Artikel
#PersatuanMuslimin: Mukadimah
Sesungguhnya masyarakat (ummah) kamu itu adalah masyarakat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku (QS. 2 1:92)
Banyaknya pengikut Nabi Termulia, Muhammad saw, di seluruh dunia menganggap diri mereka bukan sekadar hanya sebagai para pengikut, tetapi juga sebagai pemuja dan pencinta beliau. Dengan modal ini diharapkan supaya masyarakat muslim dapat bersatu kembali dalam cahaya cinta yang mereka bagi untuk Rasulullah saw itu. Sama seperti Rasulullah saw yang memberikan perhatian khusus dan kuat terhadap persatuan dan harmoni atas segala sesuatu, kita juga harus menganggap hal tersebut (persatuan ummat) sebagai hal utama dan penting.
Setidaknya, ada dua hal mendasar yang dapat kita ambil dari ayat yang dikutip di atas. Pertama, kebersatuan ummah berarti sama dengan tauhid. Tauhid merupakan fondasi utama dari persatuan umat Islam, dan persatuan umat adalah implementasi konkret tauhid.
Sungguh sangat disayangkan apabila masalah persatuan yang dibicarakan hanya tinggal sebagai wacana belaka, padahal masalah mulia ini seharusnya masuk menjadi urusan setiap muslim sampai mereka sadar menerimanya, untuk kemudian saling menasihati perihal masalah urgen ini demi mewujudkan sebuah umat yang satu. Kenyataan ini tampak jelas ketika kita berangkat dari ayat Alquran, yang begitu jelas memerhatikan persatuan umat dengan tekanan yang sama seperti perhatiannya pada tauhid. Dalam sebuah tahap kerja besar seorang muslim tiada lain kecuali mewujudkan persatuan ummat, yang panggilan untuk persatuan itu bahkan mendahului perintah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Sesungguhnya masyarakat (ummah) kamu itu adalah masyarakat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku. (QS. 21:92).
Dalam ayat ini, penyembahan pada Tuhan Yang Esa didasarkan pada kesatuan umat dan keesaan Tuhan. Keduanya secara bersama-sama membentuk pilar tauhid dalam penyembahan.
Kedua, soal persatuan umat itu sendiri. Frasa ‘ummatan wahidah’ (umat yang bersatu) merupakan jawaban atas pertanyaan, “Seperti apa umat Islam itu?” Hal ini menegaskan bahwa masyarakat Islam semestinya selalu berada di jalan perwujudan persatuan umat. Setiap langkah yang ditempuh merupakan tahap-tahap untuk membentuk bangunan kokoh bernama “umat yang satu”. Ini merupakan tugas yang diwajibkan, sehingga setiap pengakuan keislaman seseorang akan selalu diuji melalui upaya dan perjuangan di dalam mewujudkan sebuah ummah yang tunggal. Dan dengan cara sama atas dasar tauhid, mereka diwajibkan untuk menyembah satu Tuhan.
Kata-kata “ummah” dan “imamah” (kepemimpinan) berasal dari akar yang sama. Sehingga dikatakan, sebuah umat adalah suatu kelompok yang mengikuti pemimpin (imam), tujuan dan kitab yang sama. Alquran bahkan menggunakan kata “imam” untuk “kitab Musa” (Taurat). Sebuah ummat bersatu hanya dapat diwujudkan bila seluruh kelompok berada di bawah naungan payung satu hukum, satu sistem, dan seterusnya. Selama ini tidak didudukkan secara benar, tidak akan ada realisasi satu umat tunggal. Seorang reformis ternama, Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyf al-Ghitha (ra) menangkap dengan baik hal tersebut, dengan mengambil pelajaran dari ayat di atas, sebagaimana tampak dalam salah satu aforismenya:
Islam telah dilembagakan pada dua ekspresi (dua pilar): ekspresi tauhid dan tauhid ekspresi [suara ketunggalan dan ketunggalan suara].
Sesungguhnya, jika tidak ada ketunggalan ekspresi maka tidak akan ada ekspresi tauhid [yakni, tidak ada ekspresi dari keyakinan Islam]. Tauhid itu lebih dari sekadar ibadah; tauhid adalah prinsip bahwa hanya ada satu Tuhan dan satu pemimpin dalam masyarakat lslam. Alquran menyatakan, …dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah… (QS. 3:64)
Tauhid tidak akan bisa menang selama komunitas atau masyarakat Islam berada di bawah kekuasaan pemimpin, raja, sultan dan penguasa yang tidak absah. Ungkapan “wa ana rabbukum” (Aku adalah Tuhanmu) tidak akan berpengaruh atas masyarakat seperti itu. Juga, umat yang satu (ummatan wahidah) pun tidak akan pernah terwujud. [Mengapa tidak?] Karena para tiran dan setiap pemimpin yang zalim itu selalu berada dalam perang satu sama lain demi merampas kekuasaan yang lebih banyak lagi. Dan, setiap penguasa berhasrat untuk menarik rakyat pada dirinya. Selama sistem seperti ini yang dijalankan, cita-cita membentuk umat yang satu tidak akan bisa terlaksana. Karena itu, ada sebuah urgensi yang berkorelasi antara tauhid (dalam arti yang sebenarnya) dan keberadaan umat yang satu.
selanjutnya; Persatuan dalam Islam
oleh Muhammad Vaiz-Zadeh Khurasani, Jurnal Bayan, vol 3, 2013