Akidah
Merancang Piramida Iman: Imamah dan Kepemimpinan
Setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah dan mendapatkan dukungan besar dari kaum Anshar dan dari kaum muslim (baca: kaum Muhajirin) yang menyertai hijrah beliau dari Mekah, segera beliau meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat Islam dan merumuskan undang-undangnya. Ketika itu, masjid, selain digunakan sebagai tempat ibadah, berfungsi sebagai tempat berteduh dan berlindung bagi kaum Muhajirin, orang-orang terlantar (tunawisma) dan tempat pemecahan berbagai problem sosial, politik dan ekonomi masyarakat Islam.
Pembahasan sebelumnya: Hikmah dan Falsafah Diakhirinya Kenabian
Lebih dari itu, masjid merupakan titik-tolak penyebaran risalah Ilahiah, pusat pendidikan masyarakat, gedung mahkamah dalam menyelesaikan perselisihan dan berbagai kasus tindak Pidana serta Perdata. Masjid jugalah yang telah menjadi markas instruksi militer, persiapan pasukan tempur, perlengkapan perang dan basis utama dalam menyelesaikan berbagai problem pemerintahan lainnya.
Alhasil, berbagai macam urusan hidup masyarakat secara umum, baik agama maupun dunia, berada di tangan Rasulullah saw. Ketika itu, kaum muslim menyadari bahwa mereka dituntut untuk mengikuti dan menaati bimbingan, ajaran dan perintah beliau. Karena sesungguhnya Allah Swt, di samping telah mewajibkan umat manusia untuk menaati Rasul saw secara mutlak, juga dengan tegas memerintahkan mereka untuk mematuhi beliau dalam masalah politik, sosial, ekonomi dan militer.
Dengan ungkapan lain, selain kedudukannya sebagai nabi yang bertugas menyampaikan syariat Islam serta menjelaskannya kepada umat, Rasul saw juga mengemban jabatan Ilahi lainnya, yaitu memimpin umat Islam dan mengatur mereka dalam urusan politik, ekonomi, sosial, militer dan lain sebagainya. Sebab, Islam adalah agama yang mencakup tugas-tugas dan aturan-aturan ibadah dan akhlak, pun meliputi undang-undang politik, ekonomi, hak-hak serta lainnya. Dan sebagaimana Rasul saw memikul tugas dakwah dan mendidik umat, beliau pun memikul tanggung jawab dari sisi Allah Swt untuk menerapkan hukum-hukum dan syariat Islam. Maka, di tangan beliaulah kendali agama dan pemerintahan berada.
Sudah jelas, sebuah agama dan ajaran yang diakui sebagai pelita hidayah dan penuntun seluruh umat manusia sampai Hari Kiamat, sungguh absurd bila agama ini tidak menaruh perhatian terhadap masalah-masalah politik, sosial dan ekonomi. Masyarakat yang hidup berasaskan agama ini mustahil tidak memiliki wewenang politik semacam ini, wewenang yang merupakan kelaziman posisi seorang imam.
Pembahasan penting kita sekarang ini adalah, siapakah yang berhak memimpin umat manusia setelah Rasul saw wafat? Dan, siapakah yang berhak mengangkat khalifah dan pemimpin umat tersebut? Apakah sebagaimana Allah Swt mengangkat Rasul saw untuk menduduki jabatan kepemimipinan umat. Dia juga yang mengangkat dan menentukan para pengganti Rasul-Nya? Apakah sebenarnya jabatan imamah dan khilafah itu dianggap ilegal jika tidak ditentukan dan ditunjuk oleh-Nya? Ataukah ketentuan Ilahi dalam masalah ini hanya berkenaan dengan Nabi saw saja, sementara setelah beliau wafat, masalah pengangkatan seorang pemimpin umat sepenuhnya diserahkan kepada pilihan masyarakat? Apakah memang masyarakat itu benar-benar memiliki hak dalam masalah pemilihan imam ini atau tidak?.
Titik utama perbedaan pandangan antara Ahlusunnah dan Syiah terletak pada persoalan imamah dan khilafah ini. Mazhab Syiah meyakini bahwa persoalan imamah ini merupakan urusan Allah. Hanya Dia-lah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah dan khilafah. Sesungguhnya, peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi saw, yaitu tatkala Allah memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib as sebagai imam dan khalifah kaum muslim sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali as tersebut dilakukan oleh Rasul saw secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali as sebagai imam kaum muslim setelah wafatnya.
Berbeda halnya dengan keyakinan Ahlusunnah wal Jamaah. Mazhab ini meyakini bahwa perkara imamah tidak berbeda dengan masalah kenabian dari sisi bahwa perkara itu telah berakhir seketika wafatnya Nabi saw. Adapun setelah itu, perkara imamah sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat Islam dan umat manusia. Bahkan sebagian tokoh mazhab ini menyatakan secara tegas, bahwa apabila ada seseorang merebut kedudukan imamah dengan kekuatan pedang sekalipun, maka wajib atas umat Islam untuk tunduk, mengakui dan menaatinya.
Jelas bahwa pandangan semacam ini akan membuka peluang bagi para taghut dan para penguasa rakus untuk mencapai dan meraih ambisi kotornya itu, dengan cara menduduki kursi kepemimpinan umat. Bahkan lebih dari itu, pandangan ini akan membuka jalan bagi pihak-pihak yang membuat umat Islam hancur, terbelakang, dan memecah-belah persatuan mereka.
Imamah merupakan masalah yang sangat penting, yang patut diberi perhatian oleh setiap muslim, masalah yang sama sekali tidak sepatutnya diabaikan. Hendaknya setiap muslim mengkaji masalah ini dengan baik dan serius, namun jauh dari fanatisme dan taklid buta, dan berusaha keras dalam mencari serta mengungkap mazhab yang hak dan membelanya dengan penuh keikhlasan hati.
Di samping itu, hendaknya para pengikut dan pemeluk berbagai mazhab menjauhkan diri dari perpecahan dan perselisihan yang dapat menciptakan suasana permusuhan dan membuka jalan bagi musuh-musuh Islam demi mewujudkan ambisi mereka dalam merusak Islam dan menghancurkan kaum muslim.
Hendaknya kaum muslim sendiri tidak melakukan hal-hal yang dapat memperbesar ikhtilaf di antara mereka sendiri yang dapat menggoyahkan persaudaraan dan melemahkan kekuatan mereka dalam menghadapi serangan-serangan orang-orang kafir. Sebab, kerugian dan risiko buruknya hanya akan kembali kepada umat Islam itu sendiri.
Akan tetapi dari sisi lain, jangan sampai maksud baik membina persatuan (wahdah), persaudaraan dan kasih sayang sesama kaum muslim itu malah menjadi kendala dalam mengkaji, meneliti, mencari mazhab yang hak secara serius dan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk mempelajari masalah-masalah ilmiah serta menemukan penyelesaian atas keraguan-keraguan dan persoalan lainnya seputar imamah. Karena, upaya memecahkan masalah ini jika dilakukan dengan baik akan mengambil peranan yang sangat penting yang dapat menentukan perjalanan kaum muslim dan kebahagiaan hakiki mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Definisi Imamah
Menurut bahasa, imamah yaitu kepemimpinan. Setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam, baik berada di atas jalan yang hak atau pun jalan yang batil. Karena itu, Alquran menggunakan istilah aimmah al-kufr (imam-imam kekufuran) berkenaan dengan para pemimpin orang-orang kafir. Sedangkan orang yang diikuti oleh orang-orang yang salat dinamakan imam jemaah.
Adapun menurut istilah teologi, imamah adalah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat ukhrawi maupun duniawi. Dicantumkannya kata “duniawi” di sini hanyalah untuk mempertegas ihwal betapa luasnya cakupan imamah, karena sudah jelas bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.
Menurut mazhab Syiah, imamah dan kepemimpinan umat itu baru dianggap legal bila ditetapkan oleh Allah Swt. Dengan demikian, tidak seorang pun berhak untuk menduduki jabatan imamah ini selain orang-orang yang maksum, yang terjaga dari dosa dan kesalahan dalam menerangkan dan menyampaikan hukum-hukum Islam, serta yang suci dari berbagai maksiat dan kezaliman.
Pada hakikatnya, Imam maksum itu -kecuali jabatan kenabian- memiliki seluruh kewenangan yang diemban oleh Rasulullah saw. Maka, hadis-hadis Imam maksum as itu merupakan hujah (bukti kuat) dalam menjelaskan hukum-hukum, syariat dan ajaran Islam. Dengan begitu, adalah wajib menaati dan mengamalkan segala perintah dan hukum-hukumnya dalam berbagai masalah pemerintahan.
Dari sini, tampak adanya perbedaan yang jelas antara pandangan Syiah Imamiyah dan pandangan Ahlusunnah wal Jamaah dalam masalah imamah. Paling tidak, ada tiga masalah Pokok yang menjadi titik perbedaan di antara kedua mazhab tersebut, yaitu;
Pertama, Imam itu harus ditentukan oleh Allah Swt.
Kedua, Imam itu harus memiliki ilmu laduni dari sisi Allah.
Ketiga, Imam itu harus terjaga dari segala kesalahan dan dosa.
Sudah barang tentu, derajat kemaksuman itu (keterjagaan dari dosa dan kesalahan) tidak khusus pada Imam saja. Karena Sayidah Fathimah Zahra as -sejauh keyakinan Syiah- juga termasuk maksum, hanya saja beliau tidak memiliki posisi imamah, sebagaimana Sayidah Maryam as yang juga mencapai derajat kemaksuman. Dan sangat mungkin di antara para wali Allah ada yang telah mencapai anak tangga kemaksuman tersebut, sekalipun kita tidak mengenalnya. Karena, manusia maksum memang tidak mudah dikenali kecuali dengan isyarat dari Allah Swt.
Dikutip dari buku karya Ayatulah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Piramida Keyakinan