Akhlak
Sikap Seorang Syiah dalam Menghadapi Perbedaan Menurut Murthada Muthahari
Kami, kaum Syiah, bangga mengikuti orang-orang terpilih keturunan Nabi saw. Kami menganggap tidak dapat dikompromikan setiap sesuatu yang dianjurkan atau dilarang oleh para imam. Dalam hal ini kami tidak mau memenuhi harapan siapa pun, kami juga tak mengharapkan orang lain meninggalkan prinsipnya atas nama kebijaksanaan atau demi persatuan Muslim. Yang kami harapkan dan inginkan adalah terciptanya atmosfer
kemauan baik, sehingga kami, yang memiliki fikih, hadis, tradisi, teologi, filsafat, tafsir dan literatur sendiri, dapat menawarkan barang-barang kami sebagai barang-barang terbaik, sehingga kaum Syiah tak lagi diisolasikan, sehingga pasar-pasar penting dunia Muslim tidak tertutup bagi informasi penting pengetahuan Islam Syiah.
Mengambil segi-segi Islam yang ada pada semua mazhab, dan menolak kekhasan mazhab, bertentangan dengan konsensus di kalangan kaum Muslim, dan produk dari sikap ini adalah sesuatu yang benar-benar tidak Islami, karena kekhasan mazhab merupakan bagian pokok dari struktur Islam. Islam kehilangan kekhasannya, sehingga ciri-ciri khasnya tak ada.
Di antara orang-orang yang mengemukakan gagasan mulia persatuan Islam di zaman kita, yang paling menonjol adalah almarhum Ayatullah Burujerdi dari kalangan Syiah, dan Allamah Syaikh Abdul Majid serta Allamah Syaikh Mahmud Syaltut dari kalangan Sunni. Namun pandangan seperti itu tentang persatuan Islam tak pernah ada dalam pikiran mereka. Semua yang diperjuangkan orang-orang alim ini adalah agar berbagai mazhab, meskipun berbeda teologinya, atas dasar banyaknya kesamaan di antara mazhab-mazhab, membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh-musuh berbahaya Islam. Orang-orang alim ini tak pernah, dengan mengatasnamakan persatuan Islam, mengusulkan ketunggalan religius yang tidak praktis.
Sesungguhnya ada perbedaan teknis antara kelompok bersatu dan fron bersatu. Untuk kelompok bersatu, semuanya harus sama ideologinya dan harus sama pola pikirnya dalam semua masalah kecuali urusan pribadi, sedangkan untuk fron bersatu, berbagai kelompok, sekalipun berbeda ideologinya, dengan menggunakan kesamaan yang ada di antara mereka, membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh bersama. Membentuk fron bersama untuk menghadapi musuh bersama selaras dengan membela ideologi dan mengajak orang dari fron ini untuk juga membela ideologi.
Konsepsi utama almarhum Ayatullah Burujerdi adalah memuluskan jalan bagi penyebaran pengetahuan orang-orang pilihan keturunan Nabi saw di tengah-tengah saudara-saudara Sunninya. Dia percaya bahwa ini mustahil tanpa adanya kemauan baik dan pengertian. Sukses yang diraihnya dalam publikasikan sebagian buku teologi Syiah di Mesir oleh orang Mesir sendiri merupakan salah satu prestasi terpenting ulama Syiah. Semoga Allah menganugerahinya pahala atas jasanya untuk Islam dan kaum Muslim.
Namun, memperjuangkan tesis persatuan Islam tidak berarti harus merasa tak enak membeberkan fakta-fakta. Yang harus dihindari adalah melakukan sesuatu yang dapat melukai perasaan dan sentimen pihak lain. Mengenai diskusi ilmiah, ini ada kaitannya dengan bidang logika dan akal, bukan dengan bidang sentimen dan perasaan. Untungnya
di zaman kita banyak ulama Syiah yang mengikuti kebijakan sehat ini. Yang paling menonjol adalah Ayatullah Sayid Syarafuddin Amili, Ayatullah Kasyiful Ghita, dan Ayatullah Syaikh Abdul Husain Amini, penulis kitab penting “al-Ghadir”.
Berbagai peristiwa dalam kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dan kebijakan yang dianutnya, yang sekarang nyaris terlupakan dan jarang disebut-sebut, merupakan contoh tepat dalam hal ini. Imam Ali as tetap membicarakan haknya dan mengklaim hak itu. Imam Ali as tidak segan-segan memprotes orang-orang yang telah merampas haknya itu. Perhatiannya yang besar kepada persatuan Islam tidak mencegahnya bersuara terus terang. Banyak khotbahnya dalam “Nahj al-Balâghah ” memperkuat fakta ini. Kendatipun mengeluh. Imam Ali as tetap berada dalam barisan kaum Muslim, berjuang mclawan musuh-musuh kaum Muslim. Imam Ali as ambil bagian dalam salat Jumat dan salat berjamaah lainnya. Dia mendapat bagiannya atas barang rampasan pada zaman itu. Dia selalu mcmberikan nasihat yang tulus kepada Khalifah, dan termasuk penasihat Khalifah.
Ketika perang kaum Muslim dengan bangsa Iran, Khalifah bermaksud turun langsung dalam pertempuran. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan kepada Khalifah: “Jangan ke medan tempur, karena selama Anda berada di Madinah, musuh akan mengira bahwa meskipun semua tentara Muslim kalah, Anda akan mengirimkan tentara lagi dari pusat. Namun jika Anda turun langsung ke medan tempur, musuh akan mengatakan, Inilah penopang utama bangsa Arab. Kemudian mereka akan mengerahkan segenap kekuatan untuk membunuh Anda. Dan jika Anda terbunuh, semangat juang kaum Muslim akan hancur lebur.” (Nahj al-Balâghah, khotbah 146)
Itulah kebijakan yang selalu dijalankan Imam Ali as. Imam Ali as tak pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan Khalifah. Dia tak mau menjadi komandan militer, gubernur, Amir al-Haj, juga tak menerima jabatan lain seperti itu, karena kalau menerima, berarti mengingkari klaimnya sendiri yang kuat. Dengan kata lain, menerima pos resmi berarti lebih dari sekadar kerja sama dan menjaga persatuan Islam. Meskipun dia sendiri tak menerima jabatan apa pun, namun dia tidak mencegah famili dan sahabatnya untuk menerima jabatan-jabatan seperti itu, karena hal itu tidak berarti menyetujui kekhalifahan.
Perilaku Imam Ali as dalam hal ini sangat elegan dan menunjukkan dedikasinya kepada tujuan-tujuan Islam. Sementara orang lain melakukan tindakan memecah belah, Imam Ali as justru melakukan tindakan mempersatukan umat. Kalau orang lain mencabik-cabik, Imam Ali bin Abi Thalib as justru merajutnya. Abu Sofyan berupaya memanfaatkan tidak berkenannya Imam Ali as. Abu Sofyan yang sok bersikap menginginkan kebaikan bagi
Imam Ali as dan mencoba melampiaskan dendamnya kepada penerus Nabi saw ini, namun Imam Ali as cukup pandai untuk tidak terkecoh tipu daya Abu Sofyan. Dengan tangannya sendiri, Imam Ali as menepuk dada Abu Sofyan sebagai tanda menolak tawarannya, kemudian meninggalkannya. (Nahj al-Balâghah, khotbah 5)
Manusia dan Alam Semesta