Berita
Jejak Pengaruh Syiah di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar dan Mandar [1/4]
Jejak Pengaruh Syiah di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar dan Mandar [1/4]
Pengantar
Masyarakat meyakini bahwa suku-suku di Pulau Sulawesi telah berasimilasi dengan nilai-nilai dan ajaran Islam. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa suku dan etnik di Sulawesi juga dipengaruhi budaya dan tradisi Hindu, Buddha, Kristen, dan Barat. Tulisan ini mencoba untuk memberikan analisis dengan perspektif yang berbeda, khususnya dalam kaitan budaya Islam yang telah menancapkan sebuah tonggak yang sangat kuat dalam corak kehidupan masyarakat dan etnis di Sulawesi yang telah berasimilasi dengan budaya Islam versi Arab, Gujarat, dan Persia. Signifikansi studi ini terletak pada upaya untuk menghadirkan sebuah persepsi baru dari pemahaman umum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Muslim di Sulawesi, dan mungkin di tempat lain, yang berpandangan bahwa pengaruh Islam pada budaya dan tradisi suku-suku yang ada di wilayah ini hanya berasal dari Arab. Di Sulawesi, budaya Islam dipahami dan diklaim dipengaruhi oleh hanya Islam-Arab, atau disampaikan oleh orang Arab. Pengaruh budaya Islam yang lain seperti Islam versi Persia belum diketahui apalagi dikenal oleh masyarakat pada umumnya.
Baca Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha [1/2]
Pandangan tersebut muncul dipengaruhi oleh beberapa faktor; pertama, pandangan eklusif Islam yang menganggap Islam sama dengan Arab. Kedua, ulama Persia dalam menyebarkan Islam lebih suka dan cenderung untuk menggunakan bahasa Arab. Akibatnya masyarakat memahaminya sebagai orang Arab. Ketiga, secara fisik orang-orang Persia sangat mirip dengan orang Arab. Keempat, mereka yang punya status sosial tinggi di masyarakat, seperti; raja, ilmuwan-intelektual, sejarawan, dan pemimpin agama mempunyai kontribusi yang kuat untuk semakin menegaskan persepsi tersebut dengan taken for granted (diremehkan), tanpa melakukan penelitian secara akurat dan mendalam. Sebagai contoh, tidak ada orang yang mengetahui bahwa Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra sebagai orang Persia, ulama besar yang merupakan kakek dari para wali songo, yang datang ke Sulawesi jauh sebelum Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang, serta Datuk Di Tiro menginjakkan kakinya di Kerajaan Tallo.
Menurut Martin Van Bruinessen (1995) bahwa anak-anak Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya, sudah diduga mengembara ke Asia Tenggara. Jamaluddin, pada awalnya, menginjakan kaki di Kamboja terus ke Aceh. Setelah itu, ia berlayar ke Semarang dan menghabiskan bertahun-tahun waktunya di pulau Jawa. Akhirnya, ia melanjutkan perjalanan ke Pulau Sulawesi dan tinggal di sana sampai wafat. Menurut riwayat lain, ia menyebarkan Islam ke Indonesia dengan kafilah keluarganya. Ketika ia menuju ke Pulau Jawa, anaknya Sayyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) tetap di Aceh untuk mendidik rakyat tentang Islam. Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra tiba di Pulau Jawa pada masa imperium Majapahit. Beberapa tahun tinggal di bawah pemerintahan Majapahit, lalu menuju ke negeri Bugis, dan ia meninggal di Wajo (Sulawesi Selatan).
Van Bruinessen (1995) mencatat bahwa Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra tiba di tanah Bugis pada tahun 1452 Masehi, dan meninggal pada 1453 Masehi. Uka Tjandrasassmita (2006), sejarawan terkemuka Indonesia, memperkirakan bahwa Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra masuk ke Sulawesi Selatan (Tosora-Wajo) pada pertengahan abad ke-14 Graaf dan Pigeaud mengakui bahwa Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra adalah orang suci legendaris dan juga dikenal sebagai ulama suci Islam. Dalam versi lain, Amir Djumbia (2009), Staf Publikasi Balai Pelestarian.
Peninggalan Purbakala Makasar mengatakan bahwa sekali waktu ada seorang Muslim dari Persia yang pernah mengunjungi Indonesia Timur dan mengabarkan tentang Islam di Sulawesi Selatan. Muslim Persia itu mengatakan bahwa di Sulawesi Selatan telah ada beberapa Kaum Muslim sekitar abad ke-2 Hijriyah. Ia juga memberitahukan mengenai kehadiran sekelompok orang Islam di antara masyarakat Sulawesi Selatan. Menurutnya Islam di Sulawesi Selatan dibawa oleh Sayyid Jamaluddin Husein Al-Kubra yang datang dari Aceh melalui Jawa (Padjadjaran). Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra datang ke Jawa atas undangan Prabu Wijaya. Prabu Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke-27, yang lahir di Pakuan, menjadi Raja Majapahit pertama (1293-1309 Masehi).
Tidak lama kemudian, Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra melanjutkan perjalanan bersama dengan 15 orang rombongan ke Sulawesi Selatan. Mereka datang ke daerah Bugis dan tinggal di Tosora-Wajo dan meninggal di sana sekitar 1320 Masehi. Ada juga riwayat lain dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (1992) menyebutkan bahwa raja yang ke empat puluh dari kerajaan Bugis bernama Lam Dasilah anak Datuk Raluwak memeluk Islam pada tahun delapan ratus hijrah (800 Hijriyah). Dan ia memperkirakan bahwa tahun itu juga adalah masa kedatangan Sayyid Jamaluddin ke tanah Bugis, yang bertepatan dengan tahun 1397 Masehi. Penulis telah melakukan penelusuran referensi dan menanyakan ke beberapa sejarawan terkemuka, tetapi nama Lam Dasilah tidak dikenal sebagai salah satu nama dari raja-raja Bugis. Besar dugaan nama Lam Dasilah, tidak lain dari La Maddusila yang merupakan Raja Luwukyang pertama memeluk Islam sebagaimana disebutkan oleh Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji dalam kitabnya Tuhfat al-Nafis.
Keterangan data tersebut menunjukkan bahwa Islam memang telah dikenal jauh sebelum ketiga tokoh yang dikenal sebagai penyebar Islam di Sulawesi yaitu Datuk Ribandang, Datuk Patimang, Datuk Ditiro. Selain itu, ulama dan budaya serta tradisi Islam Persia memang ada di Sulawesi Selatan dan telah berasimilasi pada kehidupan dan budaya masyarakat di Sulawesi Selatan. Asimilasi ini sebagaimana yang ditinggalkan oleh Sayyid Jamaluddin Husein al-kubra yang datang dari di Persia ( Samarkand) maupun oleh Datuk Ribandang, Datuk Patimang, Datuk Ditiro yang lahir di Sumatera. Ketiga ulama tersebut dipandang sebagai penyebar agama Islam yang pertama di Sulawesi Selatan. Mereka tiba di Bandara Tallo tahun 1605.
Kelima, para peneliti, ilmuwan dan muballigh terdahulu di Indonesia ketika mengidentifi kasi Persia mereka menyebutnya dengan Arab Persia. Tidak pernah disebut dengan Persia saja. Selalu ada rangkaian Arab. Sehingga belakangan diidentifi kasi sebagai Arab saja, Persia kemudian hilang. Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya pengaruh budaya Islam Persia di Nusantara telah menorehkan jejak-jejak khusus dan istimewa bagi pengembangan kebudayaan, intelektual, agama, pemerintahan, dan kenegaraan di Nusantara. Sayangnya, posisi tersebut tidak mendapat perhatian yang signifi kan dari sarjana-sarjana di Indonesia. Pengaruh budaya Islam Persia itu terasa kuat dalam doa-doa, upacara keagamaan, pemikiran Sufistik; dalam perbendaharaan kata, corak penulisan hikayat, puisi, karya bercorak sejarah, adab, hukum dan risalah keagamaan yang lazim disebut sastra kitab. Dalam empat yang terakhir pengaruh Persia tidak hanya berkaitan dengan gaya bahasa, tetapi juga estetika dan bahan verbal penulisan seperti contoh- contoh kisah yang diselipkan di dalam kitab-kitab tersebut.
Kasus, Metode, dan Tujuan
Artikel ini akan memfokuskan pada asimilasi budaya Islam Persia dalam budaya dan tradisi etnik di Sulawesi, terutama pada etnik Bugis, Makasar, dan Mandar yang mana embrio asimilasi awal mulanya ditandai ketika Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra pertama kali menginjakkan kaki di Tosora-Wajo, yang seterusnya menyebar ke berbagai wilayah dan suku yang ada di Sulawesi. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengidentifikasi jenis asimilasi budaya (tradisi Syiah) Persia pada budaya dan tradisi etnis di Sulawesi dan menjelaskan pesan dan hikmahnya. Studi kasus ini dibangun dengan mempelajari teks-teks kesusastraan, tulisan ilmiah, dan melakukan wawancara secara mendalam dengan para pemimpin komunitas atau sesepuh masyarakat seperti di Cikoang, Tosora, Mandar, dan beberapa kaum terpelajar di Sulawesi.
Pembahasan
Sebelum terlalu jauh menjelaskan dan memaparkan bagaimana bentuk asimilasi Budaya (Islam) Persia pada tradisi budaya Bugis, Makasar, Mandar, dan Toraja terlebih dahulu penulis menggambarkan suatu bentuk pemetaan unsur-unsur kebudayaan guna memudahkan dalam mengidentifikasi bentuk-bentuk kebudayaan secara akurat. Menurut Herudjati Purwoko (2003) bahwa ada tiga materi budaya; rekayasa budaya, perilaku budaya, dan artefak budaya. Rekayasa budaya ini bisa dipahami sebagai sebuah usaha dari seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam rangka menggambarkan sikap, pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai mereka dengan sebuah konstruksi tatanan yang berlangsung secara terencana dan terorganisir. Hal tersebut bisa dilihat pada nilai dan norma yang dimiliki oleh orang dan kelompok masyarakat yang mengontrol cara mereka berinteraksi satu sama lain atau terhadap pihak di luar masyarakatnya sendiri.
Rekayasa budaya ini pula menjadi pola dan pedoman bagi individu dan masyarakat dalam kesehariannya. Perilaku budaya adalah perilaku yang ditunjukkan oleh kelompok masyarakat. Perilaku budaya tidak mengikat secara individu. Artinya, ia adalah perilaku yang hanya bisa dipresentasikan oleh kelompok tertentu yang terdapat pada sebuah komunitas dan masyarakat tertentu. Artefak budaya adalah benda-benda buatan manusia yang memberikan informasi tentang penciptaan dan penggunaan suatu budaya. Artefak bisa berubah dari waktu ke waktu dalam apa yang diwakilinya, bagaimana muncul serta bagaimana dan mengapa digunakan sebagai perubahan budaya dari waktu ke waktu. Penggunaan istilah ini mencakup jenis artefak arkeologis yang ditemukan di situs arkeologi. Akan tetapi, demikain ia juga mencakup buatan masyarakat modern. Misalnya, dalam konteks antropologis; televisi adalah artefak budaya modern.
Pengaruh Sastra
Peradaban Persia merupakan salah satu peradaban yang tua dan terkaya di dunia. Dua setengah millennium kebudayaan Persia telah menginspirasi sastra dunia, mengilhami penyair, penulis, dengan ragam arsitektur yang megah, mengesankan, dan unik yang hanya bisa disaingi oleh beberapa suku bangsa di dunia. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan daya penetrasi peradaban Persia sangat kuat bila berada pada suatu kebudayaan di suatu etnis tertentu seperti yang ada di Sulawesi. Peradaban Persia sejak awal mula dikenal mempunyai peradaban yang tinggi. Di Persia, Shahnameh adalah kumpulan syair ditulis oleh Abul Qasim Firdausi pada tahun 1000 Sebelum Masehi. Di tanah Persia, menarasikan teks-teks kuno yang legendaris seperti karya Firdausi baik pada tempat formal maupun non-formal yang seringkali diiringi musik adalah suatu kebiasaan yang terjaga hingga kini. Mereka dengan sangat cepat dan fasih melantunkan syair-syair yang di tulis oleh Firdausi, Hafez, Sadi atau Rumi seperti pada kitab Shahnameh, Divan-e Hafez, Golestan-e Sa’di, dan Matsnavi-Ma’navi-e Rumi.
Sebagian besar analis sastra Persia mengatakan bahwa syair-syair yang ada di Persia, khususnya Shahnameh selain memiliki nuansa sastra yang universal juga menjadi tonggak untuk penegasan identitas diri bangsa dan masyarakat Iran (Shahbazi: 1991). Akan tetapi, bagi masyarakat Muslim, sastra Persia diidentifi kasi atau lebih dikenal sebagai sastra Sufistik, atau dalam istilah Kuntowijoyo disebut sebagai sastra profetik. Bagi masyarakat Iran, syair sudah menjadi bagian yang menyatu dengan kehidupan mereka, sehingga arti penting kehadiran syair-syair para penyair besar seperti Firdausi, Hafez, Saadi, Rumi, dengan segala karya syairnya telah menjadi medium dan bentuk pelestarian semangat dan karakter bangsa Iran. Tradisi kesusastraan Persia yang terus menerus berkembang dan terjaga dengan baik dengan coraknya yang Sufistik membuat tradisi ini sangat mudah mempengaruhi tradisi kesusastraan masyarakat Sulawesi yang dikenal religius, jujur, terbuka, dan egaliter. Di samping faktor itu, penyebab lain mengapa sastra Persia bisa meresap kuat masuk ke ruang wacana kesusastraan dan kehidupan manusia Bugis, Makasar, dan Mandar adalah faktor kondisi internal masyarakat Sulawesi yang mana di era itu terjadi kevakuman kreatifitas para budayawan, agamawan, dan intelektual untuk merawat, dan mengembangkan tradisi oral, dan literer-nya.
Adapun dinamisasi tradisi lisan suku-suku di Sulawesi dapat dibagi dalam dua fase. Fase pertama, tradisi lisan lebih banyak memuat tentang awal mula kejadian bumi, kejadian manusia pertama, dan kesaktian Sawerigading. Sedikit lebih maju semakin variatif dengan cerita tentang raja-raja, binatang, dan cerita romantik. Bentuk tradisi lisan ini diungkap dalam bentuk yang disebut pau-pau, rampe-rampe, elong, dan toloq. Fase kedua, tradisi lisan yang mengadopsi banyak cerita dan sanjungan kepada tokoh utama dalam Islam seperti Imam Ali, Bunda Fatimah, Imam Hasan, Imam Husein, ada juga kisah lainnya Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Hal ini dapat kita lihat pada cerita tentang Pakeang Urane (Kesempurnaan Laki-laki), Canningrara (Pemikat Perempuan), serta kisah anak Saleh dan lain-lain.
Setelah Islam datang cerita tentang Sawerigading kemudian perlahan-lahan mulai memudar diganti dengan ketokohan Ali bin Abu Thalib, Fatimah az-Zahra. Untuk Ali lebih dikenal dengan Baginda Ali, sementara Imam Hasan dan Imam Husein, lebih dikenal Asang dan Useng. Sedangkan nama Fatimah tetap disebut Fatimah. Mereka adalah simbol manusia dan keluarga sempurna; sebagai suami-istri, ayah-ibu, dan anak-anak. Menjadikan pribadi-pribadi agung tersebut sebagai model yang sempurna untuk kehidupan manusia dalam pandangan Islam adalah sebuah corak pandangan yang sangat kental dengan ajaran Syiah (Persia). Bentuk pengagungan tokoh-tokoh tersebut dalam literatur yang ada pada suku-suku di Sulawesi lebih banyak pada nuansa kepahlawanan, keberanian, cinta ideal sepasang suami istri, serta perilaku anak-anak saleh. Sebagai contoh: ’Syair perang mengkasar’ ‘keempat sahabat baginda Ali lagi menantu kepada Nabi gagahnya indah tidak terperi harimau Allah ia dinamai.
Contoh Lain: Pannessaengngi bicaranna Allaibingengnge/Yinae pangissengenna Bagenda Ali ri wettu maelona pasitai alenae y-Ali na Patima/Wenni Jumai nabauwwi apa kuwai mmonro maninna/Sattui nabaui ulunna APA kuwai mmonro maninna/wenni Aha’inabauwwi matanna apa ‘kuwai mmonro maninna/Wenni seneng nabauwwi pallawangeng enninna/Salasai Wenni nabauwwi inge’na apa kuwai mmonro maninna/Wenni Araba’I nabauwwi Olona apa kuwai mmonro maninna.
Terjemahan: Penjelasan tentang hubungan suami-istri. Ini adalah pengetahuan dari: Baginda Ali ketika ia ingin melakukan hubungan dengan Fatimah/ Pada malam Jumat ia mencium kepala mahkotanya karena di situ pusat sensitifnya/Sabtu ia mencium kepalanya karena di situ pusat sensitifnya/Minggu malam dia mencium matanya karena di situ pusat sensitifnya/Senin malam, ia mencium di antara alisnya di situ pusat sensitifnya/Selasa malam, ia mencium hidungnya karena di situ pusat sensitifnya/Rabu malam, ia mencium dadanya karena di situ pusat sensitifnya.
Pengaruh Bahasa
Christian Pelras (2005) menulis dalam Manusia Bugis bahwa kata waju dalam Bahasa Bugis berarti pakaian, itu berasal dari kata Persia, yang berasal dari kata bazu dalam Bahasa Persia berarti tangan. Di Sulawesi, ada puluhan dialek, dan seringkali dialek tersebut memiliki masing-masing istilah untuk satu objek tertentu. Hanya untuk kata baju mereka memiliki kesamaan kata. Artinya (1) kehadiran ulama Persia diterima secara terbuka oleh seluruh masyarakat di Sulawesi. Kata baju sendiri sudah menjadi Bahasa Indonesia. Dapat dipastikan bahwa pengaruh intelektualisme ulama Persia sangat berpengaruh. Bahkan kemudian ia menjadi bahasa nasional. Secara nasional kata baju juga disinyalir dan diakui sebagai pengaruh Bahasa Persia. (2) penerimaan itu juga menunjukkan betapa kata baju ini sangat pas mewakili penamaan pakaian masyarakat Sulawesi.(3) semakin menegaskan pengaruh Persia dalam tradisi dan budaya pada suku-suku di Sulawesi. Disebutkan pula bahwa nama Belawa terkait langsung dengan kehadiran Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra.
Belawa adalah tempat pusat pengajaran Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra. Masyarakat menyebut tempat itu sebagai tempat berkumpul atau bersama dengan Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra. Demikian besar pengaruhnya hingga tempat mengajarnya diabadikan sebagai nama untuk menggambarkan suasana dari ketokohan dan pengaruh ulama Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra. Begitu berkesannya tempat itu ditandai dengan penerimaan masyarakat terhadap kebiasaan dan kegemaran masyarakat terhadap aktivitas pencerahan yang dilakukan oleh ulama Persia itu yang berkunjung dan menetap di Wajo sehingga nama tersebut kemudian dinisbatkan pada bentuk aktivitasnya.
Masyarakat menjadi sangat dekat dan menyatu kepadanya sehingga tempat mengajar itu dinamakan Belawa. Belawa, dibentuk dari suku kata ‘Baa + Alawi’. Ba, dalam Bahasa Persia, itu berarti “dengan” atau “bersama-sama” dan “Alawi” adalah panggilan untuk keturunan Nabi Muhammad. Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra adalah keturunan Nabi Muhammad. Jadi, Belawa berarti bersama-sama dengan keluarga Nabi Muhammad (keturunan) Sayyid Jamaluddin Husein al-Kubra mengajar masyarakat di tempat itu: Belawa. Dalam keyakinan kaum Muslim Syiah (Persia) bahwa memuliakan, mencintai, dan menjadikan Ahl al-Bayt Rasulullah sebagai pedoman dan pemimpin dalam kehidupan kita baik secara politik maupun spiritual adalah mutlak sebagaimana hadist Nabi Muhammad yang mereka yakini: “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua hal yang berharga (tsaqalain) di antara kamu: Kitab Allah dan keluarga saya (itrah), Ahl al-Bayt–ku. Tidak akan pernah terpisah sampai mereka kembali kepada saya di telaga Al-Kausar pada hari kiamat.”
Dalam Alquran (42: 23) juga disebutkan: “Aku tidak meminta upah kepadamu atas seruanku, kecuali kecintaan kepada kerabat (Al-Qurba).” Ketika sahabat bertanya, siapakah Al-Qurba? Rasulullah menjawab: Ahl al-Bayt-ku. Siapakah Ahl al-Bayt Nabi Muhammad? Dalam masalah ini ada dua kelompok besar dalam menafsirkannya: Kalangan Ahl as-Sunnah dan kalangan Syiah. Kalangan Ahl as-Sunnah rata-rata memberi makna yang luas dan beragam, mulai dari Ali bin Abu Thalib, Hasan, Husein dan keturunannya, hingga istri-istri Nabi Muhammad, keluarga Ja’far, dan Keluarga Abas, serta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim. Sementara kalangan Syiah (mayoritas) hanya memberi makna Ahl al-Bayt kepada 12 Imam, yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, dan 9 keturunan Imam Husein.
Ada juga dalam kepercayaan Islam Syiah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad telah membandingkan Ahl al-Baytnya dengan bahtera Nuh. Barang siapa mencintai dan mengikuti mereka akan mendapatkan keselamatan dan siapa pun yang melanggar kesucian mereka akan tenggelam. Sementara memegang pintu Kudus Ka’bah, Abu Dzar mengatakan bahwa ia mendengar Nabi Muhammad berkata,” “Perumpamaan Ahl al-Bayt-ku seperti bahtera Nuh, barang siapa yang menaikinya ia akan selamat, dan barang siapa yang tertinggal ia akan tenggelam.” Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak (v2, hlm. 343, v3, hlm. 150-151) menyatakan bahwa hadist ini shahih berdasarkan persyaratan Muslim. Ahl al-Bayt adalah ungkapan yang berarti penghuni rumah atau keluarga. Dalam tradisi Syiah, hal itu merujuk padarumah tangga Nabi Muhammad. Ahl al-Bayt dalam pengertian yang sederhana adalah menaruh kepercayaan pada keturunan Muhammad melalui Fathimah Az-Zahra dan Imam Ali dan keturunan mereka. Ahl al-Baytatau anggota rumah tangga Nabi Muhammad merujuk kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra. Pada ayat Al-Ahzab, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai Ahl al-Bayt dan menyucikanmu sebersih-bersihnya”(Alquran: 33:33).
Sejumlah kosa kata lainnya yang ada di masyarakat Sulawesi yang disinyalir diserap dari bahasa Persia adalah kosa kata, seperti: Saribanong; Nama Orang (perempuan) (Syahribanu, Putri Raja Persia yang dinikahi oleh Imam Husein), Mardi nama orang (Pria) (dalam Bahasa Persia artinya seorang laki-laki), Bakhtiar: Nama Pria (Persia: Keberuntungan), Paemang (Paiman; Perjanjian), Lemo: Jeruk (Limu: Jeruk Nipis), Tange: Kemalasan, Jendela (Tanga, Tange: Kesempitan), Puluh: Beras Ketan (Polow: Nasi Beras), Sulara: Celana (Shalvar: Celana), Golla: Gula (Gul: Bunga).
selanjutnya Jejak Pengaruh Syiah Di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar Dan Mandar [2/4]
Dikutip dari tulisan Supratman dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara