Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

#Imamah: Kemaksuman Para Imam

Pembahasan sebelumnya #Imamah: Kebutuhan Umat kepada Imam

Kemaksuman atau keterjagaan para imam dari salah dan dosa juga merupakan salah satu karakteristik para imam. Sebab, mereka memiliki semua kedudukan dan perkara kerasulan kecuali maqam kenabian. Karena itu, semua dalil yang menunjukkan keharusan kemaksuman para nabi dari kesalahan dan dosa juga berlaku pada para imam. Dengan demikian, kemaksuman tidak identik dengan kenabian saja. Ada orang-orang tertentu yang meskipun bukan nabi namun mereka adalah manusia-manusia maksum. Contohnya adalah Sayyidah Maryam as dan Hazrat Fatimah Zahra as.

Dalil Kemaksuman

Pertama, karena imamah adalah sebuah kedudukan yang ditetapkan Allah maka Dia mewajibkan ketaatan mutlak kepada para imam dan menyejajarkan ketaatan kepada mereka dengan kataatan kepada Allah dan rasul-Nya, dan karena ketaatan kepada mereka adalah kewajiban sedemikian rupa maka mereka harus terjamin dengan kemaksuman. Dengan kata lain, imamah adalah satu janji Allah, dan janji Allah tidak mungkin diberikan kepada orang-orang zalim. Ketika Nabi Ibrahim as memohon supaya kedudukan imamah juga diberikan kepada anak keturunannya, dia dihadapkan pada syarat dari Allah: “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” [al-Baqarah:124]

Dari sisi lain, kezaliman dalam artinya yang luas mencakup kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain sehingga mencakup pula kezaliman berupa syirik, keyakinan sesat dan kesalahan. Dengan demikian, jika imamah adalah janji dan kedudukan yang ditetapkan Allah maka kemaksuman adalah satu keharusan.

Kedua, kemaksuman Ahlulbait juga ditegaskan dalam ayat at-Tathhir. Berdasar ayat ini, kesucian Ahlulbait dari segala noda dan kotoran, terutama berupa dosa, adalah kehendak Allah Swt: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda (dosa) dari kamu, hai Ahlulbai tdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”[QS. al-Ahzab: 33]

Ayat secara gamblang menegaskan bahwa kesucian Ahlulbait as adalah segala bentuk dosa dan noda sudah menjadi iradah takwim’ah (kehendak eksistensial) yang bersifat absolut atau pasti terjadi karena tidak suatu apapun yang dapat menghalanginya untuk menjadi kenyataan. [Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, jadilah! maka terjadilah ia. QS. Yasin: 82]

Penyucian secara mutlak identik dengan kemaksuman, karena yang dimaksud dari noda (rijs) dalam ayat tersebut meliputi noda pikiran, rohani dan perilaku yang salah satu bentuknya yang paling nyata adalah dosa. Kemudian, karena kehendak llahiah ini hanya berkenaan dengan orang-orang tertentu, bukan sembarang orang, maka kehendak inipun berbeda kehendak Allah untuk menyucikan setiap orang. [Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. QS. al-Maidah: 6]

Kehendak Allah terhadap setiap orang adalah iradah tasyri’tyyah [Kehendak Allah untuk menyucikan manusia melalui penetapan syariat supaya syariat itu ditaati berdasarkan ikhtiar mereka sepenuhnya], yang tidak mungkin akan menjadi kenyataan dalam diri seseorang apabila dia berbuat berdosa dan bermaksiat kepada Allah. Iradah llahiah yang dimaksud dalam Ayat Tathhir tidak lain adalah iradah takwiniyah yang realisasinya bersifat pasti. Berdasar berbagai riwayat mutawatir, Ahlulbait yang dimaksud dalam ayat ini adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain -alahimussalam. [Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuti, Ad-Durr al-Mantsur 5/169; Muslim bin Hajjaj, sahih Muslim, 4/1883]

Ketiga, Hadis Tsaqalain menyejajarkan Ahlulbait dan itrah (keturunan suci) Nabi saw dengan kitab suci Alquran. Artinya, sebagaimana Alquran, Ahlulbait juga terjaga dari kesalahan dan penyimpangan. Dalam hadis itu Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian dua pusaka berupa Kitab Allah dan itrahku yang apabila kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya kalian tidak sesat untuk selamanya…. Dan sesungguhnya keduanya tidak akan terpisah satu sama lain sampai mereka datang kepadaku di sisi Telaga Haudh.”[Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, 3/14; Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, 7/122]

Tak syak lagi, manusia yang menjadi sumber hidayah dan menjaga manusia dari kesesatan serta tidak mungkin terpisah dari Alquran tentulah insan-insan yang terjaga dari segala bentuk kesalahan dan dosa.

Keempat, dalam hadis lain, Ahlulbait as diibaratkan sebagai bahtera Nabi Nuh as yang siapapun akan selamat jika menaikinya, dan celaka dan binasa ditelan badai jika enggan menaikinya. Dengan demikian, sebagaimana bahtera Nabi Nuh as adalah satu-satunya tempat berlindung dan mencari keselamatan [Al-Hakim an-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, 3/351; Ibnu Hajar al-Haitsami, ash-Shawa’iqul Mukhriqah, hal.91],  keteguhan dan ketaatan kepada Ahlulbait pun juga merupakan satu-satunya tempat untuk berlindung dan mendapat keselamatan. Figur-figur yang memiliki keistimewaan sedemikian rupa tentu tidak mungkin manusia biasa, melainkan manusia istimewa dan sempurna yang terlindungi dari segala kekeliruan dan penyimpangan.

Kecintaan Kepada Ahlulbait as

Kecintaan kepada Ahlulbait as mendapat penekanan dalam Alquran dan berbagai riwayat. Kecintaan itu bahkan dikategorikan sebagai sesuatu yang sangat substansial dalam Islam (dharuriyyat din). Tentang ini Allah Swt berfirman: Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan kepada kerabat(ku).” [QS. al-Syura: 23]

Para ahli hadis Ahlusunah membawakan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa ketika Ayat Mawaddah (kecintaan) ini turun, para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah keluargamu yang kecintaan kepada mereka diwajibkan atas kami?” Rasulullah saw menjawab: “Ali, Fatimah dan dua orang putera mereka.” [Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, 3/1289; Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad 1/493]

Dalam berbagai hadis mutawatir lain mengenai kewajiban cinta kepada Ahlulbait as disebutkan bahwa siapa yang mencintai mereka pasti mencintai Allah dan siapa yang memusuhi mereka pasti memusuhi Allah. [Muhammad Baqir al-Majlisi, Biharul Anwar, 17/13]

Adapun mengapa mereka harus dicintai dan apa manfaatnya, iaWabannya jelas bahwa kecintaan kepada manusia sempurna adalah tangga menuju kesempurnaan. Orang yang mencintai kekasihnya akan benderung berusaha menyesuaikan diri dengan kekasihnya, herb Sesuatu yang dapat menyenangkan kekasihnya dan menghindari perbuata“ tidak mengecewakan kekasihnya. Orang yang mengaku cinta hanya Sebam Iisan dan tidak termanifestasi dalam bentuk tindakan tidak akan terhituna sebagai pencinta sejati. Ahlulbait Rasulullah saw adalah manusia-manusia yang disucikan Allah dari segala aib keyakinan dan noda rohani. Allah Swt menjadikan mereka sebagai prinsip segala kebaikan dan kesempurnaanjs Atas dasar ini, kecintaan kepada Ahlulbait pada hakikatnya adalah kecintaan kepada kebaikan dan kesempurnaan, dan konsistensi untuk selalu mengikuti jejak mereka.

bersambung…….

Jurnal Bayan, vol. III, No.1, thn 2013.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *