Artikel
#Imamah: Kebutuhan Umat kepada Imam
Rasulullah saw mengemban tiga misi: menerima dan menyampaikan wahyu; menjelaskan wahyu; dan memimpin masyarakat Islam. Sepeninggal beliau, era wahyu berakhir, dan karena itu misi pertama beliau pun berakhir. Namun, dua misi selanjutnya tetap urgen bagi pembinaan dan hidayah umat Islam, yaitu menjelaskan wahyu dan menegakkan pemerintahan untuk mengimplementasikan undang-undang peradilan, ekonomi dan sosial Islam.
Pembahasan sebelumnya #Imamah: Munculnya Selisih Pendapat tentang Imamah
Dalam pandangan Syiah, Allah Swt telah menetapkan para imam maksum dan berilmu Iadunni untuk menjelaskan wahyu sepeninggal Rasul saw. Dengan kata lain, mereka telah ditunjuk sebagai pengawal agama dan pengelola masyarakat Islam. Pengangkatan para imam pasca Rasul saw berdasar pada beberapa alasan, sebagai berikut:
Pertama; selama 23 tahun masa kenabian dan kerasulannya, Rasulullah saw tidak sempat menyampaikan semua rincian hukum-hukum Ilahi. Sebab, banyak persoalan dan hukum belum menemukan obyeknya di masa Nabi saw, sehingga pertanyaan tentang itu praktis belum mengemuka. Dari sisi lain, selama 13 tahun masa kenabian Rasul saw di Mekkah, hanya sedikit orang yang beriman kepada ajarannya. Sedangkan selama 10 tahun masa kenabian di Madinah, umat Islam berada dalam kondisi perang sehingga tidak banyak kesempatan bagi beliau untuk menjelaskan hukum-hukum Islam secara detail. Atas dasar ini, masyarakat Islam sepeninggal Nabi saw memerlukan juru penunjuk yang terjaga dari kesalahan demi melanjutkan misi Nabi saw tersebut.
Kedua; sepeninggal Rasulullah saw muncul berbagai aliran, seperti Khawarij, Muktazilah, Murji’ah, Asya’irah dan Syiah yang masing-masing merasa bahwa akidahnyalah yang bersandar pada Alquran, yang menafsirkan Alquran sesuai keyakinannya. Sedangkan penafsiran yang sahih di antara sekian penafsiran yang berbeda itu, tentu tidak lebih dari satu. Karena itu harus ada orang-orang tertentu yang tahu persis mana penafsiran yang sahih dan mana yang tidak sahih untuk kemudian menjelaskan penafsiran yang benar itu kepada masyarakat, agar mereka dari generasi ke generasi dapat memilih jalan yang benar.
Contohnya ialah tata cara wudu (wudhu). Rasulullah saw setiap hari sekian kali berwudu di depan umum sehingga banyak orang melihat bagaimana beliau membasuh wajah dan tangan serta mengusap bagian kepala dan kakinya. Namun, yang terjadi di kemudian hari ternyata adalah perbedaan tata cara berwudu antara Ahlussunnah dan Syiah, dan keduanya juga menyatakan sama-sama berpegangan pada ayat-ayat Alquran. Dalam perbedaan ini, tentu hanya satu yang sesuai dengan tata cara wudu Rasul saw.
Atas dasar ini, keberadaan para imam maksum sangat diperlukan agar umat bisa mendapat penafsiran yang benar atas hukum-hukum dan makrifat-makrifat Islam. Dalam makrifat misalnya, perihal sifat-sifat Allah, lauh dan qalam, arasy (’arasy) dan kursy, kada (qadha) dan kadar (qadar), jabr dan ikhtiar dan syafaat, surga dan neraka.
Ketiga; sepeninggal Rasulullah saw terjadi fenomena bursa hadis palsu yang dikaitkan kepada beliau. Para pembuat hadis palsu bertebaran dengan berbagai agenda dan tujuan. Sebagian dari mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menyamar sebagai muslim, seperti Ka’bul Ahbar dan Wahab bin Munabbih. Mereka memendam permusuhan terhadap Islam sehingga menyusupkan hadis-hadis lsrailiyat dan Masihiyat. Di saat yang sama, sebagian umat Islam sendiri yang lemah iman juga tak segan-segan membuat hadis palsu dengan berbagai motif dan tujuan, ambisi politik, pemenuhan kepentingan dan selera pihak yang berkuasa.
Di tengah carut-marut ini umat tentu memerlukan keberadaan imam maksum yang dapat diandalkan sebagai rujukan final untuk membedakan hadis sahih dari hadis palsu. Dalam konteks ini pula, imam maksum juga bertugas memerangi hadis-hadis palsu, memberantas paham-paham menyimpang dan membebaskan umat dari cengkeraman para penebar dusta. Sebagai ilustrasi, ada baiknya kami sebutkan contoh perihal orang yang berperan sebagai pembuat hadis palsu sebagai berikut:
Adalah Samurah bin Jundub yang tampil atas nama sahabat Nabi saat menjadi katalisator mesin propaganda Muawiah bin Abu Sufyan. Dengan upah 400 dinar dia tak segan-segan mendistorsi asbab an-nuzul dua ayat suci Alquran. Sebuah ayat yang turun berkenaan dengan kekesatriaan Ali bin Abi Thalib pada Lailatul aI-Mabit[1] (malam di mana Imam Ali tidur di tempat tidur Rasulullah saw ketika beliau bergerak keluar dari Mekkah untuk hijrah menuju Madinah) didistorsi sedemikian rupa supaya menjadi ayat yang menunjukkan keutamaan Ibnu Muljam, pembunuh Imam Ali, Samurah menyatakan ayat itu turun berkenaan dengan Ibnu Muljam. Di saat yang sama, sebuah ayat yang mencela kaum munafik[2] dia sebutkan sebagai ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali as.[3]
Semua kebohongan itu disebarluaskan kepada ribuan warga Syam yang belum lama masuk Islam dan tidak tahu menahu tentang kedudukan Imam Ali as di sisi Rasulullah saw. Akibatnya, penduduk Syam membenci Imam Ali dan para pengikutnya, sehingga terjadi tragedi yang menelan korban puluhan ribu orang.
Tentang kaum munafik pemalsu hadis berjubah sahabat itu Imam Ali as berkata: “Seandainya masyarakat mengenal kaum munafik dan pendusta itu tentu tidak akan percaya dan menerima perkataan mereka, namun masyarakat tertipu oleh status sahabat yang disandang oleh kaum munafik itu dan berpikir bahwa merekalah yang menyaksikan Rasulullah saw, mendengar dan mendapat kebenaran-kebenaran dari beliau dan tidak mungkin berkata sesuatu yang menyalahi kebenaran. Masyarakat tidak mengetahui siapa mereka sebenarnya. [4]
Allamah Abdul Husain al-Amini dalam kitabnya, al-Ghadir, telah meninjau kitab-kitab rijal (para perawi hadis) Ahlusunah dan menjelaskan nama dan ciri-ciri 700 orang pembuat hadis palsu.
Inilah realitas umat Islam. Karena itulah harus ada para imam maksum dan mumpuni yang berfungsi sebagai pengawal sejati [agama] Islam dan menjaga kemurniannya. Berbagai nash agama (Islam) telah menegaskan adanya figur-figur demikian dan menyebut mereka sebagai hujjah sepeninggal Rasulullah saw. Imam Ja’far Shadiq as, misalnya, berkata: “Bumi ini tidak akan pernah kosong dari keberadaan sosok imam (maksum) supaya apabila ada orang-orang Islam yang menambahkan sesuatu pada agama ini maka dia dapat menangkalnya, dan apabila mereka melakukan pengurangan maka dia dapat menyempurnakannya.”[5]
Juga dinyatakan, “Allah tidak membiarkan bumi kosong dari hujah, karena jika tidak ada hujah maka kebenaran tidak akan dapat dibedakan dari kebatilan.”[6]
Hisyam bin Hakam, mutakalim besar dan murid terkemuka Imam Ja’far Shadiq dalam dua dialog terpisah juga menyebutkan bahwa keberadaan imam maksum pasca Nabi saw adalah satu keharusan yang tidak terelakkan. Dalam dialog dengan seorang ulama Syam, terjadi tanya jawab antara lain sebagai berikut:
(Hisyam bertanya) “Apakah sepeninggal Nabi saw Allah Swt menetapkan dalil dan hujah untuk mengatasi perselisihan di tengah umat Islam?”
(ulama Syam menjawab) “Ya, Alquran dan hadis Nabi sudah cukup untuk mengatasi perselisihan?”
“Jika al-Quran dan hadis sudah cukup untuk mengatasi perselisihan, lantas mengapa masih terjadi perselisihan antara aku dan kamu padahal dua cabang kita berasal dari satu pohon yang sama? Mengapa masing-masing memilih jalan yang berbeda?”
Dalam dialog dengan Amr bin Ubaid, pemuka Muktazilah di Basrah terjadi tanya jawab seputar fungsi imam sebagai berikut:
Hisyam :”bukankah kamu memiliki mata?”
Amr : “Ya”
Hisyam: “Kamu fungsikan sebagai apa mata itu?”
Amr: Untuk melihat aneka warna?”
Hisyam: Bukankah kamu memilikit telinga?”
Amr : Ya.
Hisyam : “Untuk apa
Amr : “Untuk mendengarkan suara?”
Hisyam juga menanyakan perihal beberapa organ pengindra lain seperti indra penciuman, perasa dan peraba dengan fungsi masing-masing dan Amr pun memberikan jawaban “ya”. Setelah itu Hisyam bertanya; “Bukankah kamu juga berakal?” Amr menjawab: “Ya”. Hisyam menyoal lagi: “Apakah fungsi akal bagi manusia?” Amr menjawab: “Untuk memilah-milah apa yang dialami oleh organ-organ tubuhku.” Hisyam bertanya lagi: “Apa lagi fungsi akal pada tubuh?” Amr menjawab: ”Sebagai rujukan untuk menghilangkan keraguan apabila ada organ pengindra yang salah atau ragu dalam pengindraan.”
Hisyam kemudian membuatkan kesimpulan bahwa Allah Swt menciptakan perlindungan sedemikian rupa untuk mengatasi keraguan yang dialami organ-organ pengindraan, lantas apakah mungkin umat manusia dibiarkan begitu saja tanpa ada seorang pemimpin untuk mengatasi keraguan, kebingungan dan kesalahan yang mereka alami? [7]
Keempat; dalam realitas sejarah permulaan Islam pasca wafat Rasulullah saw memperlihatkan dengan jelas bagaimana kondisi kawasan jazirah Arabia dan dunia, yang mengharuskan adanya nash untuk menetapkan imamah. Ketika Rasul saw wafat, ada tiga kategori ancaman bagi ajaran Islam: ancaman dari imperium Romawi, ancaman dari imperium Persia dan ancaman dari kaum munafik yang ada dalam tubuh umat Islam sendiri.
Sedemikian krusialnya ancaman pertama sehingga pada hari-hari menjelang wafat pun Rasulullah memikirkan pengiriman pasukan dalam jumlah besar untuk berperang di bawah pimpinan Usamah bin Zaid guna melawan pasukan Romawi. Beliau bahkan mengutuk orang yang membelot dari ekspedisi Usamah tersebut. Ancaman kedua juga tak kalah buruknya. Betapa tidak, musuh merobek-robek surat beliau dan bahkan melayangkan surat kepada gubernur Yaman sembari memintanya agar menangkap Muhammad saw atau menyerahkan kepala beliau.
Sedangkan mengenai ancaman internal dari kaum munafik, sejarah mencatat betapa mereka tak henti-hentinya mengusik Rasulullah saw, baik dari dalam kota maupun dari luar kota Madinah. Mereka merancang dan melancarkan konspirasi demi konspirasi terhadap Rasul saw. Sedemikian dahsyatnya aksi makar mereka sehingga Alquran dalam berbagai suratnya menyebutkan perihal mereka. Tak kurang, Alquran bahkan menamakan salah satu Surah-nya dengan nama “al-Munafiqun” yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai pikiran dan tindak-tanduk mereka.
Dengan latar belakang demikian, layak untuk dipertanyakan: Apakah mungkin Rasulullah saw membiarkan umat Islam dan ajaran sucinya tanpa ada pengayoman dari seorang pemimpin, sedangkan musuh (dari luar dan dalam umat muslim) terus mengintai dari berbagai penjuru? Di samping itu, beliau juga tahu persis kultur masyarakat Arab yang kental dengan fanatisme kesukuan sehingga tidak sedikit orang yang masih mengedepankan para pemuka suku masing-masing. Semua ini menunjukkan dengan gamblang bahwa membiarkan ummat tanpa suatu penunjukan atas pemimpin yang menggantikan beliau sama saja dengan membiarkan mereka terjerumus ke dalam kancah perpecahan dan pertikaian antarsuku sehingga keadaan akan sangat menguntungkan musuh-musuh Islam. Atas dasar ini penetapan Pengganti beliau melalui nash adalah tindakan yang lebih tepat dan realistis.
bersambung……..
Catatan kaki
- Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS. al-Baqarah: 207)
- Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. (QS. al-Baqarah: 204).
- Jawad Balaghi, Ala’u ar-Rahman, 1/148.
- Nahj al-Balaghah, Khotbah 205.
- Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, Ushul Kafi, 1/ 178.
- Ibid
- Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, Ushul Kafi, 1/170; Ja’far Subhani, Ilahiyyat wa Maarif-e Islami, hal.373.