Berita
Kesamaan dan Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat [2/2]
Sebelumnya Kesamaan dan Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat [1/2]
Banyak ayat lain yang melihat kebangkitan sebagai bagian dari sistem hidup-mati yang berlaku di alam semesta. Kita melihat contoh kecil kebangkitan di muka bumi. Di sini hanya kami kutipkan dua ayat saja. Ayat-ayat ini beda dengan ayat-ayat kelompok pertama, karena ayat-ayat ini tidak hanya bersandar pada kemampuan Allah SWT. Ayat-ayat ini juga menyebutkan contoh yang menyerupai kebangkitan untuk menunjukkan bahwa di dunia fana ini Kuasa Allah SWT terejawantahkan dalam pola yang sama. Ayat-ayat kelompok ketiga menggambarkan kebangkitan sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Kalau tak ada kebangkitan, berarti ada yang tidak beres pada Allah SWT. Poin ini dibahas dengan dua cara:
- Berdasarkan Keadilan Allah SWT, Allah SWT menganugerahkan kepada setiap makhluk-Nya apa yang patut didapat makhluk-Nya, dan apa yang sesuai dengan makhluk itu.
- Berdasarkan Kearifan Allah SWT, Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Kearifan Allah SWT menuntut agar segala sesuatu dipandu ke kesempurnaan dan sasarannya. Alquran mengatakan bahwa tentu saja tidak adil kalau tak ada kebangkitan, kehidupan abadi, kebahagiaan abadi dan balasan Allah SWT, dan Allah SWT mustahil tidak adil karena hal itu bertentangan dengan prinsip keadilan Allah SWT. Alquran juga mengatakan bahwa jika tak ada kehidupan abadi, maka alam semesta akan sia-sia, dan salah kalau mengatakan bahwa Allah SWT melakukan sesuatu dengan sia-sia.
Banyak sekali ayat yang menggambarkan kehidupan abadi dan kembali kepada Allah SWT sebagai pasti dan tak terelakkan, karena keadilan Allah SWT atau karena kearifan Allah SWT. Di sini kami kutipkan ayat-ayat yang berargumen dengan berdasarkan keadilan Allah SWT atau kearifan Allah SWT atau keduanya. Alquran, setelah menyatakan bahwa orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan lalai akan Hari Perhitungan akan mendapat hukuman yang keras, mengatakan:
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS. Shad: 27-28)
Kita melihat bahwa pada ayat pertama argumennya didasarkan pada kearifan dan kepekaan Allah SWT berkenaan dengan ciptaan-Nya. Dan dalam ayat kedua, argumennya didasarkan pada keadilan Allah SWT:
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri alas apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (QS. al-Jâtsiyah: 21-22)
Dalam ayat pertama disebut-sebut prinsip keadilan, dan dalam ayat kedua disebut-sebut prinsip kearifan. Kemudian dalam ayat kedua juga disebut sekali lagi keadilan Allah SWT yang digambarkan sebagai maksud utama kebangkitan.
Penjelasan: Di sini perlu dijelaskan mengapa dua prinsip (keadilan dan kearifan Allah SWT) ini mengharuskan adanya kehidupan abadi, dan mengapa kalau kehidupan terbatas dunia diasumsikan tidak diikuti kehidupan abadi maka penciptaan manusia tak dapat dijustifikasi baik dari sudut keadilan Allah SWT maupun dari sudut kearifan Allah SWT.
Keadilan Allah SWT: Dalam arti lebih luasnya, keadilan berarti tanpa diskriminasi memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Diskriminatif dalam hal ini berarti bertentangan dengan keadilan, begitu pula memberikan kepada sebagian apa yang menjadi hak mereka dan tidak memberikan kepada sebagian lain apa yang menjadi hak mereka. Guru berarti tidak adil kalau dia memberikan nilai ujian yang tidak sesuai dengan apa yang semestinya didapat murid. Sedikit banyak keadilan seiring dengan persamaan, yang artinya adalah memperlakukan sama terhadap semuanya dan tidak mempercayai diskriminasi.
Persamaan seperti itu melahirkan keadilan, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Namun persamaan yang tidak memperhatikan apa yang menjadi hak, apa yang menjadi kewajiban, atau apa yang semestinya, berarti ketidakadilan. Dengan demikian, arti keadilan Allah SWT adalah nikmat Allah SWT yang diberikan kepada segala yang ada selaras dengan tingkatkemampuan dan kapasitas potensialnya untuk menerima nikmat itu. Jika sesuatu tidak memiliki kualitas tertentu, itu artinya bahwa dengan kondisi yang ada sesuatu itu tidak mempunyai kapasitas untuk memilikinya. Lagi, dapat kami katakan bahwa bertentangan dengan keadilan Allah SWT kalau nikmat yang sesuai dengan kapasitas potensial sesuatu tidak diberikan kepada sesuatu itu untuk selamanya.
Keadilan menuntut agar nikmat, kalau sesuai dengan kemampuan segala sesuatu dan patut didapat segala sesuatu itu, harus diberikan kepada segala sesuatu itu tanpa diskriminasi. Di antara apa yang ada, tingkat kapasitas dan potensialitas manusia khususnya tinggi. Manusia tidak termotivasi semata-mata oleh kecenderungan dan naluri hewaniahnya. Hewan hanya memiliki naluri yang berkaitan dengan kehidupan materialnya. Di pihak lain, manusia, seperti sudah dijelaskan terdahulu, juga memiliki naluri tertentu yang lebih tinggi yang tingkatannya akhirat bukan tingkatan dunia fana ini. Manusia memiliki alasan keagamaan, estetika, ilmiah dan moral. Dia melakukan banyak sekali hal karena alasan-alasan ini, dan terkadang bahkan mengorbankan kehidupan hewaniah dan materialnya demi tujuan-tujuan tinggi manusiawinya. Manusialah yang membuat, dalam kata-kata Alqur’an, sistem perbuatannya berdasarkan iman dan amal saleh, dan bertujuan mencapai kehidupan abadi dan keridaan Allah SWT.
Konsepsi kehidupan abadi di akhirat dan hasrat untuk mencapainya. Nalurinya mendorongnya ke arah itu. Semua ini menunjukkan bahwa manusia dapat menjadi abadi, dan bahwa jiwanya bukan material. Ini artinya bahwa di dunia fana ini manusia bagaikan embrio. Janin di dalam rahim ibu mendapat sistem dan kemampuan tertentu, seperti jalan pernapasan, sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem reproduksi, sistem pendengaran dan sistem penglihatan. Semua sistem ini hanya cocok untuk kebutuhan dunia pasca-kelahiran, dan tidak cocok untuk kehidupan sembilan bulan di dalam rahim. Di dunia fana ini manusia memang memperoleh manfaat dari sistem iman dan amal saleh. Namun arti penting manfaat ini sekunder. Sesungguhnya sistem ini sama dengan benih yang hanya dapat tumbuh dan berbuah di kehidupan abadi yang bahagia. Dengan kata lain, arti sejati dari sistem ini hanya berkaitan dengan kehidupan akhirat. Bukan saja dalam sistem iman dan amal saleh manusia mencapai tingkat tinggi dan menebarkan benih-benih hubungan alami, namun juga dalam sistem sebaliknya yang oleh Alqur’an disebut sistem kekufuran dan kemaksiatan, perbuatan manusia keluar dari wilayah kalkulasi alamiah dan kebutuhan fisis, dan memperoleh aspek spiritual dan abadi, meskipun dengan jalan yang tidak lurus.
Dengan demikian orang kafir dan orang jahat sedikit banyak juga dapat mencapai kehidupan abadi, namun celakanya kehidupan abadinya memberi mereka kepedihan dan kesengsaraan dan, dalam bahasa agama, memasukkannya ke neraka. Kalau manusia tidak bergerak dalam orbit iman dan alam saleh, bukan saja dia hanya bergerak dalam orbit binatang, namun juga jatuh ke titik di bawah nol. Dalam bahasa Alqur’an, orang seperti itu lebih rendah derajatnya dan lebih salah dibanding binatang.
Kalau tak ada kehidupan abadi, maka orang yang berbuat dalam sistem iman dan alam saleh dan orang yang berbuat dalam sistem sebaliknya akan seperti pelajar yang sebagiannya menjalankan tugas dengan baik, dan yang sebagiannya lagi membuang-buang waktu dengan bergurau dan ngerumpi, namun guru memperlakukan mereka sama dan tidak memberikan nilai kepada siapa pun. Sikap guru seperti ini jelas jahat dan bertentangan dengan prinsip keadilan. Untuk menjelaskan poin ini dengan lebih sederhana maka dapat dikatakan bahwa Allah SWT telah mengajak manusia untuk beriman dan bertakwa.
Sebagian manusia menerima ajakan ini dan memperbarui perilaku mereka, cara berpikir mereka dan sistem moral mereka. Sebagian lagi tidak menanggapinya dan melakukan perbuatan jahat dan kerusakan. Namun di dunia ini kita tidak melihat sistem seperti itu di mana segala perbuatan baik mendapat pahala dan semua pendosa diberi hukuman. Karena itu tentu harus ada alam lain di mana orang saleh dan orang keji dapat diberi balasan setimpal dengan perbuatannya. Kalau tidak, berarti tak ada keadilan Allah.
Kearifan Allah SWT: Perbuatan kita, yaitu perbuatan umat manusia, ada dua macam:
- Perbuatan sia-sia. Perbuatan seperti ini sesungguhnya tak memberikan keuntungan kepada kita, dan tak dapat membantu kita menggali dan mengembangkan kebajikan yang terpendam dalam diri kita’
- Perbuatan yang arif dan rasional. Perbuatan ini memberikan hasil yang positif dan membantu kita mencapai kebajikan yang tepat.
Perbuatan jenis pertama tak ada artinya, dan jenis perbuatan kedua arif, logis, moderat, objektif dan filosofis. Jadi perbuatan arif kita membawa kita ke kesempurnaan yang pas dengan kita. Sekarang bagaimana dengan tindakan arif Allah SWT? Apakah kalau Allah SWT bertindak arif maka Allah SWT akan sempurna dan kalau bertindak seenaknya Allah SWT tidak akan sempurna? Tidak, itu tidak berlaku untuk Allah SWT. Allah SWT tak membutuhkan apa-apa, Allah Mahasempurna. Apa pun yang dilakukan-Nya merupakan karunia, nikmat dan kebaikan-Nya. Dia tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan-Nya atau untuk mendapatkan sesuatu bagi diri-Nya. Tindakan arif-Nya membawa ciptaan-Nya mencapai kesempurnaan yang pas bagi ciptaan-Nya itu. Tindakan sia-sia dapat disifatkan kepada-Nya hanya dalam pengertian bahwa Dia menciptakan sesuatu dan tidak memandu sesuatu itu untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya.
Jadi, konsepsi tentang kearifan Allah beda dengan konsepsi tentang kearifan manusia. Manusia baru disebut arif kalau dia melangkah ke arah kesempurnaan manusiawi. Kearifan Allah SWT berupa memandu ciptaan-Nya untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya atau, dengan kata lain, menciptakan sesuatu atas dasar untuk mendorong sesuatu itu mencapai tujuan yang pas bagi sesuatu itu.
Karena arti kearifan manusia adalah dia melakukan sesuatu dengan tujuan mencapai kondisi dirinya yang lebih baik, maka antara apa yang dilakukannya dan hasil yang diinginkannya tidak perlu ada hubungan riil. Dengan kata lain, hasil yang diinginkan tidak harus merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatannya atau tidak mesti dipandang sebagai jasa atau kebaikan perbuatannya itu. Misal, orang membuat sedemikian banyak benda bermanfaat dari tanah liat, kayu, batu, logam, kulit, buludomba, kapas dan sebagainya dan mendapatkan hasil yang praktis dan fungsional. Misal, dia membuat kursi, rumah, mobil atau pakaian. Namun kursi tak mungkin dianggap sebagai jasa kayu, rumah sebagai jasa batu, bata dan adukan semen, motor sebagai jasa sejumlah logam yang beragam dalam pembuatannya, karena benda-benda ini sendiri tidak bergerak menuju bentuk final mereka.
Tentu saja, hasil yang didapat manusia dari produk-produk ini seperti duduk di kursi, tinggal di rumah, pergi dengan mobil atau mengenakan pakaian, dapat dianggap sebagai jasa manusia atau setidak-tidaknya sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Mengenai Allah SWT, di pihak lain, ada hubungan natural dan riil antara tindakan-Nya dan hasil yang diwujudkan tindakan tersebut. Dengan kata lain, hasil dari setiap tindakan-Nya sungguh merupakan jasa dari tindakan itu. Seperti kita tahu, setiap benih dan setiap biji-bijian di dunia ini bergerak menuju tujuannya dan bentuk terbaiknya.
Kini posisinya adalah bahwa dunia ini dan segala isinya tidak mandek dan tunduk kepada perubahan. Bentuk final dari apa saja yang dapat kita pertimbangkan bukan final, dan pada gilirannya akan mengalami perubahan. Dengan kata lain, segala sesuatu sifatnya sementara dan akan ada akhirnya. Semua tahap merupakan tema yang tidak berhenti di tengah perjalanan, dan tahap-tahap itu bukanlah tujuan akhir. Tapi, sebagian orang berpendapat bahwa alam semesta tidak ada tujuan dan rencananya yang pasti. Dunia merupakan kafilah yang selalu bergerak dari satu tahap ke tahap lain. Jelas, perjalanan dapat berarti kalau ada tujuannya. Perjalanan tidak akan ada artinya kalau semua tujuan tak lebih daripada tempat berhenti dan kalau tak ada kemungkinan untuk pada akhirnya sampai di tempat tertentu. Karena setiap eksistensi di dunia ini diikuti non-eksistensinya, dan setiap pembangunan diikuti kehancurannya, maka segenap sistem yang mengatur dunia ini tak lain hanyalah kekacauan dan mengulang apa yang sudah diulang.
Dengan demikian, segenap sistem kehidupan dan eksistensi didasarkan pada kesembronoan. Alqur’an menjawab, argumen yang kedengarannya bagus ini tentu benar kalau yang ada hanya dunia ini saja, semua yang lahir pada akhirnya mati dan nasib semua yang tumbuh dan berbunga pada akhirnya layu dan musnah. Namun pandangan seperti itu dangkal dan didasarkan pada anggapan bahwa kehidupan itu hanya di dunia ini saja, padahal fakta menunjukkan bahwa kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Dunia fana ini adalah Hari Pertama, dan akan diikuti Hari Terakhir. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan: “Dunia ini merupakan tempat lewat, sedangkan akhirat merupakan tempat tinggal.”
Akhiratlah yang membuat dunia fana ini berarti. Akhiratlah yang merupakan tujuan dan yang membuat hiruk pikuk aktivitas di dunia ini jadi bermakna. Seandainya tak ada akhirat yang abadi itu, tentu tak ada tujuan akhir, sehingga dunia fana ini tentu akan menjadi semacam labirin, sedangkan alam semesta, dalam bahasa Alqur’an, tentu akan sia-sia dan hanya main-main saja. Namun para nabi datang untuk menghilangkan keraguan dalam hal ini, dan untuk memperkenalkan kita dengan kebenaran, yang kalau kita tidak tahu kebenaran ini maka alam semesta ini akan tak ada artinya di mata kita. Kalau kita menganut konsepsi kesembronoan ini, maka eksistensi kita sendiri jadi tak ada artinya dan tak ada tujuannya. Efek dari iman kepada akhirat adalah kita jadi berpikiran bahwa eksistensi kita ada tujuannya dan memberikan arti bagi kita, pikiran dan kehidupan kita.
Ayatullah Syahid Muthahari, Manusia dan Alam Semesta