Berita
Adakah Agama Yang Ajarkan Syiar Kebencian?
Lelaki berumur 45 tahun itu dikepung ratusan massa yang beringas acung-acungkan celurit, parang, dan kayu di hadapannya. “Kafir!”, “Sesat!”, “Bunuh!”, “Bakar!” dan kata-kata ancaman bengis lainnya memenuhi udara yang berdebu oleh ratusan, bahkan ribuan pasang kaki di dusun terpencil Sampang, Madura, 26 Agustus 2012 lalu.
Lelaki itu tetap tegar. Tak nampak ketakutan di wajahnya. Yang ia khawatirkan hanyalah para wanita dan anak-anak di belakangnya yang menjerit-jerit ketakutan karena rumah mereka dibakar massa dan saudara-saudara mereka dianiaya.
Di tengah jeritan perempuan dan anak-anak serta sumpah serapah massa yang beringas, hampir serak suara lelaki berteriak meminta maaf dan menawarkan perdamaian. Dan meski tidak fasih, ia berkali-kali mengutip pesan Allah dan Rasul-Nya yang mengajarkan kasih-sayang dan dialog sesama saudara.
Namun apa mau dikata, masifnya fitnah dan syiar-syiar kebencian yang menyulut kesalahpahaman dan permusuhan tak terkendali telah membutakan nurani massa. Celurit menyabet punggungnya. Diikuti terjangan parang dan lemparan batu massa mengeroyoknya. Abangnya, Tohir 48 tahun, yang ingin melindunginya juga ikut roboh dan terluka parah diterjang parang.
Dalam keadaan sekarat di tanah yang berdebu, Muhaimin (15 tahun), anak lelaki itu dan anak Tohir, Zaini (21 tahun) menarik tubuh kedua orangtuanya. Kedua pemuda itu memeluk orangtuanya yang bersimbah darah penuh luka. Namun dari mulut lelaki yang sekarat dan mengalir darah segar itu tak ada dendam. Tak ada umpat dan kebencian. Lelaki itu bahkan berpesan kepada anak lelakinya itu untuk tidak dikuasa dendam. Untuk berbesar hati memaafkan pembunuh-pembunuh ayahnya ini.
Lelaki itu adalah Muhammad Hasyim. Ia dikenal warga dengan nama Hamamah. Dalam bahasa Arab Hamamah berarti merpati. Ia lelaki yang sederhana. Ia tak melakukan kesalahan apa-apa. Ia tak mengzalimi siapa-siapa. Ia hanya berpegang teguh pada apa yang diyakininya. Ia hanya ingin melindungi keluarganya.
Kematian tragis lelaki sederhana di kampung terpencil di sudut Madura ini, beserta 48 rumah, 33 mushala, 43 dapur dan 28 kandang ternak, serta satu sepeda motor yang dirusak dan dibakar warga ini pun berserta ratusan pengungsi yang terlunta seketika menghenyak jagat berita Nusantara kala itu. Bahkan hingga saat ini. Tragedi ini menikam nurani dan kesadaran penghuni tanah bhineka. Betapa agitasi, provokasi, dan ujaran-ujaran kebencian oleh para intoleran yang dibiarkan hukum ini melahirkan tragedi kolosal yang menyayat hati.
Syiar kebencian yang melahirkan kebiadaban dan tragedi seperti inikah yang diajarkan oleh agama kita?
DR. H. Mujiyo Nurcholis,M.Ag. dari salah satu Ormas Islam terbesar di Idonesia, Nahdhaltul Ulama (NU), Dosen UIN Bandung, sekaligus Ketua Lembaga Bantuan Masaail (LBM), ketika ABI Press wawancarai membantah hal ini. Ia menegaskan bahwa syiar kebencian sama sekali bukan ajaran Islam. DR. H. Mujiyo Nurcholis menyitir hadits Nabi mengenai sebuah kubur yang penghuninya disiksa karena suka menyebar kebencian. “Suatu saat Rasul datang ke suatu tempat. Di sana ada dua kubur yang penghuninya disiksa. Salah satunya disiksa karena suka melakukan namimah; menebar kebencian.” Menurutnya semua agama mengajarkan kedamaian, terutama agama Islam. “Islam sendiri kan artinya mendamaikan,” terang DR. H. Mujiyo.
Hal yang sama diungkapkan oleh Sekjen Ormas Islam Muhammadiyah, Abdul Mu’thi. Dalam ajaran Muhammadiyah, umat Islam senantiasa diperintahkan bertutur kata mulia atau diam saja.
“Kita hendaknya juga mengucapkan kata-kata yang mendamaikan. Yang menentramkan. Dalam bentuk menyelesaikan persoalan yang bisa menimbulkan perpecahan,” terang Abdul Mu’thi. “Kita kan senantiasa harus mengucapkan salam ya? Salam kan tidak sekedar mengucapkan kata-kata, tapi juga mengucapkan kalimat yang menyejukkan dan mendamaikan. Bukan provokasi atau agitasi yang memancing kemarahan dan permusuhan pada orang atau kelompok lain.”
Tak hanya dalam pandangan Islam, dalam pandangan agama-agama lain pun, ujar-ujar kebencian sangat dilarang dan bukan bagian dari ajaran agama mereka. Pande Ketut Putrika Ayu, Ketua Departemen Infokom Dewan Pimpinan Nasional Peradah Indonesia menjelaskan bahwa dalam agama Hindu, syiar kebencian (hate speech) sangat tidak sesuai dengan konsep ajaran Hindu, Tat Twam Asi.
“Tat Twam Asi mempunyai arti Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau. Intinya adalah bagaimana menyayangi diri sendiri demikian juga menyayangi orang lain bahkan lingkungan sekalipun. Atas dasar itu maka tindakan hormat menghormati sesama umat beragama sangat diperlukan bahkan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” jelas Pande Ketut Putrika Ayu.
Dalam pandangan Budha, sebagaimana diterangkan oleh Zimuh Goh, S.Ag, seorang pengamat praktisi Budha, hate speech tidak diajarkan dalam Budhisme. Ini karena ajaran Budha adalah Ahimsa, yaitu ajaran yang tanpa kekerasan. Dalam semua bentuknya. Baik itu dalam bentuk pikiran, ucapan, apalagi perbuatan.
“Ajaran Budha mengajarkan orang menghindari perbuatan-perbuatan yang mengarahkan kerugian bagi orang lain. Artinya dalam mindset berpikir orang Budha, harus mindset yang penuh kasih sayang dan cinta kasih,” papar Zimuh Goh.
Bagaimana dengan pandangan Kristen dan Katolik mengenai syiar-syiar kebencian ini? Untuk mengetahuinya kami berkesempatan mewawancarai Pendeta Edwin Marbun dari Kristen dan Romo Benny dari Katolik.
Menurut Pendeta Edwin Marbun, hate speech dilarang dalam iman Kristiani. Apalagi menuduh saudaranya atau sesamanya kafir. “Siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama. Dan siapa yang berkata: Jahil!” Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala,” ujar Pendeta Edwin Marbun menyitir Al-Kitab, Matius 5 Ayat 22. Dalam ajaran Kristen, bahkan ketika ada orang yang menzalimi, tidak boleh balas membenci. Justru umat Kristen harus menebar kasih dan memaafkan mereka.
Romo Benny pun menegaskan bahwa Gereja Katolik dalam dokumen resminya mengajari umatnya untuk tidak menghina agama orang lain. “Katolik jelas ajarannya tak boleh menghina dan melecehkan hal yang sifatnya suci dan kudus. Gereja menghormati hal yang suci dan kudus. Tidak boleh menghina dengan kata-kata, lisan tertulis ataupun tindakan yg menghina,” ujar Romo Benny.
Jelas sekarang, bahwa agama mana pun tidak mengajarkan hate speech atau syiar-syiar kebencian. Semua menyadari bahwa hate speech merupakan pemicu tindak kekerasan dan kebiadaban seperti yang terjadi di kasus Syiah Sampang, Ahmadiyah, juga Kristen.
Lalu jika agama-agama terbukti tidak pernah mengajarkan hate speech yang penuh dengan dusta, fitnah, dan kebencian yang melahirkan tragedi-tragedi kemanusiaan ini, ‘agama’ macam apakah yang menjadi sumber syiar-syiar kebencian ini? Yang akhir-akhir ini makin masif menyebar di tengah masyarakat kita? (Muhammad)