Laporan Utama
Hate Speech: Memberhalakan Euforia Kebencian
Berabad-abad lamanya, bangsa Indonesia hidup dalam kebhinekaan dan toleransi. Berabad-abad lamanya pula kita bangga dikenal dunia sebagai bangsa Timur yang santun dan ramah. Dan selama itu pula kita mencecap manisnya hidup berdampingan, saling menghargai perbedaan dalam keragaman.
Tentu kita tak ingin mengatakan bahwa selama itu pula negeri kita sama sekali nihil konflik dan ketegangan. Harus diakui, di sana-sini tetap ada konflik dan ketegangan. Sesekali ada tawuran antar kampung karena anak gadis kampung digoda oleh pemuda kampung sebelah, atau adu jotos antar supporter hanya karena salah satu tim favoritnya kalah bertanding sepakbola. Ketegangan semacam itu tergolong ketegangan skala kecil dan masih bisa dikelola. Bahkan secara optimis bisa kita anggap sebagai bagian dari proses pendewasaan karakter bangsa.
Namun akhir-akhir ini, terutama 5 tahun terakhir seiring dibukanya kran demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat, kebhinekaan kita mendapatkan tantangan yang serius. Sekarang mudah sekali kita temukan di berbagai media, terutama di media sosial, penuh sesak ujaran kebencian dan permusuhan. Demonstrasi-demonstrasi, poster-poster di pinggir jalan, radio, dan bahkan televisi pun semakin vulgar dalam menggaungkan pemberhalaan kebencian yang lahir dari rahim kejumudan, kedunguan, dan fitnah-fitnah murahan.
Anggota Kompolnas Edi Syahputra Hasibuan, saat ABI Press wawancarai mengakui bahwa saat ini banyak sekali pengaduan masyarakat yang resah atas makin maraknya praktek ujaran kebencian di tengah-tengah mereka. “Kondisi hate speech di Indonesia saat ini cukup parah. LSM-LSM banyak sekali mengadukan kepada kami masukan-masukan dari masyarakat yang resah atas hate speech ini,” terang Edi. “Semua mengeluhkan, untuk melaksanakan ibadah saja sampai tidak tenang.”
Menurutnya, daerah rawan terjadinya hate speech itu di antaranya adalah Bandung, Surabaya, dan Makassar.
Sementara menurut Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing, dua kelompok yang paling banyak menjadi korban hate speech adalah kelompok Syiah dan Ahmadiyah yang posisinya menyebar di berbagai penjuru Nusantara. Dari Sampang menyebar ke Puger, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, sampai Sumatera Barat. Minoritas Kristen meski terkadang juga menjadi korban hate speech, namun tidak semasif Ahmadiyah dan Syiah, yang menurutnya secara tidak langsung dipicu oleh fatwa MUI tahun 2005.
Uli Parulian mencatat, bahwa aksi hate speech ini jika diamati modusnya, sangat sistematis dan didukung oleh dana tak terbatas. Terbukti dengan modus-modus hate speech yang beragam dalam memberhalakan euforia kebencian ini. Mulai dari ceramah-ceramah di depan publik, poster-poster pengkafiran, selebaran, buku gratis, seminar-seminar, majalah, radio, televisi, dan yang paling masif adalah lewat dunia maya.
Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta, juga membenarkan bahwa akhir-akhir ini, berdasarkan pantauan LBH Jakarta, terjadi eskalasi ujaran kebencian di tengah masyarakat yang makin masif. “Eskalasi hate speech dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, juga keberanian. Meluas dan semakin berani.”
Menurut Febi, sebenarnya eskalasi syiar kebencian ini bisa diredam asalkan pemerintah tegas menegakkan hukum. “Di masa Orde Baru berbagai syiar kebencian itu langsung diredam karena dianggap SARA oleh penguasa. Sebenarnya metode seperti itu dapat dilakukan oleh pemerintah sekarang. Cuman, pemerintah sekarang seperti kehilangan kekuasaannya.”
Uli Parulian Sihombing, Direktur ILRC juga memiliki kekhawatiran yang sama. Menurutnya masalah utama adalah penegakan hukum yang melempem. Dalam banyak kasus ujaran kebencian ini tidak diproses secara tegas, padahal kasus hate speech terjadi setiap tahun. Jika dibiarkan, hal itu akan menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan dalam masyarakat dan akan menghancurkan kesatuan bangsa. “Ujaran kebencian jika dibiarkan akan menjadi pemicu lanjutan. Apalagi ujaran kebencian ini biasanya dilakukan di tempat terbuka untuk menghasut orang melakukan kekerasan.”
Sejarah panjang umat manusia mengajarkan kepada kita bahwa hanya dengan cinta dan saling menghargai, kehidupan yang harmonis akan tetap terjaga. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sendiri, dua modal ini merupakan pilar kokoh yang menjamin tegaknya suatu tatanan masyarakat suatu bangsa. Karena itu sungguh sangat disesalkan, jika justru sekarang kebencian semakin diberhalakan di tengah-tengah bangsa kita tanpa tindakan hukum yang tegas.
Pertanyaan yang tersisa adalah, akan dibawa ke mana negara ini jika pemberhalaan kebencian ini terus dibiarkan? (Muhammad/Yudhi)