Ikuti Kami Di Medsos

Berita

26 Agustus, Lebaran Berdarah Warga Syiah di Sampang Madura

Jakarta – Perayaan lebaran ketupat warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur berubah menjadi horor. Peristiwa berdarah di Pulau Madura yang menewaskan satu penganut Syiah itu terjadi pada 26 Agustus 2012 atau tepat tujuh tahun lalu.

Kepolisian menyebut, insiden itu terjadi ketika 20 anak warga Syiah di Desa Karang Gayam dan Bluuran, kecamatan Omben hendak kembali mondok di luar Sampang dengan mencarter minibus. Namun di tengah jalan, sekira pukul 10.00 WIB, rombongan santri itu dihadang puluhan orang mengaku warga Sunni dengan menaiki sekitar 30 sepeda motor.

Rombongan anak-anak warga Muslim Syiah yang baru saja menghabiskan libur lebaran Idul Fitri di kampung halamannya itu dipaksa kembali ke rumahnya. Mereka dilarang kembali belajar ke pesantren berhaluan Syiah yang ada di luar sampang.

“Saat itu terjadi keributan dan perkelahian hingga menimbulkan satu korban meninggal bernama Hamama,” kata Hilman Thayib yang kala itu menjabat Kabid Humas Polda Jatim dengan pangkat kombes.

Pertikaian meluas hingga menyebabkan puluhan orang terluka dari kedua kelompok. Dikutip dari berbagai sumber, sekitar 45 rumah warga Desa Karang Gayam dirusak dan dibakar. Kapolsek Omben juga terluka di dahinya akibat lemparan batu.

Versi berbeda dikeluarkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Menurut Kontras, sejak sebelum Ramadan atau antara Juni-Agustus 2012, warga penganut Syiah di Desa Karang Gayam sudah mendapatkan ancaman dan teror. Mereka diancam dibunuh jika masih berada di Dusun Nangkernang setelah Ramadan.

Pada 23 Agustus 2012, pelaku melakukan sweeping terhadap warga Syiah yang akan keluar kampung, termasuk anak-anak yang hendak kembali ke pondok pesantren di luar Kota Sampang. Kejadian ini telah dilaporkan kepada aparat kepolisian, namun tidak ada tindak lanjut.

Pada 26 Agustus 2012, sekitar pukul 08.00 WIB, Kontras memperkirakan 500 orang membawa senjata tajam berupa celurit, pedang, dan pentungan serta bom molotov telah berkumpul di Dusun Nangkernang, Karang Gayam. Untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan, Iklil Almilal kakak pertama Tajul Muluk (pemimpin Syiah Sampang) menelepon polisi.

Kepolisian menanggapi laporan Iklil dengan mengirim lima orang personil ke lokasi. Pada pukul 11.00 WIB, pelaku yang telah berkumpul mulai mengadang anak-anak warga Syiah yang mau kembali ke pesantren. Para laki-laki dewasa kelompok Syiah berusaha melindungi anak-anak dan istri mereka.

Namun pelaku terus menyerang dengan lemparan batu, bom molotov, dan menikam dengan senjata tajam. Akibat penyerangan tersebut, satu orang bernama Muhammad Khosyim alias Hamama tewas, tujuh orang kritis, serta puluhan orang mengalami luka-luka.

Aktivis HAM, Usman Hamid menyebut, anak-anak Syiah dan keluarganya yang hendak mengantar ke pesantren sempat berusaha menyelamatkan diri dengan berlarian masuk ke rumahnya masing-masing. Namun massa tetap menyerang dengan merusak dan membakar rumah mereka.

Mantan Koordinator Kontras itu mengatakan, kepolisian berada di lokasi saat peristiwa berlangsung. Namun aparat penegak hukum itu tidak bisa berbuat banyak. Polisi baru bisa mengevakuasi jemaah Syiah pada pukul 18.30 WIB ke gelanggang olahraga (GOR) Sampang. Namun tidak semua warga Syiah berhasil dievakuasi karena tidak sedikit yang bersembunyi dan keberadaannya tidak diketahui.

“Ada yang lari ke gunung, sebagian memilih bersembunyi di tempat keluarga di luar Karanggayam. Hingga pukul 21.00 WIB ada 176 pengikut Syiah yang berhasil dievakuasi ke GOR Sampang,” kata Usman, Senin 27 Agustus 2012.

Menurut Usman, penyerangan dilakukan di saat warga Syiah Sampang tidak memiliki pemimpin. Tajul Muluk yang merupakan pemimpinnya ditahan atas tuduhan pencemaran agama pada pertengahan April 2012. Dia dilaporkan oleh adiknya sendiri, Roisul Hukama setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang mengeluarkan fatwa ajaran Syiah yang dipimpin Tajul sesat.

Konflik Keluarga, Paham Agama, atau Politik?

Konflik berdarah di Sampang, Madura, Jawa Timur itu ternyata tidak 100 persen terkait agama. Benih-benih konflik antarkedua kelompok itu berlangsung sejak cukup lama yakni sekitar 2006. Saat itu, ulama dan tokoh masyarakat setempat menolak ajaran Tajul Muluk yang dianggapnya nyeleneh. Tajul sendiri diketahui mulai terang-terangan menyebarkan ajaran dan merekrut jemaah Syiah di Sampang sejak 2003.

Beberapa kali protes hingga mediasi dan rapat-rapat tidak menyelesaikan konflik perbedaan paham. Kondisi diperparah konflik internal keluarga antara Tajul dan adiknya, Roisul. Hingga pada 2009, Roisul menyatakan keluar dari aliran Syiah dan mulai bersuara menentang ajaran kakaknya.

Tajul menyebut, konflik dirinya dengan Roisul dilatarbelakangi perebutan perempuan. Roisul gagal mempersunting wanita yang diincar. Sementara Roisul membantah tudingan itu. dia menyatakan, konflik berawal dari isi ceramah dan ajaran Tajul.

Penyerangan warga Syiah pada 26 Agustus 2012 itu sejatinya bukan yang pertama kali terjadi. Pada 29 Desember 2011, Pesantren Misbahul Huda yang diasuh Tajul Muluk diserang warga anti-Syiah. Pesantren, rumah Tajul dan kakaknya Iklil juga dibakar. Keduanya juga diancam akan dibunuh. Mereka curiga, dua peritiwa berdarah itu diotaki Roisul.

Dua konflik itu juga diperparah dengan situasi politik Pilkada Kabupaten Sampang. Suhu panas politik juga mempengaruhi konflik horisontal di Sampang.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan lima penyebab konflik warga Sunni-Syiah di Kecamatan Omben, Sampang, Madura itu. Pertama, adanya fatwa MUI Jatim, PWNU Jatim, dan ulama Basara (Badan Silaturahmi Ulama dan Pesantren Madura) yang menyatakan Syiah sebagai aliran sesat.

Kedua, terdapat pernyataan Bupati Sampang terdahulu yang menolak keberadaan masyarakat penganut Syiah di wilayahnya. Ketiga, putusan Pengadilan Negeri Sampang hingga Pengadilan Tinggi yang memvonis Tajul Muluk sebagai pimpinan Syiah telah melakukan penodaan agama dengan hukuman 2 tahun penjara dan diperberat menjadi 4 tahun di tingkat banding.

Keempat, LPSK menemukan konflik pribadi kakak beradik antara Tajul Muluk dengan Roisul yang sama-sama menjadi tokoh masyarakat dan memiliki basis massa. Terakhir, pemilihan Bupati Sampang di mana petahana gagal mempertahankan tahtanya juga diduga menjadi salah satu peruncing konflik.

Sumber: Liputan6.com

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *