Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Prof Azyumardi Azra: Kaum Syiah di Asia Tenggara, Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama [2]

Jejak-jejak Persia dan Syiahisme

Jika tidak ada bukti kekuasaan politis kaum Syiah di bagian-bagian tertentu Nusantara, ada bukti Syiahisme dalam praktek-praktek dan literatur religius Sunni. Sekali lagi, dengan menyatakan ini, orang harus mengingat bahwa ini tidak berarti dominasi politis Syiah di Nusantara. Akan tetapi, sekali lagi orang tidak boleh mengidentikkan pengaruh Persia dengan Syiahisme.

pembhasan sebelumnya Prof Azyumardi Azra: Kaum Syiah di Asia Tenggara, Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama [1]

Sebagaimana ditunjukkan Milner (1989: 159), mulai periode Abbasiyah, pemikiran, dan praktek politis Sunni telah dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan politik Sasanian di Persia yang notabene berdiri di era pra-Islam. Pengaruh-pengaruh Persia-Sassanian pada politik Sunni antara lain absolutisme penguasa seperti yang dapat dilihat dengan jelas di dalam prinsip bahwa para penguasa adalah ‘Bayangan Tuhan di Bumi’ (ziil Allah fi al-ard).

Absolutisme ini diperkuat oleh prinsip lain bahwa tidak ada tempat untuk perselisihan—jangankan pemberontakan—atau bughat di kalangan penduduk melawan penguasa.
Aura membingungkan yang mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri, menyempurnakan absolutisme para penguasa. Lebih lanjut, ketika Dinasti Abbasiyah terus mengalami
kemunduran, tradisi politik Sunni yang terpersiakan diadopsi oleh para sultan hampir di semua bagian di dunia Muslim, termasuk di Nusantara. Mereka tidak hanya mengadopsi fiqh siyasah yang dirumuskan oleh ulama Sunni dan absolutisme para sultan, juga simbol-simbol, etika, dan upacara-upacara yang memperkuat posisi sultan vis-a-vis rakyatnya.

Pengaruh Persia di Nusantara sebagian juga dipelajari lebih awal oleh Marrison (1955). Marrison berargumen bahwa Sejarah Melayu, salah satu historiografi paling penting mengenai awal Islam di Nusantara, menandakan pengaruh Persia. Sebagai contoh, para Sultan Indonesia-Melayu merunut kembali genealoginya kepada Iskandar Zulkarnain
(Alexander Agung) yang termasyur.

Tak kalah pentingnya, Melaka pertama, menggunakan nama kehormatan Sultan Iskandar Shah. Dan gelar ‘Shah’ juga diadopsi banyak penguasa di Nusantara, dan digunakan bersama dengan ‘Sultan’. Akan tetapi, Marrison mengingatkan kita bahwa pengaruh demikian di dalam tradisi politik Indonesia-Malaysia datang lewat India, tidak langsung dari Persia (Marrison 1955:54).

Percampuran sumber-sumber Persian dan India, Marrison berargumen lebih lanjut, juga dapat dilihat di dalam cerita mengenai keturunan Bendahara Melaka. Menurut Sejarah Melayu, Bendahara Melaka adalah keturunan seorang ‘Mari Purindan’ putra ‘Nizam al-Mulk Akar Shah’, seorang raja sebuah negeri di ‘Daratan Keling’. Meskipun acuan kepada nama dan tempat ini membingungkan, ada beberapa nama Sejarah Melayu yang mengingatkan kita kepada Saljuk, mereka adalah Nizam al-Mulk (wafat 484 Hijriyah/1092 Masehi), Alp Arslan (memerintah 455-472 Hijriyah/1063-72 Masehi) dan Malik Shah (memerintah 472-485 Hijriyah/1072-92 Masehi).

Nizam al-Mulk jelaslah bukan ‘Raja Pahili’, melainkan para perdana menteri (wazir) yang terkenal dan berpengaruh pada era Dinasti Saljuk, salah satu pembela ortodoksi Sunni yang paling bersemangat. Nizam al-Mulk, seperti yang umumnya diketahui adalah pendiri madrasah Nizam al-Mulk di Baghdad dan tempat-tempat lain—pusat ortodoksi
Sunni, di sanalah Imam besar Al-Ghazali bertugas sebagai guru.

Selanjutnya, apa yang ingin disampaikan Sejarah Melayu adalah bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang tipe ideal penguasa Muslim, yang merupakan seorang Sunni yang bersemangat meskipun namanya terdengar- Persia. Argumen ini tampaknya didukung oleh Taj al-Salatin (1603), sebuah kitab Melayu yang diterjemahkan dari kitab asli
berbahasa Persia. Kitab itu merupakan buku panduan bagi penguasa Muslim. Salah satu sumber utamanya adalah buku yang ditulis Nizam al-Mulk, Siyasat al-Mulk (Marrison 1955: 55).

Taj al-Salatin jelas mempunyai warna Persia yang kuat. Edisi Melayu buku itu kemungkinan diselesaikan oleh Bukhari al-Jawhari pada 1603 di Aceh. Semua tokoh dan orang yang disebutkan di dalam kitab itu mempunyai nama-nama Persia atau yang terpersiakan. Puisi-puisi yang dikutip di dalam kitab itu juga bentuk yang terpersiakan seperti mathnawi,
ruba’i, dan ghazal. Lagipula, kata ‘nauru’ digunakan untuk mengacu kepada ‘tahun baru’. Selain itu, ada juga kutipan puisi-puisi yang ditulis oleh Sufi Persia termasyhur, Farid al-Din al-Attar (Wafat kira-kira 628 Hijriyah/1230 Masehi); penyebutan akan kisah cinta Persia mengenai Mahmud dan Ayaz; acuan kepada kisah-kisah Persia mengenai Khusraw
dan Shirin. Lebih dari itu, Nushirwan, seorang penguasa Persia pra-Islam juga disebutkan sebagai contoh penguasa non-Muslim yang baik dan menjalankan keadilan (Winstedt 1961: 137-41).

Terkait dengan nama-nama dan kisah-kisah Persia di atas, ada juga suatu argumen bahwa pengaruh Syiah di Nusantara juga dapat diamati dari dunia Persia yang lain yang diduga telah beredar di wilayah itu sejak periode awal penyebaran Islam. Memang ada sejumlah kata-kata Persia yang ditemukan di dalam bahasa-bahasa lokal di Nusantara, khususnya Melayu dan belakangan juga digunakan di dalam Bahasa Indonesia. Beg (1982) yang melakukan riset pada beberapa kampus Melayu menyimpulkan bahwa ada sekitar 77 kata Persia yang dulu (dan, masih) digunakan dalam dunia Indonesia-Melayu.

Ambil contoh beberapa kata yang paling sering digunakan di masa kini adalah, kanduri (pesta, semula berarti saat makan komunal untuk mengenang Fatimah, putri Nabi Muhammad), astana (atau, istana), bandar (pelabuhan), bedebah (jahat), biadab (tak beradab, bersifat barbar), bius (obat bius, membius), diwan (dewan), gandum, jadah (anak
haram), lashkar (atau, lasykar, tentara), nakhoda (kapten kapal), tamasya, saudagar, pasar (atau bazar), shahbandar (penguasa pelabuhan), pahlawan, piala, kawin, nisan, anggur, takhta, dan masih banyak lagi.

Akan tetapi, penting dicatat bahwa beberapa kata Persia masuk ke dalam bahasa Melayu melalui Bahasa Arab, seperti diwan (dewan),maydan (medan, lapangan), bakhshish (tip, atau sogok), firdawus (surga) dan firman (dalam Bahasa Persia/Arab, Melayu, ‘perintah raja’ atau wahyu). Beg mencatat bahwa dalam kenyataannya setidaknya ada 230 kata
Persia yang dipinjam dari Bahasa Arab, yang dikemudian hari masuk ke dalam Bahasa Melayu. Berdasarkan hal itu Beg menyimpulkan bahwa Bahasa Melayu tidak pernah mengalami sejenis ‘Persianisasi’ seperti yang terjadi pada Bahasa Urdu.

Terkait dengan isu bahasa ini, artikel penting seorang sarjana Belanda, Pijnappel (1872) juga mengakui penggunaan beberapa kata Persia di kalangan Muslim Indonesia-Melayu. Artikel yang juga telah digunakan untuk menunjukkan pengaruh Syiahisme di Nusantara berargumen bahwa kata-kata Persia tersebut dibawa orang Arab yang memperkenalkan Islam ke Nusantara lewat Samudra Hindia melalui beberapa pelabuhan di pantai Persia dan India (Bdk. Pijnappel 1872; Azra 1990: 2). Akan tetapi, seperti Pijnappel dan Beg, Bausani berargumen bahwa kata-kata Persia itu tidak dibawa secara langsung dari Persia melainkan dari India. Menurut Bausani, setidaknya 90 persen dari semua kata Persia yang beredar di Nusantara kebanyakan digunakan sebagai nama untuk benda-benda konkret. Sebaliknya, kurang dari 10 persen adalah istilah yang berkaitan dengan pandangan dunia abstrak dan konsep-konsep religius (Bausani 1964: 32).

Usaha-usaha untuk melacak pengaruh Syiah melalui bahasa di Nusantara pra-kesultanan dan pra-kolonial dilakukan beberapa pakar dalam literatur Melayu seperti L.F. Brakel (1975) yang menghabiskan lebih dari sembilan tahun untuk meriset bidang ini. Dia memberi perhatian utamanya pada naskah-naskah yang diduga memuat pengaruh Syiahisme. Dalam salah satu kesimpulannya mengenai Hikayat Hanafi yah—mengenai Ali dengan seorang wanita suku Hanafi yah, yang kemudian menjadi Syiah Kaisaniyah—Brakel
berkukuh bahwa pengaruh Syiahisme tidak signifi kan di Nusantara (bdk. Wieringa 1996).

Pada riset selanjutnya untuk 29 naskah klasik Melayu lainnya, Brakel beranjak lebih jauh dengan menunjukkan bahwa ada banyak inkonsistensi mengenai apa yang diduga sebagai ajaran Syiah. Pada saat yang sama, Brakel menemukan satu naskah, diperkirakan ditulis pada 1827, yang menujukkan sikap anti-Syiah yang kuat.
Kesimpulan serupa juga diajukan oleh Baried (1976).

Setelah mengkaji 17 hikayat yang memuat beberapa kisah mengenai tokoh–tokoh Syiah seperti Ali atau Muhammad Hanafi yah dan menyimpulkan bahwa memang ada beberapa unsur yang dapat menandakan suatu pengaruh Syiah di Nusantara. Akan tetapi, semua unsur ini sangat terpotong-potong; tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa prinsipprinsip
Syiahisme benar-benar ada di dalam literatur itu. Mempertimbangkan kajian para sarjana yang disebut di atas, jelaslah bahwa memang ada beberapa jejak Persia atau beberapa unsur Syiah dalam literatur klasik Nusantara. Oleh karena itu, penegasan akan Syiah di Nusantara tidak didukung oleh bukti yang memadai dan kuat.

Tabut dan Sufisme

Selain klaim-klaim tidak berdasar yang didiskusikan di atas, para pendukung pengaruh Syiah di di Nusantara menegaskan bahwa pengaruh itu juga dapat dilihat dalam beberapa praktek religius kaum Sunni di wilayah itu. Salah satu contoh yang sering dikutip adalah perayaan Hari Ashura untuk memperingati kematian Husein di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah pada 10 Muharram 61 Hijriyah/10 Oktober 680 Masehi di Karbala, Irak. Di Aceh, peringatan ini disebut Bulan Asan Usen (Bulan Hasan dan Husein), di Sumatra Barat disebut Bulan Tabuik (BulanTabut), dan di Jawa disebut Bulan Sura atau Suro (bulan Ashura).

Selama peringatan itu, beberapa keluarga Muslim di Aceh menyiapkan makanan istimewa yang disebut Kanji Acura, dibuat dari beras ketan, kacang tanah, buncis, santan dan gula. Kanji Acura dimasak secara bersama-sama di meunasah, suatu tempat untuk untuk pertemuan keagamaan. Orang Aceh percaya bahwa Ashura adalah bulan yang berbahaya karena contoh Karbala. Demikian pula, di beberapa tempat lain di Nusantara, hari 10 Muharram dipandang sebagai ‘hari yang buruk’; disarankan agar keluarga tidak melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan penting seperti mengawinkan putri, menyunat anak laki-laki, dan menanam padi. Mereka percaya, jika keluarga tetap melakukan hal-hal itu, akan terjadi malapetaka tertentu.

Penegasan dugaan adanya kaum Syiah juga diajukan dengan menunjukkan ‘Pesta Tabut’ di Pariaman dan Bengkulu untuk memperingati kematian Husein—keduanya di pantai barat Sumatera. Di Pariaman, tabut itu juga sering disebut Oyak Usen. Selama Oyak Usen ini tabut Husein dibawa dan digoyang-goyang oleh massa yang marah dan berduka cita. Tabut ditaruh di atas bouraq, seekor kuda bersayap dan berkepala betina; ada juga kafan dengan hiasan-hiasan indah dan payung-payung di atasnya (Bachyul Jb 2006: 1).
Tidak perlu menceritakan kembali pelukisan yang rinci dan hidup mengenai perayaan Tabut di Bengkulu yang pertama kali disajikan oleh seorang pejabat Belanda, O.L . Helfrich dalam karyanya ‘Het Hasan-Hosein Taboet Feest in Bencoelen’ (1888). Hal yang penting adalah bahwa pesta atau perayaan Tabut itu diperkenalkan ke Pariaman dan Bengkulu bukan oleh para Muslim setempat, melainkan oleh beberapa serdadu Sepooy—yang kebetulan adalah kaum Syiah—yang berasal dari Delhi, India, yang menemani Sir Stamford Raffl es ke pantai barat Sumatra, khususnya wilayah Pariaman dan Bengkulu pada 1795-1824 Masehi (bdk. Feener 1999).

Perlu dijelaskan bahwa meskipun perayaan tabut belakangan diadopsi oleh kaum Muslim setempat di kedua tempat itu setelah Inggris meninggalkan Sumatra dan Jawa—di Pariaman, katanya pada 1831—itu tidak harus berarti bahwa mereka beralih menganut Syiahisme. Seperti yang ditunjukkan oleh Ronkel (1914), yang juga melakukan riset mengenai kehidupan keagamaan Muslim di wilayah Pariaman, khususnya di Ulakan (1914b)—tradisi Tabut di Pariaman— begitu juga di Bengkulu—tidak menandakan dalamnya pengaruh Syiah di kedua tempat itu, jangankan di seluruh Nusantara. Itulah sebabnya, hampir tidak ada perlawanan dari Muslim Pariaman dan Bengkulu ketika pada 1980-an pemerintah Indonesia mengubah perayaan Tabut dari peristiwa yang mempunyai kaitan keagamaan menjadi daya tarik utama wisatawan.

Dengan demikian, tradisi Tabut di Pariaman dan Bengkulu sangat berbeda dengan tradisi serupa yang disebut Takziyeh di Iran Syiah sejak masa Dinasti Savafi d pada awal abad ke-16. Takziyeh benar-benar sarat dengan ideologi religio-politis Syiah; muatan ini jelas absen dalam perayaan Tabut di Pariaman dan Bengkulu. Praktek religius lain kaum Muslim Asia Tenggara yang sering dikaitkan dengan Syiahisme adalah Tahlilan, mengumandangkan laa ilaaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) dan juga Allahu Akbar (takbir, Allah Maha Besar), dan Alhamdulillah (tahmid, syukur hanya kepada Allah) yang menyusul wafatnya seorang anggota suatu keluarga. Praktek itu sangat lazim hampir di semua tempat di wilayah itu berdasarkan pada prinsip afdal al-a’mal, perbaikan praktek-praktek keagamaan.

Penegasan bahwa praktek itu adalah pertanda pengaruh Syiah lagi-lagi tidak ditemukan. Sebaliknya, ada penegasan tandingan bahwa praktek itu diambil alih kaum Muslim dari sisa-sisa pra-Islam yang belakangan di-Islamkan. Oleh karena itu, kaum Wahabiyah-Salafi yah yang puritan menegaskan bahwa praktek itu adalah bid’ah dalalah, pembaharuan kegamaan yang tidak berdasar yang dapat membawa kaum Muslim yang melaksanakannya masuk neraka.

Praktek Tahlilan dan Wiridan, menyanyikan ingatan akan Tuhan tentu saja semula sangat lazim di kalangan kaum Muslim yang mempraktekkan Tasawwuf (Sufisme). Tradisi Sufi tentu saja jauh lebih kuat di kalangan Sunni dari pada kaum Syiah. Jika kaum Sunni mengambil dua jenis Sufi sme—yaitu Tasawwuf ‘Amali (Sufi sme praktis dan etis) dan Tasawwuf Falsafi (Sufi sme fi losofi s), kaum Syiah cenderung menekankan yang jenis yang belakangan. Sebenarnya kaum Syiah tidak pernah mengembangkan suatu Sufisme Syiah yang khas; mereka kebanyakan mengambil Sufisme filosofis seperti yang disebarkan oleh Abu Yazid al-Bistami (189-260 Hijriyah/804-874 Masehi, yang terkenal dengan konsep ittihad), Mansur al-Hallaj (244-309 Hijriyah/858-922 Masehi yang masyhur dengan konsep hulul), dan Ibn ‘Arabi (561-637 Hijriyah/1165-1240 Masehi, yang terkenal dengan konsep Wahdat al- Wujud).

Ini merupakan suatu titik kebersamaan di kalangan kaum Sunni dan Syiah. Titik lainnya adalah konsep Al-Insan al-Kamil (manusia sempurna atau universal) sebagaimana dirumuskan oleh banyak pemikir Sufi , khususnya Ibn Arabi dan Abd al-Karim al-Jili (768-828 Hijriyah/1366-1424 Masehi). Menurut konsep ini, selalu ada seorang manusia kapan pun di dunia ini yang merupakan saluran dan perantara sempurna untuk rahmat Tuhan kepada semua umat manusia. Pada terminologi Sufi , manusia sempurna ini juga disebut qutb (kutub atau poros) yang terus-menerus dalam kedaan kemurnian (wilayah), bebas dari segala jenis dosa. Pada titik ini orang dapat melihat sejenis kesejajaran di antara konsep qutb dan konsep ma’sum, yang sempurna, yang hanya dimiliki para imam kaum Syiah.

Akan tetapi, justru kesejajaran di antara kedua konsep itulah yang menciptakan sejenis ketegangan konseptual yang gawat di antara Sufisme dan Syiahisme. Qutb dalam Sufisme adalah yang tertinggi dalam capaian dan kepemimpinan spiritual dan juga satu-satunya perantara (wasilah) untuk pria dan wanita agar dapat lebih dekat kepada Tuhan. Dengan ini, Qutb bertentangan dengan para imam yang dalam Syiahisme memainkan peran khusus itu. Ketundukan kaum Sufi kepada Qutb berbenturan dengan kesetiaan total kaum Syiah kepada para imam.

Kontrasnya, tidak ada konfl ik demikian di kalangan kaum Sunni hanya karena mereka tidak mempunyai jenis konsep imam tersebut. Itulah sebabnya tidak ada masalah bagi kaum Sunni untuk memasukkan beberapa Imam Syiah seperti Ali, Fatimah, Hasan, Husein, Zayn al-‘Abidin, Ja’far Sadiq, dan bahkan Ali al-Rida, imam ke-8, dalam tariqah silsilah mereka—genealogi golongan Sufi , tetapi jelas kendati demikian, kaum Sufi tidak niscaya menganut Syiahisme.

Dikutip dari buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *