Ikuti Kami Di Medsos

Berita

#MaknaHaji: Tiga Berhala [bag 1]

Sebelumnya #MaknaHaji: Dialog antara Bapak dan Anak

Ingatlah bahwa tiga berhala yang ada di Mina itu melambangkan setan yang berusaha menggoda Ibrahim. Bukankah seorang manusia harus mengalami tiga fase dalam rangka membebaskan dirinya dari segala jenis penghambaan? Ia tidak boleh suka mementingkan dirinya sendiri, ia harus mengatasi sifat kebinatangan yang ditandai dengan sikap egoistis, dan ia harus menaiki maqam Ibrahim (yakni, lakukanlah segala sesuatu karena Allah). Bukankah ketiga berhala ini merupakan lawan (antitesis) dari tiga fase haji akbar?

Berhala pertama (Jumrah Ula): Lawan dari fase Arafah.
Berhala kedua (Jumrah Wustha): Lawan dari fase Masy’ar.
Berhala ketiga (jumrah Uqba): Lawan dari fase Mina.

Bukankah berhala-berhala ini melambangkan kekuatan setan yang mengincar di semak-semak jalan manusia dan siap menyergap setiap saat agar manusia tak melakukan apa yang dilakukan Ibrahim? Apa yang sedang mereka lakukan dan apa peran mereka sebenarnya?

Dalam proses evaluasi manusia dan pemenuhan segala kewajibannya, kekuatan-kekuatan jahat melumpuhkan manusia dengan cara menyerang kelemahannya. Tanda lain yang mendorong manusia untuk mengenal lebih baik ketiga berhala itu adalah kenyataan bahwa meskipun mereka berdiri sendiri dan masing-masing memiliki identitasnya sendiri, mereka ‘berteman’ baik dan bekerja sama menghadapi manusia. Dengan kata lain, ketiga berhala ini masing-masing melambangkan satu setan. Yang ada adalah satu entitas dengan tiga wajah atau tiga entitas dengan satu sumber; inilah tepatnya yang dimaksud dengan ‘trinitas’. Beberapa contoh berikut ini menunjukkan konsep tersebut.

Dalam agama Yahudi: Ketiga oknum seperti dije1askan oleh Philo.
Dalam agama Kristen: Bapak, Anak, dan Roh Kudus.
Dalam agama Hindu: Meno dalam tiga bagian: kepala, badan, dan tangan.
Dalam agama Parsi: Ahoura Mazda dan tiga api yang disebut Gashnosp, Estakhr, dan Barzinmehr (juru selamat: Bayangan Tuhan, dan Ayat [tanda] Tuhan).

Apakah yang dimaksud dengan politeisme? Politeisme adalah keyakinan yang didasarkan pada masalah-masalah duniawi. Menurut filsafat sejarah yang bersifat ilmiah, politeisme adalah suatu sistem keyakinan yang didasarkan pada materialisme dengan substruktur yang sesuai dengan struktur ini. Tujuannya adalah untuk menyimpangkan kesadaran diri manusia. Teori dapat diterapkan pada politeisme (syirik) tapi tidak pada monoteisme (tauhid). Konsep politeisme dan konsep monoteisme bertentangan satu sama lain secara tajam. Oleh karena itu. mustahil dua konsep tersebut memiliki sumber dan fungsi yang sama. Di sepanjang sejarah telah terjadi pertentangan antara dua keyakinan ini (monoteisme melawan politeisme). Namun, dari segi aplikasi sosialnya, kedua konsep tersebut telah bercampur aduk dan sayangnya, politeisme tampil dengan mengenakan topeng monoteisme sehingga politeisme mampu bertahan lama.

Pada mulanya konsep trinitas agama Kristen bersifat monoteistik sebagaimana juga Wishnu dan Ahoura Mazda, karena ketiganya menunjuk hanya kepada satu Tuhan. Bisa dikatakan bahwa monoteisme adalah akar dari semua agama, namun sejarah dan pengaruh dari berbagai sistem sosial telah mengubah monoteisme dan masyarakatnya yang unik menjadi ras-ras, kelas-kelas, dan bangsa-bangsa. Itulah peralihan dari monoteisme menjadi politeisme.

Adam meninggalkan dua anak laki-laki, Habil dan Kabil. Habil adalah seorang petani miskin yang dibunuh oleh Kabil, saudaranya yang kaya dan tuan tanah. Adapun mengenai Kabil, kita tidak pernah mendengar tentang kematiannya. Dengan demikian maka Adam digantikan oleh Kabil yang tidak beriman, perampas, tamak, Pembunuh, dan anak yang tidak patut menjadi anak bapaknya. Sepanjang sejarah, anak-anak Kabil telah menjadi pemimpin umat manusia.

Masyarakat telah berubah dengan tumbuh semakin besar dan sistem-sistem yang mengaturnya pun semakin kompleks. Dengan munculnya berbagai pembagian, spesialisasi dan klasifikasi, maka Kabil sang pemimpin juga berganti wajah. Dalam masyarakat modern, Kabil menyembunyikan wajahnya di balik politik, ekonomi, dan agama seraya tetap mempertahankan kekuatan dan keistimewaannya di dalam ketiga basis ini. Kabil menciptakan tiga kekuasaan utama, yakni penindasan, kekayaan, dan kemunafikan yang kemudian melahirkan despotisme (kesewenang-wenangan), eksploitasi, dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketiga kekuatan ini dilukiskan dengan tepat sekali dalam monoteisme sebagai belikut: ‘

Fir’aun : Simbol penindasan.
Karun. : Simbol kapital dan kapitalisme.
Balam : Simbol kemunafikan.

Politeisme menjelaskan tiga posisi ini dalam sebuah sistem tiga dimensi (Trinitas) yakni Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Ketiganya menyerumu untuk menyembah mereka sebagai pengganti Tuhan Yang Mahakuasa. Jangan lupa, engkau sedang berada di maqam Ibrahim. Mereka ingin engkau mencintai ‘Ismailmu’ agar dapat memperdayakanmu, merampasmu, membingungkanmu, mengubah nilai-nilai dan pandanganmu, dan menyesatkanmu. Wahai para peziarah haji, sekarang engkau berada di Mina, tembaklah! Engkau telah membawa Ismailmu ke tempat pengorbanan.

Sebagaimana yang dilakukan Ibrahim, tembaklah ketiga berhala itu dan runtuhkan mereka! Wahai Pengikut Ibrahim dan tentara tauhid, hancurkan ketiga berhala itu! Apabila mentari terbit pada tanggal 10 Zulhijah, bersama dengan pasukan lainnya dan berpakaian ihram, engkau bangun di Masy’ar, lewatilah perbatasan Mina dan pada serangan pertamamu, tembaklah berhala yang terakhir. Siapa yang terakhir yang harus ditembak lebih dulu?

Fir’aun, Karun, atau Balam.? Tiga tokoh ini melambangkan tiga kekuasaan Kabil, tiga wajah setan, dan simbol TrinitaS.

  • Tembaklah Fir’aun dengan mengatakan: “Hanya Allah yang memiliki hukum.”
  • Tembaklah Karun dengan mengatakan: “Hanya Allah Yang memiliki kekayaan.”
  • Tembaklah Balam dengan mengatakan: “Hanya Allah Yang memiliki agama-agama.”

Sadarilah bahwa manusia adalah khalifah Allah atau keluarga Allah di muka bumi. Hanya manusia-manusia takwa yang akan mewarisi dunia ini.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah adalah orang yang paling baik perbuatannya (paling takwa). [QS. al-Hujurat: 13]

Dengan kata lain, menurut ajaran monoteisme, hukum Tuhan dijalankan oleh manusia. Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya atas perbuatannya sendiri tapi juga atas perbuatan orang lain.

Engkau bisa bertanya kepada dirimu sendiri mana berhala yang melambangkan Fir’aun, simbol penindasan?. Mana yang melambangkan Karun, simbol kapitalisme? Dan mana yang melambangkan Balam, simbol kemunafikan?. Setiap orang yang berpikiran seperti Ibrahim, yang bergantung pada pandangan-pandangan pribadinya, metode-metode perubahan sosial yang diajukannya, kewajiban-kewajibannya, dan sistem sosio-politik dari komunitasnya bisa menganggap berhala (setan) yang terakhir sebagai:

Fir‘aun: menurut orang-orang yang berkepentingan dengan politik dan hidup di bawah despotisme, militerisme, dan fasisme.
Karun: menurut orang-orang yang berkepentingan dengan ekonomi dan memandangnya sebagai struktur bangunan masyarakat.
Balam: menurut kaum intelektual yang percaya bahwa tidak akan terjadi perubahan sosial kalau tidak ada perjuangan sejati melawan kebodohan, kelemahan pikiran, dan setiap kondisi yang dapat menyebabkan manusia menganut politeisme (syirik) dengan berkedok monoteisme (tauhid).

Selama dua perjalananku ke Makkah (beribadah haji) , aku menganggap berhala yang terakhir sebagai Balam. Aku menembakkan peluru dengan niat merobahkan Balam ini, terutama ketika aku mendapati hal ini sesuai dengan Alquran:

Mereka telah mengambil para rahib, pendeta, dan Almasih anak Maryam sebagai tuhan-tuhan mereka di samping Allah. [QS. at-Taubah: 31]

Bersambung…….

Ali Syariati

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *