceritakan bahwa suatu saat, Pak Quraisy Syihab bertemu dengan seorang Salafi Madinah di Makassar dan mengatakan bahwa Quran milik Syiah berbeda. Pak Quraisy Syihab lalu mengatakan kepadanya akan membelinya 100 juta bila memang ada Quran Syiah yang dimaksud oleh Salafi tersebut terbukti adanya.
“Saya sudah 7 kali ke Iran meneliti dan ini Quran-quran yang diterbitkan di Iran”, ujar KH. Muchtar Adam sambil mengangkat dengan tangannya untuk menunjukkan sebuah Al-Quran dengan sampul emas kepada mereka yang hadir. “Saya teliti Quran ini cetakan Iran. Ada lagi Mu’jam, Qiraat Quran, saya teliti, saya belum menemukan apa yang dikatakan oleh MUI bahwa Qurannya beda”, tegasnya. KH Muchtar Adam menyarankan pada para hadirin agar kalau ada apa-apa harus tabayyun. Diceritakannya pula bahwa baru-baru ini ia bertemu orang Sunni di Iran, di Ghilan. Di sana ada mahzab Syafi’i, kemudian di wilayah timur Iran ada Mahzab Hanafi dan mereka semua menurut KH Muchtar Adam memiliki perwakilan di parlemen Iran.
Buku MUI Tidak Ilmiah
Sebagai pembicara keempat DR. H. Fadullah M Said, MA, menyoroti ketidakilmiahan buku MUI “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia.” Fadullah mempertanyakan judul yang menggunakan istilah “penyimpangan” dan bukan menggunakan istilah “perbedaan”. “Kalau saya melihat buku itu, tidak begitu tepat bila dikatakan sebagai penyimpangan tapi lebih tepat bila dikatakan sebagai perbedaan. Kenapa? Kalau penyimpangan itu berartikan ada salah satu pilihan, sesat atau benar. Sementara belum ada kejelasan dan saling ada pembelaan” ujar Fadullah dengan wajah yang tenang dan sesekali memberikan senyuman ringan.
Kemudian Fadullah membuka buku MUI tersebut dan mengajak para hadirin untuk membuka halaman 85, yang di dalamnya terdapat tabel tentang penyimpangan Syiah. “Saya baca tabel ini, sebelum buku ini lahir, karena buku yang dibuat oleh kiyai Sidogiri, di sana santri-santri menulis bukan penyimpangan, boleh di cek di www.albainat.com di sana ditulis perbedaan Sunni-Syiah”, tegas Fadullah sambil tetap menunjukkan halaman buku tersebut pada para hadirin.
Secara umum, menurut Fadullah buku MUI tidak menjelaskan Syiah mana yang menyimpang? Menurut Fadullah seharusya, sebagai buku ilmiah harus diklasifikasikan mana Syiah yang menyimpang dan mana yang tidak? Apakah menurut MUI semua Syiah itu menyimpang?
Menyoroti masalah istilah Rafidha dalam buku MUI, Fadullah menegaskan bahwa Ibnu Taimiyah, memang mengkafirkan Rafidha tapi bukan Itsna ‘Asyariah melainkan Ismailiyah dan Safawiyah. Hal tersebut tidak ditulis dan dideskripsikan dengan jelas di buku MUI bahwa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah itu sebagai Rafidha itu Syiah Ismailiyah.
Fadullah juga menerangkan bahwa seharusnya di dalam penulisan ilmiah termasuk tesis atau desertasi selalu ada pembatasan penulisan, Kalau buku MUI ini tidak dibatasi akibatnya orang juga bingung membacanya, kasihan umat itu yang tidak tahu, jadi ini seharusnya ada pembatasan ilmiahnya, mana yang menyimpang dan yang tidak?
“Ya, itu kalau kita mau mencerdaskan umat. Kecuali kalau kita mau mengadu domba umat ya nggak apa-apa” tukas Fadullah. Buku MUI yang tidak mengungkap perkembangan dan pergeseran Syiah selama ini juga menjadi bahan kritiknya. Sumber tentang Syiah yang ada dalam buku MUI tersebut lebih banyak mengambil karya-karya ulama pada abad ketiga dan keempat yang besar kemungkinannya telah mengalami pergeseran-pergeseran.
“Kalau MUI merujuk ulama-ulama modern yang 1800-1900-an, mungkin wawasan kita akan sedikit lebih terbuka dan tidak begitu mudah untuk saling menuduh” ujar Fadullah. “Kalau buku ini dibawah kedesertasi maka akan ditolak” tandasnya.
Permasalahan Hadis
Terkait dengan tuduhan bahwa Syiah tidak menerima hadis yang dirawikan oleh orang-orang di luar Syiah, Babul Ulum membantah hal tersebut. Dijelaskannya bahwa dalam tafsir Quran yang ditulis oleh Ulama Syiah dan diterbitkan oleh penerbit Mizan, terdapat banyak riwayat yang bukan dari kalangan Syiah.
“DR. Fadullah, Ketua Yayasan Babusalaam, disertasinya tentang hadis-hadis Sunni di dalam Al-Mizan, betul tidak?” tanya Babul ulum dengan menujuk pada Fadullah yang ada di seberangnya, yang direspon dengan senyum-senyum kecil oleh Fadullah mengangguk pertanda mengiyakan apa yang dinyatakan oleh Babul Ulum.
Babul Ulum menjelaskan bahwa hadis tersebut yang dinukil dari kalangan di luar Syiah disebut dengan hadis muwatstsaq yakni hadis-hadis yang diriwayatkan bukan orang Syiah tetapi dikenal sebagai orang yang tsiqah karena itu hadisnya diterima. Lebih lanjut Babul Ulum menegaskan bahwa orang-orang Ahli Sunnah juga mengatakan banyak riwayat Bukhari dan Muslim mengambil riwayat-riwayat dari orang yang terindikasi atau diindikasi sebagai orang Syiah.
“Jadi Sunni-Syiah sejak zaman dulu itu sudah saling mengisi” terang Babul Ulum.
Sementara itu DR. H. Mujiyo Nurcholis,M.Ag yang mewakili NU yang juga Ketua LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) organisasi Islam terbesar di tanah air tersebut. “Saya berada di tengah-tengah fatwa MUI dan pembelaan dari Syiah tadi” kata dosen Ushul Fiqhi UIN Bandung tersebut sebagai pertanda kehati-hatian agar tidak terlibat lebih jauh dalam polemik antara MUI dan Syiah.
Dalam paparan pembicaraannya dosen yang menulis disertasi doktoralnya tentang hadis-hadis mengenai Imamah tersebut lebih banyak menyoroti sejarah perkembangan terbentuknya kelompok dalam Islam selepas Rasulullah saw. wafat. Ia membagi para sahabat nabi sepeninggal beliau menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Abu Bakar dan Umar yang mewakili Muhajirin, kemudian kelompok Anshar, dan yang ketiga adalah kelompok keluarga nabi yang merawat jenazah nabi hingga dimakamkan.
Yang menarik dari paparan Mujiyo adalah ketika menjelaskan bahwa Yazid bin Muawiyah diharamkan untuk mengeluarkan hadis. Hal tersebut telah disepakati oleh seluruh ulama hadis Sunni. Jadi menurut Mujiyo, kalau ada hadis yang riwayatnya datang dari Yazid bin Muawiyah maka para ulama wajib untuk menolaknya. “Perlu diketahui dalam ilmu Hadis Sunni, di kalangan ulama hadis menyatakan haram hukumnya meriwayatkan hadis dari Yazid bin Muawiyah” jelas Mujiyo.
Adu Domba Umat
“Sekarang ini memang sedang disetting sebuah upaya adu domba umat Islam dan isu yang paling laku untuk dijual adalah isu perbedaan Sunni Syiah bahkan di seluruh dunia”, ujar Babul Ulum saat menjelaskan, Apa sebenarnya yang melatarbelakangi munculnya buku MUI Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia? KH Muchtar Adam juga menegarai hal yang sama, bahwa ada skenario global untuk menghancurkan Islam yang ada di Indonesia saat ini seperti halnya Islam yang ada di Timur Tengah saat ini, yang sejumlah wilayahnya telah hancur akibat peperangan dan adu domba antar sesama Islam yang kembali menebarkan isu lama dengan membenturkan antara Sunni dan Syiah.
Adam kemudian menceritakan bahwa pada zaman Rasulullah dulu, ada seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, Yahudi tersebut bernama Syaas bin Qais yang mengadu domba antar sesama umat Islam. Hingga antar sesama umat Islam pada masa itu tertipu dan bersengketa. Dua pasukan dari umat Islam yaitu pasukan Aus dan Khazraj saling berhadapan dan menghunus pedang. Mengetahui hal itu, beliau pun mendatangi mereka yang bertikai dan berkata “apakah kalian akan kembali ke zaman Jahiliah?” kemudian turunlah Surat Ali-Imran ayat 99 yang berbunyi :
Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
Ayat di atas menurut KH Muchtar Adam dapat ditafsirkan bahwa Syaas bin Qais akan datang pada setiap tempat dan zaman. Syaas bin Qais pada saat itu individu paling lemah, tapi Syaas bin Qais pada saat ini adalah seluruh kekuatan ekonomi, politik media, ada pada Syaas bin Qais. Diterangkannya juga betapa hebatnya tantangan dunia Islam pada saat sekarang ini membandingkan dengan zaman Rasulullah SAW. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa adu domba antar umat Islam ini akan terjadi hingga dunia kiamat, yaitu Syaas bin Qais di balik agenda global yang mengatur semuanya yang sasarannya sekarang adalah bagaimana Indonesia itu bisa dihancurkan sama dengan Timur Tengah saat ini.
“Sehingga membaca buku MUI ini saya sedih, sebagai ulama yang mengatasnamankan Majelis Ulama. Kok mengatasnamakan Majelis Ulama, sedangkan sudah ada deklarasi Amman, Deklarasi Bogor, Deklarasi Jeddah” jelas KH Muchtar Adam saat mengungkapkan keprihatinannya atas penerbitan buku tersebut.
Dalam pernyataan penutupnya, Fadullah menegaskan bahwa Islam tidak membenarkan pengikutnya menyesatkan, apapun mahzabnya, baik Sunni ataupun Syiah. Islam juga tidak membenarkan penghinaan terhadap Istri Nabi saw ataupun para sahabat beliau.
“Fatwa terakhirnya Ali Khamaeni, bahwa haram hukumnya orang Syiah menghina rambu-rambu yang dihormati oleh Ahlusunnah Wal Jamaah” terang Fadullah.
Kemudian Fadullah menjelaskan bahwa siapapun orang Syiah yang menjelekkan rambu-rambu yang dihormati oleh Ahlusunnah Wal Jamaah, itulah yang mungkin oleh Izzuddin, wakil MUI disebut sebagi Syiah Rafidha yang mengkafirkan Sunni. Fadullah melanjutkan bahwa apabila umat Islam ingin bersatu maka semua umat Islam dari semua golongan harus menghormati dan saling menghargai rambu-rambu yang dihormati oleh masing-masing golongan, baik dari Sunni ataupun Syiah.[Lutfi/Abu Mufadhdhal]