Berita
Ghadir Khum: Komitmen Syiah dalam Bernegara dan Berwilayah
Kita punya persamaan dan perbedaan dalam berbagai hal dengan orang lain. Namun sebagai sama-sama manusianya, kita bisa berhubungan dan menerima orang lain berdasarkan dua hubungan kesetaraan sesama manusia global.
Pertama, prinsip kemanusiaan adalah awal dalam membangun sikap dalam interaksi sosial kita dengan orang lain. Prinsip kedua, sama-sama bertuhan, satu umat.“lnna haadzihi ummatakum ummataw wahidah wa ana rabbukum fa’buduun wa ana rabbukum fattaqun”.
Kita semua umat yang satu, satu prinsip ketuhanan, sama-sama meyakini Tuhan. Ini terpatri dengan sangat jelas dalam sila pertama Pancasila. Bayangkan bila prinsip yang satu itu berlandaskan agama: tidak akan ada tempat yang aman di Indonesia bagi kelompok minoritas. Ayat “lnna haadzihi ummatakum ummatan wahidah” menyebut satu umat, bukan satu agama.
Sama-sama meyakini Tuhan itu berarti satu umat, dan itu ditetapkan sebagai salah satu sila pertama Pancasila. Sehingga orang dengan berbagai macam keyakinan, agama, mazhab, dan alirannya selama meyakini ketuhanan adalah bagian integral dari bangsa ini, berhak menjadi warga negara dengan semua haknya. sehingga tidak ada yang berhak untuk yang lain, “Innai haadzihi ummatakum ummatan wahidah”.
Kita menerima Sila Ketuhanan karena kita patuh kepada konstitusi. Kontrak sosial dibangun di atas keragaman keyakinan dan agama. Karena kita taat kepada agama, agama menyuruh kita untuk mengikuti akal, fakta, perjanjian, kesepakatan apapun bentuknya, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, karena itu disebut dengan Islam. Tidak harus ada dalilnya. Tidak semua kebaikan harus ada dalilnya. Membangun klinik, koperasi, toilet untuk masyarakat di daerah kumuh, membangun lampu merah di persimpangan jalan, membangun industri pesawat terbang, dll. Itu semua tidak ada teksnya. Tapi, dengan akal sehat, kita paham.
Akal sehat merupakan dasar untuk memahami info-info agama. Tanpa akal sehat, setiap orang merasa menjadi tokoh agama, berceramah segala hal tentang agama yang belum ia pahami dengan benar, menggunakan simbol agama sesukanya, tapi hakikatnya justru mencoreng wajah agama. Karena itu akal berfungsi sebagai penyuling, sebagai filter.
Tidak ada yang berhak membawa negara ini kepada satu agama, apalagi mazhab. Di sini kita perlu meperkenalkan fondasi keberagamaan kita, dengan semua ciri khasnya, yaitu: Kemanusiaan, Ketuhanan, Keislaman dan Kemazhaban.
Dasar Islam adalah syahadatain. ini dasar beragama. Sedangkan dasar berbangsaa adaiah Ketuhanan Yang Maha Esa. Islam sebagai dasar beragama, tapi bukan dasar bernegara.
Kita berterima kasih kepada Imam Khomeini yang menyadarkan kita untuk melawan kezaliman, menyadarkan kita tentang kekejaman Israel. Kita meneladaninya, tanpa menanggaikan jati diri dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kita bertemu dengan mereka dalam kemanusiaan, dalam kebertuhanan, dalam keislaman, dan dalam keberwilayahan. Empat titik temu dengan mereka.
Kita meyakini Wilayatul Fakih sebagai bagian dari komitmen kita kepada imamah. Maka sebagai prinsip wilayah, kita patuh kepada Wali Faqih yang menyuruh kita mempertahankan dan melindungi apa yang kita punya, termasuk bangsa dan negara ini.
Ber-Wilayah adalah kepatuhan kepada yang punya kompetensi dalam keadaannya tentu sampai yang paling rendah, dengan konsekuensi kepatuhan yang juga sesuai dengan kadarnya. “falaola nafara min kulli firqatin minhum thaaifatun yatafakkahu fiiddiin waliundhiruu qaumahum idha rajaau ilaihim la’allakum yahdharuun”. Ketika menerima wilayah, maknanya tidak cuma kepatuhan fisik saja, tapi mindset juga harus berubah.
Karena itu orang Syiah tidak punya beban dalam masalah khilafah. Kita tidak mengejar Khilafah, sejak dulu hingga sekarang. Ternyata, penolak Khilafah seperti Syiah itulah yang justru cocok dangan NKRI.
Kita mendukung Pancasila dan mematuhi konstitusi yang dibangun di atas kontrak sosial. aufu bil ‘ukud. Pengikut Ahlulbait adalah garda terdepan untuk mempertahankan negara ini, mempertahankan Pancasila.
Pemimpin (Imam) itu sudah ditentukan oleh Allah. Orang Syiah tidak pernah ribet soal pemimpin administrasi politik seperti Ketua Kelompok Arisan, Ketua RT/RW, Kepala Desa, Gubernur, bahkan Presiden. Kriterianya tetap harus yang paling baik. Tapi ini tidak ada hubungannya.dengan pemimpin dalam makna innama waliyukumullah.
“Ya ayyuhar rosulu balligh ma undzila ilaika mirrabbik wa il lam taf ‘al fa ma ballaghta risalatah” Kalau kamu tidak menyampaikanya sama dengan tidak menyampaikan risalah, mengapa? Karena yang menjamin risalah lestari tentang orang yang akan melanjutkan.
Dr Muhsin Labib Assegaf, Ketua Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia