Artikel
Sains Modern dan Tafsir Filosofisnya
Oleh: Zainal Abidin Bagir
Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM
Mengapa sains modern menjadi penting dibicarakan ketika kita membicarakan pemikiran seorang tokoh pemikir Muslim kontemporer seperti Muthahhari?
Salah satu unsur terpenting dalam agama adalah adanya hal-hal yang dianggap tak berubah, suatu “esensi”, sejak sejarah awalnya ribuan tahun silam.
Tantangan besar untuk setiap agama, dengan demikian, adalah adanya perubahan dan perkembangan zaman. Di masa ini, hasil dari perkembangan zaman itu biasa disebut dengan istilah seperti “modernisasi”, “globalisasi”, atau mungkin juga “Westernisasi”. Disebut dengan apapun, salah satu ciri terpenting dari periode sejarah umat manusia saat ini adalah berkembangnya sains modern sejak sekitar 400 tahun silam.
Perkembangan sains bisa dianggap sebagai refleksi dari perkembangan zaman, tapi tak keliru juga juga dipandang sebagai sumber atau sebab dari perkembangan-perkembangan terpenting di zaman ini. Agama, sebagai “esensi” yang relatif tak berubah tentu akan berada dalam ketegangan dengan perubahan yang terus menerus. Secara umum, persoalannya adalah bagaimana memahami hal-hal yang tak berubah itu dalam konteks yang (selalu) berubah; dan bagaimana yang satu merespon yang lain. Jawaban atas persoalan ini dengan demikian akan bergantung pada pemahaman kita atas dua hal: (i) “esensi” atau nilai-nilai keagamaan yang tak berubah, dan (ii) konteks yang baru, sebagai arena beroperasinya nilai-nilai itu, dalam hal ini sains modern.
Karena itu, dengan memahami tanggapan seorang tokoh pemikir Muslim kontemporer terhadap sains modern kita bisa berharap akan memahami pandangannya secara lebih baik. Di arena inilah relevansi ajaran-ajaran agama mendapat tantangan yang amat serius.
sebagai pendahuluan, tanggapan Muthahhari terhadap perkembangan sains modern bisa dicirikan sebagai bersifat “progresif”. Berbeda dengan banyak kelompok Muslim, Muthahhari memiliki pemahaman yang cukup canggih mengenai baik sains modern maupun Islam. Ia sama sekali tak memiliki keberatan apapun terhadap perkembangan sains modern. Yang kerap dikritiknya adalah apa yang disebut Golshani sebagai “embel-embel filosofis” atau penafsiran filosofis atas teori-teori ilmiah. Di beberapa tempat, sebagaimana akan saya ungkapkan di bawah, yang dikritiknya adalah apa yang disebut “pandangan dunia ilmiah”, bukan sains itu sendiri. Dalam tanggapan ini saya ingin menekankan persoalan ini, yang dalam pandangan sya merupakan point terpenting yang disampaikan Prof. Golshani. Yaitu, pentingnya melakukan pembedaan antara sains modern dan penafsiran filosofis atasnya.
Di satu sisi, ini bisa dipahami bahwa Muthahhari memandang sains sebagai bebas nilai, setidaknya sejauh menyangkut nilai-nilai keagamaan. Dengan ungkapan lain yang lebih tepat, bisa dikatakan bahwa sains bersifat “religiously neutral” (atau “religiously ambiguous”). Di kalangan kaum beragama, termasuk Muslim, ini bisa dipandang sebagai sikap yang tak terlalu populer.
Muthahhari berani mengambil sikap ini karena dia, seperti dicatat Golshani, mau melakukan pembedaan antara sains dan tafsir filosofisnya. Bahwa kalaupun ada ketegangan antara sains dan agama, seringkali penyebabnya adalah aspek filosofis dari sains, bukan sainsnya sendiri. Di satu sisi, ini mungkin bisa dipahami sebagai masalah semantik belaka. Bahwa ketika sains didefinisikan terlalu sempit, terlalu teknis, maka nilai-nilai yang dikandungnya pun menjadi tanggal. Mungkin benar persoalannya adalah semantik belaka, dan seperti saya akan sampaikan di bawah, dalam beberapa kesempatan Muthahhari memang memahami sains dalam maknanya yang cukup terbatas. Tetapi, lepas dari itu, pandangan umum Muslim yang tak mau membedakan kedua hal tersebut telah berwujud pada beberapa dasawarsa terakhir dalam proyek-proyek besar seperti “islamisasi ilmu” atau “sains Islam” yang belum jelas manfaatnya. Yang dikhawatirkan, proyek-proyek yang terasa “islami” ini alih-alih memberdayakan Muslim, justru mengucilkan mereka dari pusat pergerakan peradaban modern. Ini sudah terjadi, setidaknya dalam beberapa versi proyek semacam itu. (Banyak contoh mengenai ini bisa dilihat dalam buku Parvez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas- Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Mizan, 1996; buku aslinya: 1992). [1]
Perlu dicatat pula bahwa sebagian pemikir penting menganggap pembedaan itu (nyaris) mustahil dilakukan. Dua contoh untuk ini adalah Seyyed Hossein Nasr dan Huston Smith. Bagi Nasr, sains modern terlalu “basah” dengan nilai-nilai sekular, sehingga tak mungkin melakukan pemisahan keduanya. Setiap bagian sains modern, dengan demikian, harus dikritik dari sudut pandang metafisika tradisional. Bagian-bagian yang dianggap tak sesuai harus ditolak—sekalipun ia tampaknya didukung oleh data-data empiris. Salah satu contoh terjelas untuk ini adalah sikapnya terhadap teori evolusi, yang dianggapnya menghancurkan salah satu pondasi terpenting dalam metafisika tradisional, yaitu hirarki dan ketetapan maujud.[2]
Amat mirip dengan Nasr, Huston Smith secara eksplisit menyampaikan bahwa kalau saja kita bisa melakukan pembedaan atas (nilai instrumental) sains dan “embel-embel filosofisnya”, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam sains modern. Nyatanya, menurut Smith, pembedaan itu mustahil dilakukan. Dalam bukunya Why Religion Matters, ia menyampaikan kisah tentang suku terasing yang menyadari berkah penisilin, karena berhasil menyembuhkan penyakit yang tak bisa disembuhkan pengobatan tradisional. Suku itu pun kehilangan kepercayaan pada pengobatan tradisional mereka, dan memeluk peradaban modern. Smith menyesalkan hal ini, karena baginya pengobatan tradisional memiliki concern yang tak semata-mata fisik/material, tapi juga mengandung kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tak bisa digantikan oleh sains modern. Smith mengajukan contoh ini untuk menunjukkan betapa dalam praktik (nyaris) tak mungkin melakukan pembedaan itu. Di bawah ini nanti, ketika memberikan contoh sikap Muthahhari terhadap teori evolusi, saya akan menunjukkan bagaimana pembedaan sains dan tafsir filosofis itu perlu dan bisa dilakukan.
Sebelum itu, bagaimana Muthahhari memandang sains modern?
Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Muthahhari mengakui legitimasi sains modern sebagai aktifitas intelektual untuk memahami alam semesta. Sampai di sini kita bisa membedakan posisinya dari posisi banyak pemikir Muslim kontemporer yang menilai sains modern lebih sebagai instrumen, sebagai alat untuk melakukan kontrol atas alam (teknologi), dan nyaris tak memberi kita pengetahuan yang sebenarnya tentang alam semesta. Inilah pandangan yang biasa dikenal sebagai instrumentalisme. Buat kaum beragama, sesungguhnya ini adalah pandangan yang cukup “aman”. Mengapa? Salah satu peluang konflik sains dengan agama adalah jika keduanya melontarkan truth claims mengenai alam semesta. Dengan mengingkari kemampuan sains dalam memberikan pengetahuan konseptual mengenai alam semesta, salah satu sumber konflik ini hilang. Memang ini pandangan yang “aman”, namun juga miskin (atau memiskinkan makna sains).
Muthahhari bukanlah seorang instrumentalis. Ia adalah seorang realis. Dalam beberapa pembahasannya, tampak bahwa ia mengakui kemampuan sains memberi tahu kita mengenai seperti apakah dunia tempat kita hidup ini. Meski demikian, di samping segala nilai baik dan kekuatannya, ada dua keterbatasan penting sains modern yang ditekankan Muthahhari. Pertama, sains terbatas karena, tak seperti agama, ia tak mampu menyalakan harapan manusia, menumbuhkan cinta, ataupun menegaskan tujuan dan maksud segala perkembangan yang dipicunya sendiri. Pendeknya ia, dalam dirinya sendiri, tak mampu sepenuhnya memanusiakan manusia. Kebutuhan ini bisa sebagiannya dipenuhi oleh filsafat dan seni, tapi agamalah yang pada akhirnya berperan paling besar di sini.[3]
Keterbatasan kedua, kelebihan yang sekaligus merupakan kekurangan sains adalah sifatnya yang terlalu memusatkan perhatian pada bagian-bagian—bukan keseluruhan—realitas. Dengan demikian keluasan alam semesta bisa dikerat-kerat dalam kepingan-kepingan yang bisa dikontrol, dianalisis, diletakkan di bawah mikroskop, disayat-sayat dengan pisau, dibawa ke labarotarium, dan sebagainya. Sains berkembang pesat dengan cara ini. Dengan demikian, ia “bisa memenuhi seluruh halaman sebuah buku dengan pengetahuan tentang sehelai daun.” Pengetahuan yang dihasilkannya pun amat eksak, berpresisi, dan teliti. Meski demikian metode ini pada saat yang sama memiliki keterbatasan: pengetahuan yang dihasilkannya tak pernah lengkap dan tak boleh berpretensi lengkap. Dalam pandangan sains, alam semesta adalah bagaikan buku yang halaman pertama dan terakhirnya telah hilang. Selain itu, perkembangan sains yang pesat juga berarti bahwa kebenaran yang dihasilkannya tak stabil.[4]
Kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan tersebut menghindarkan seseorang dari terjebak dalam saintisme. “Saintisme” bisa didefinisikan sebagai pandangan yang melihat sains sebagai semacam pandangan dunia, sebagai berkemampuan menghasilkan sistem konseptual yang menyeluruh mengenai dunia. Sebagian kaum ilmuwan ateis meyakini hal ini, dan menganggap bahwa kini sains modern sudah dapat menggantikan peran agama sebagai basis pandangan dunia. Sementara banyak pemikir religius berbagi keyakinan yang serupa, meskipun kemudian memilih membela agama dengan mengorbankan sains. Bagi Muthahhari kedua kelompok ini berbagi kekeliruan yang sama: melihat sains sebagai basis pandangan dunia. Dalam situasi ini hanya ada dua pilihan: menolak sains atau menolak agama.
Saya sampaikan di atas bahwa pandangan kaum instrumentalis lebih “aman” buat kaum beragama. Sebaliknya, pandangan kaum realis, seperti yang dianut Muthahhari, lebih beresiko karena ia membuka peluang perbentutan truth claims antara sains modern dan agama mengenai karakter alam semesta. Bagaimana ia menghindari peluang pertentangan itu? Selain kesadaran akan kedua keterbatasan sains di atas, unsur lainnya telah saya singgung: pembedaan sains modern dan tafsir filosofisnya. Saya ingin mengambil contoh respon Muthahhari terhadap sains yang dibahasnya cukup mendalam, yaitu teori evolusi.[5] Golshani telah mengambil contoh ini juga, jadi saya hanya akan membahasnya secara singkat.
Mesti diakui bahwa teori evolusi merupakan tantangan yang amat serius terhadap agama. Salah satu sebab utamanya, sesugguhnya, tidaklah berasal dari teori ilmiah itu sendiri, tapi justru dari pemahaman teologis kaum beragama mengenai gagasan penciptaan oleh Tuhan. Seperti disinggung Golshani, argumen yang paling populer berkaitan dengan ini adalah apa yang disebut argumen desain (design argument). Satu hal yang jelas, teori evolusi memang menafikan (tepatnya: mengecilkan peluang) keberadaan Tuhan yang tampil di ujung argumen desain. Persoalannya adalah apakah argumen desain adalah satu-satunya argumen yang bisa digunakan kaum beragama?
Argumen desain tentu saja tak identik dengan agama, dan, lebih-lebih, tak identik dengan keyakinan akan keberadaan Tuhan. Kritik terhadapnya pun tak identik dengan sikap ateistik. Sesungguhnya tak sedikit kaum beragama yang juga menolak argumen ini. Di kalangan Kristen, ketika sebagian ilmuwan yang sezaman dengan Darwin masih tak bisa menerima teori evolusi, telah banyak teolog yang bahkan dengan suka cita menyambutnya. Bagi mereka gagasan ini memberikan dasar bagi teologi Kristiani baru yang lebih memuaskan cita rasa intelektual.
Misalnya, 30 tahun setelah terbitnya Origin of Species, Aubrey Moore menulis, “bukti ilmiah untuk evolusi sebagai teori jauh lebih Kristiani dibanding teori ‘penciptaan khusus’, karena teori ini berimplikasi pada imanensi Tuhan dalam alam, dan kehadiran daya ciptaNya di mana-mana….”[6] Baginya, Tuhan yang hadir sekali-sekali dalam bentuk mukjizat berarti adalah juga Tuhan yang absen di waktu-waktu lain!
Di kalangan Muslim modern, argumen desain tak kalah populer, namun juga tak memuaskan banyak orang. Salah satu yang menonjol adalah penolakan filosof besar awal abad ke-20, Muhammad Iqbal. Dalam buku magnum opus-nya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, ia menyatakan bahwa argumen desain hanya mampu menyimpulkan Tuhan sebagai tukang yang trampil, yang selesai mencipta di masa lalu, dan terpisah dari alam hasil karyaNya. Bagi Iqbal, aktifitas pertukangan ini bukan saja tak mampu menggambarkan model penciptaan Tuhan, tapi bahkan tak layak disebut “penciptaan”.
Tuhan Iqbal adalah Tuhan penuh gerak yang aktifitas penciptaanNya amat dinamis, berkelanjutan tanpa henti. Evolusi yang terus terjadi di alam adalah cerminan dinamisme daya cipta Ilahiah ini, di mana makhluk adalah sekaligus mitra Tuhan dalam kerja penciptaan. Jika Iqbal mengkritik Darwin, maka itu menyangkut tafsir materialistik atas evolusi, bukan pada teori evolusi itu sendiri. Umumnya, teori ilmiah memang memiliki ambiguitas filosofis, sehingga bisa mendapatkan beragam tafsir filosofis.
Muthahhari pun mengkritik keras Muslim “yang berpikir bahwa tauhid hanya bisa ditegaskan dengan menolak teori evolusi.” Sebaliknya, ujarnya, salah satu keajaiban penciptaan adalah adanya berbagai macam makhluk dengan beraneka anggota dari satu substansi sederhana dan seragam, seperti yang dikemukakan teori itu. Ia juga menegaskan bahwa “menurut Al-Qur’an, penciptaan bukan fenomena sesaat.” (dalam Ruh, Materi, dan Kehidupan) Dalam ungkapan Muthahhari, Tuhan tak perlu sesekali “menjulurkan lengan dari balik jubahNya” ketika akan menciptakan spesies-spesies baru, termasuk manusia, karena sesungguhnya ia selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa alam. Bahwa bahasa kaum beragama ini tak hadir dalam teori evolusi, tak berarti Tuhan tak hadir dalam proses itu. Persoalannya adalah pemaknaan, yang berada di luar lingkup sains, meskipun tak sepenuhnya terpisah darinya.
Maka kunci persoalan ini pertama-tama memang menyangkut kemampuan membedakan teori ilmiah dari tafsir filosofisnya. Bagi kaum beragama, kunci lainnya terletak pada kemampuan imajinatif membayangkan model Tuhan (dan modus penciptaan) yang baik. Tuhan yang terusir dari alam, bersama munculnya Darwin, bukanlah model Tuhan yang cukup canggih, meski amat populer. Bagi Muthahhari, Tuhan sebagai Pencipta yang dimunculkan sebagai penjelasan untuk kompleksitas alam, karena tak adanya penjelasan lain, adalah Tuhan yang merupakan buah ketidaktahuan. “Ketika tertumbuk pada hal-hal yang tak diketahui, mereka ‘menyeret’ Tuhan ke dalamnya,” kritiknya. Inilah yang disebut “God of the gaps”, Tuhan yang merupakan buah ketidktahuan, bukan buah pengetahuan. Bagi filosof yang demikian rasional seperti Muthahhari, tentu model Tuhan seperti ini sulit diterima.
Sebagai penutup, dalam tanggapan yang singkat ini, saya ingin menekankan satu hal yang semoga tampak lebih jelas dalam pembahasan tentang evolusi di atas. Yaitu, bahwa konflik antara sains dan agama seringkali merupakan konflik antar suatu tasfir atas teori ilmiah melawan tafsir atas suatu gagasan keagamaan. Keduanya merupakan wilayah yang ambigu, dan karenanya dapat mengundang banyak penafsiran. Kunci upaya “mendamaikan” sains dan agama pun tampaknya terletak di sini.
*** *** ***
[1] Sekali lagi, perlu ditekankan, bahwa kritik ini diajukan terhadap beberapa versi proyek islamisasi/ sains Islam yang cukup populer. Dalam beberapa versinya yang lain, seperti diajukan Mehdi Golshani dalam tulisannya “How to Make Sense of Islamic Science” (dimuat dalam Issues in Islam and Science, 2004), kritik di atas tak mengena. Golshani dalam artikel itu memahami “sains Islam” sebagai aktifitas pemberian tafsir filosofis Islami; ini adalah aktifitas di luar wilayah sains per se. Konsekuensinya, Muslim tak selayaknya memiliki keberatan untuk mengadopsi sains modern sepenuhnya.
[2] Pandangan Nasr ini diungkapkan dalam banyak karyanya, di antaranya, yang paling eksplisit, adalah dalam salah satu karya awalnya, Man and Nature – The Spiritual Crisis of Modern Man (1968). Kedua hal yang disebut di atas itu dilihatnya bertentangan dengan teori evolusi yang menyangkal fixity of species (spesies tak dapat berubah) dan mengajukan perubahan gradual sebagai sumber kemunculan suatu spesies baru dari spesies lainnya.
[3] Fundamentals of Islamic Thought, 1985, h. 31-38. (Bab “Manusia dan Agama”) Catatan: bab-bab dalam buku yang saya gunakan di sini semuanya telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam serial buku-buku kecil yang diterbitkan Mizan dan Yayasan Muthahhari beberapa tahun silam. Dalam setiap kutipan dari buku tersebut di bawah ini saya sertakan juga judul babnya, yang merupakan judul buku-buku kecil itu.
[4] Fundamentals of Islamic Thought, 1985, h. 68-71. (Bab “Pandangan Dunia Tauhid”)
[5] Muthahhari membahas evolusi terutama dalam bab tentang “Ruh, Materi, dan Kehidupan” dalam Fundamentals of Islamic Thought, 1985, h. 181-216. Sebagian dari pembahasan di bawah ini saya ambil dari tulisan saya berjudul “Tuhan dalam Evolusi” di Koran Tempo, September 2002.
[6] Dikutip dari Arthur Peacocke, The Paths from Science towards God, 1998