Akidah
Beberapa Keraguan dan Jawaban atas Mukjizat Para Nabi
Pembahasan sebelumnya Argumentasi atas Mukjizat Para Nabi
Berikut ini adalah beberapa keraguan sekaitan dengan mukjizat dan jawaban-jawabannya.
Keraguan Pertama
Setiap kejadian material mempunyai sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui secara empirik. Tidak diketahuinya sebab kejadian itu hanya karena terbatasnya sarana empiris tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil atas ketiadaan sebab yang wajar pada kejadian tersebut. Maka itu, suatu kejadian hanya bisa diterima keluarbiasaannya bila terjadi dari sebab-sebab yang tak diketahui. Maksimalnya, pengetahuan akan sebab-sebabnya bisa dianggap sebagai mukjizat selama sebab-sebab itu belum diketahui. Adapun mengingkari sebab-sebab yang bisa diketahui melalui eksperimen empirik berarti menolak prinsip kausalitas, dan ini sulit diterima.
Jawab: prinsip kausalitas hanya menetapkan bahwa setiap realitas akibat memiliki sebab tertentu. Namun, statemen ini tidak berarti bahwa setiap sebab dapat diketahui melalui eksperimen ilmiah. Bahkan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini, karena lahan eksperimen itu terbatas pada hal-hal fisikal, dan sama sekali tidak dapat memastikan ada tidaknya hal-hal metafisikal, atau ada tidaknya pengaruh mereka.
Adapun penafsiran mukjizat sebagai pengetahuan akan sebab-sebab misterius, tidaklah tepat. Sebab, jika pengetahuan ini dapat diperoleh melalui sebab-sebab yang wajar, maka tidak akan ada bedanya dengan kejadian biasa lainnya, dan tidak dapat dikatakan sebagai perkara yang luar biasa.
Dan jika pengetahuan itu diperoleh melalui cara yang tak wajar, maka ia adalah perkara yang luar biasa, yang bersandar pada izin khusus Allah SWT dan munculnya itu sebagai bukti atas kebenaran klaim kenabian, juga tentunya bisa di-kategorikan sebagai mukjizat ilmu (mu’jizat ilmiyah), sebagaimana pengetahuan Isa as tentang apa yang akan dimakan oleh masyarakat dan apa yang akan mereka simpan dalam rumah-rumah mereka. Kenyataan ini dianggap sebagai mukjizat beliau. Akan tetapi, kita tidak dapat membatasi mukjizat hanya pada pengetahun seperti itu saja lalu menafikan selainnya.
Akhirnya, tersisa satu persoalan di sini, yaitu mengenai perbedaan antara peristiwa-peristiwa ini dengan peristiwa-peristiwa lain yang luar biasa sehubungan dengan hukum kausalitas.
Keraguan Kedua
Sunnatullah (hukum cipta Allah) berlaku bahwa setiap fenomena itu terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Alquran menjelaskan, “Engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu pergantian dan juga engkau tidak akan mendapatkan bagi sunah Allah itu perubahan.” (QS. Al-Isra’: 77) [Al-Ahzab: 62, Al-Fathir: 43, dan Al-Fath: 23]
Namun, kejadian luar biasa itu merupakan perubahan dan pergantian pada sunnahtullah dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Jawab: keraguan ini sama dengan keraguan pertama dengan sedikit perbedaan, bahwa keraguan pertama berdasarkan argumentasi akal, sedangkan keraguan kedua bersandar pada ayat-ayat Alquran.
Jelas bahwa membatasi sebab-sebab berbagai kejadian hanya pada sebab-sebab wajar sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah adalah pandangan yang tidak berdasar. Sama halnya dengan pengakuan seseorang yang membatasi sebab panas hanya pada api sebagai bagian dari sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Terhadap pandangan semacam ini perlu ditegaskan bahwa beragamnya sebab bagi berbagai akibat, dan adanya sebab-sebab luar biasa yang menempati sebab-sebab yang wajar merupakan kejadian yang selalu terjadi di alam ini, dan dianggap sebagai salah satu sunnatullah.Sedangkan membatasi sebab-sebab hanya pada sebab-sebab biasa dan wajar merupakan perubahan atas sunnatullah itu sendiri, yang dinafikan oleh ayat-ayat tersebut.
Alhasil, menafsirkan ayat-ayat yang menafikan perubahan dan pergantian dalam sunnatullahsebegitu rupa sehingga tidak ada sesuatu lain yang menempati posisi dan peran sebab-sebab biasa dan bahwa hal itu dianggap sebagai sunnatullah yang tidak berubah, adalah penafsiran yang keliru. Karena, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan terjadinya mukjizat dan peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai dalil yang kuat atas kesalahan penafsiran tersebut.
Dengan demikian, kita perlu mencari penafsiran yang benar dalam kitab-kitab tafsir. Pada kesempatan ini kami akan menyinggungnya secara ringkas. Bahwa ayat-ayat Alquran tersebut dimaksudkan untuk menafikan penceraian akibat dari sebabnya, tidak menafikan berbilang dan beragamnya sebab, tidak pula menafikan sebab yang tak wajar yang menempati sebab yang wajar. Bahkan dapat dikatakan bahwa kadar minimal yang bisa ditarik dari ayat-ayat tersebut ialah adanya pengaruh dari sebab-sebab yang tak wajar.
Keraguan Ketiga
Terdapat ayat-ayat Alquran yang menunjukkan desakan dan tuntutan yang berkali-kali dari sebagian orang agar Rasul saw mendatangkan mukjizat. Namun, beliau tidak mengabulkan tuntutan itu. Jika mukjizat adalah pembuktian atas kenabian, mengapa Rasul tidak menggunakan cara tersebut untuk membuktikan kenabiannya?
Jawab: ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tuntutan yang mereka nyatakan atas dasar ingkar atau motif selain mencari kebenaran, setelah hujah atas mereka itu sempurna, dan setelah adanya bukti kebenaran kenabian Nabi saw dengan tiga cara; dalil yang benar, kabar dari para nabi sebelumnya dan menampakkan mukjizat. Maka, Hikmah Ilahiyah menuntut agar beliau tidak memenuhi tuntutan mereka tersebut.
Penjelasannya: bahwa tujuan ditampakkannya mukjizat—sebagai kejadian unik di dalam sistem cipta yang berkuasa di alam ini, yang terkadang terjadi demi memenuhi permintaan manusia (seperti peristiwa unta Nabi Saleh as), atau terjadi tanpa permintaan mereka (seperti mukjizat Nabi Isa as)—untuk memperkenalkan para nabi dan menyempurnakan hujah Allah SWT atas manusia, bukan untuk memaksa mereka agar menerima dakwah, tunduk dan taat secara terpaksa kepada para nabi, juga bukan untuk menghibur mereka dengan mempermainkan tata hukum kausalitas. Tujuan semacam ini tidak harus mengabulkan setiap tuntutan manusia. Bahkan, memenuhi tuntutan mereka terkadang bertentangan dengan tujuan dan Hikmah Ilahiyah, seperti menuntut perbuatan yang malah menutup pintu kehendak, usaha dan kebebasan, atau menuntut manusia untuk menerima dakwah para nabi, atau menuntut karena pengingkaran, atau karena tujuan-tujuan selain mencari kebenaran.
Baca juga Ketergantungan Manusia kepada Wahyu dan Kenabian
Apabila tuntutan-tuntutan semacam itu dipenuhi, justru mukjizat akan menjadi bahan olokkan, dan masyarakat berbondong-bondong untuk menyaksikannya sekadar mengisi waktu mereka di dalam hiburan dan hal-hal yang sia-sia tersebut, atau mereka akan berkumpul dan mengerumuni para nabi hanya untuk kepentingan pribadi belaka. Dari sisi lain pintu ujian, cobaan dan usaha bebas akan tertutup karena manusia akan mengikuti para nabi secara terpaksa akibat tunduk kepada faktor-faktor keterpaksaan. Kedua sisi tersebut bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah dan tujuan ditampakkannya mukjizat tersebut.
Adapun selain tuntutan-tuntutan tersebut dan ketika Hikmah Ilahiyah sendiri yang menuntutnya, para nabi pasti akan memenuhi permintaan manusia, seperti halnya berbagai mukjizat yang pernah didatangkan oleh Rasul saw. Sebagian mukjizat beliau dinukil secara mutawatir di dalam banyak riwayat. Mukjizat yang terbesar dan abadi adalah Al-Qur’an Al-Karim. Hal ini akan kami bahas pada pelajaran berikutnya.
Keraguan Keempat
Dari kaitannya dengan izin khusus Allah, mukjizat dapat dijadikan sebagai bukti atas adanya hubungan khusus antara Allah dengan pembawa mukjizat tersebut yang membuktikan bahwa izin khusus Allah itu telah diberikan kepadanya.
Artinya, mukjizat tersebut terjadi melalui kekuasaan dan kehendaknya. Akan tetapi, secara logis hubungan ini tidak melazimkan adanya ikatan yang lain antara Allah SWT dan pembawa mukjizat, misalnya ia sebagai rasul-Nya yang telah menerima wahyu dari-Nya. Jadi, mukjizat tidak bisa dianggap sebagai dalil akal atas kebenaran klaim seseorang sebagai nabi. Maksimalnya, dalil itu hanyalah dalil dugaan (dzanni) dan persuasif (iqna’i).
Jawab: perbuatan luar biasa, sekalipun yang Ilahi, tidak menunjukkan adanya hubungan wahyu dengan sendirinya. Juga, karomah para wali itu tidak mungkin dianggap sebagai dalil atas kenabian mereka. Akan tetapi, fokus kita di sini adalah seseorang yang mengklaim kenabian dan menampakkan mukjizat sebagai dalil atas kebenaran klaimnya tersebut.
Atas dasar itu, jika kita berasumsi bahwa orang yang mengaku nabi itu dusta, ia telah melakukan maksiat paling besar, dan perbuatannya tersebut akan berdampak buruk, di dunia maupun di akhirat. Jelas, orang seperti ini sama sekali tidak patut untuk menjalain hubungan khusus itu dengan Allah SWT. Selain itu, Hikmah Ilahiyah tidak mungkin membekali orang tersebut dengan kemampuan menampakkan mukjizat yang akan dijadikan sebagai alat untuk menyesatkan dan menyelewengkan umat mansuia.
Kesimpulannya, akal itu dapat mengetahui dengan jelas bahwa seseorang yang pantas menjalin hubungan khusus dengan Allah SWT dan layak untuk dibekali kemampuan menampakkan mukjizat, hanyalah orang yang tidak mungkin berbuat khianat kepada Tuhannya dan tidak akan menjadikan mukjzat itu sebagai alat untuk menyesatkan dan menyeng-sarakan manusia selama-lamanya.
Dengan demikian, menampakkan mukjizat merupakan dalil akal yang pasti untuk membuktikan kebenaran dan kejujuran seseorang atas pengakuannya sebagai nabi.
Dikutip dari buku Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Piramida Keyakinan