Berita
Agamawan, Aktivis dan Akademisi Menyoal Keabsahan Buku MUI
Kepastian status buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, apakah itu produk resmi lembaga MUI atau terbit sekadar atas inisiatif pribadi beberapa oknum internal yang sengaja mengatasnamakan MUI, hingga saat ini belum menemukan titik terang. Pasalnya, dua kali surat permohonan audiensi yang kami kirimkan ke beberapa orang yang kami anggap tepat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terbit dan tersebarnya buku itu, sama sekali tidak merespon.
Di antara para pihak itu, hanya Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Ketua MUI bidang Pengkajian dan Penelitian, yang di buku itu selain memberikan Kata Sambutan atas nama MUI juga berposisi selaku Pengarah, beberapa waktu yang lalu baru memberikan tanggapan. Itu pun berupa konfirmasi yang dititipkan ke pihak Sekretariat MUI, Isa Ansori, bahwa Yunahar dengan tegas menolak diklarifikasi soal buku itu, tanpa memberikan alasan apapun terkait penolakannya tersebut.
Sekadar mengingatkan kembali bahwa selain Yunahar, para oknum MUI yang terlibat dalam penerbitan buku itu di antaranya adalah Ma’ruf Amin, Ichwan Syam dan Amirsyah selaku Pengarah. Sementara nama-nama lain seperti Utang Ranuwijaya, Cholil Nafis, Fahmi Salim, Muhammad Ziyad, Buchori Muslim, Hasanudin, Ansrorun Ni’am, Hasanudin Maulana, Muhammad Faiz, tercantum di buku itu selaku para Pelaksana.
Karena itu, sambil menunggu pernyataan tegas dan resmi dari MUI (dalam hal ini terutama oknum MUI yang terlibat sebagaimana kami sebutkan di atas), perihal terlanjur beredarnya buku tersebut, kami tim ABI Press mulai merangkum pendapat sejumlah tokoh masyarakat; agamawan, aktivis, dan akademisi, terkait sikap mereka atas buku merah MUI. Hingga saat ini baru 5 orang yang berhasil kami wawancarai, yaitu:
1. Mohammad Monib, MA (Direktur Ekskutif Nurcholish Madjid Society/ NCMS)
Menurut Mohammad Monib, jangan-jangan buku merah MUI adalah daur ulang isu yang telah terjadi ribuan tahun lalu. Jika benar demikian maka hal itu hanyalah buang-buang energi. Monib menegaskan, seharusnya kita sudah tak lagi fokus pada isu-isu yang sudah basi. Sebenarnya buat apa sebuah buku yang tak lebih dari daur ulang isu kuno diletupkan kembali lalu digunakan sebagian orang atau kelompok tertentu sebagai cara untuk menyebarkan pemahaman mereka? “Tapi mungkin saja cara itu memang sudah menjadi model yang digemari kelompok-kelompok penyesat itu untuk saat ini,” ujar Mohammad Monib saat ABI Press temui di kantornya, jalan Ampera Raya Jakarta Selatan.
Tentang adanya klaim pihak penerbit buku bahwa “Mengenal dan Mewaspadai Syiah di Indonesia,” adalah sebuah hasil penelitian, Monib menjelaskan bahwa, penelitian itu ada dua jenis yaitu Qualitatif dan Quantitatif. Penelitian Quantitatif masuk dalam basis data dan bersifat deskriptif dengan cara mengumpulkan sejumlah literatur dan buku yang dimiliki, karenanya bisa disebut juga sebagai penelitian dalam artian penelitian Kepustakaan. Maka dari itu Monib menegaskan, perlu adanya validasi terkait buku tersebut. Jangan-jangan buku yang sudah terlanjur menghebohkan masyarakat awam ternyata isinya hanya sekadar sampah dan tak dikenal sebagai buku layak baca di kalangan intelektual Islam.
Kekhawatiran bila buku itu akan dapat memicu konflik di akar rumput disetujui Monib, dengan alasan sangat lemahnya penegakan hukum saat ini. Kuat dugaannya bahwa buku semacam itu justru hanya akan membawa lebih banyak keburukan daripada membawa manfaat bagi umat.
Sangat disayangkan bila lembaga sekelas MUI terkait penerbitan dan penyebaran buku ini terindikasi telah berlaku kurang arif dan bijak. Dalam artian bukan justru menebar kedamaian dan menganjurkan ukhuwah tapi justru sedang membakar akar rumput dan menjadi faktor penyebab api disharmonisasi dan intoleransi semakin membara.
Tak hanya soal buku, bahkan setiap produk fatwa MUI pun mestinya wajib diuji terlebih dahulu di ruang publik sebelum penetapannya. Gunanya adalah untuk mengetahui sejauh mana asas manfaatnya. Kenapa? Karena nalar kehadiran Islam adalah untuk membawa kedamaian. Jadi, bila sebuah fatwa bertentangan dengan hal itu, bisa dikatakan keberadaannya tidak membawa manfaat bagi umat. Dan bila nyata-nyata tidak membawa manfaat, mengapa harus diada-adakan?
Di akhir wawancara Mohammad Monib menekankan agar umat Muslim kembali ke akar Islam. Tuntutlah ilmu dan pengetahuan dan bertanyalah kepada orang yang benar-benar alim. Perlu diingat bahwa menjadi Muslim itu adalah sebuah proses panjang. Berislam itu proses ‘menjadi’ dan predikat Muslim sejati dapat diraih tak cukup hanya dengan sekadar membaca dua kalimah syahadat.
“Kalau kita hanya berkutat pada ritual, tentu kita tak akan sampai pada ‘kedalaman’ Islam. Seorang muslim itu ibarat lebah. Apa yang ia keluarkan hendaknya membawa sesuatu yang ‘manis’ bagi yang lain. Jadi betapa pentingnya seluruh umat Islam tak lelah belajar, agar setiap perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan dengan benar, baik di dunia maupun di akhirat,” anjur Monib sekaligus berpesan kepada seluruh umat Islam Indonesia agar tak kenal lelah memfungsikan akal, lebih mendalami makna menjadi seorang Muslim, dan tak merasa cukup hanya sekadar beridentitas Islam KTP saja.
2. KH Abdul Muhaimin (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat di Kotagede, Yogyakarta dan Koordinator Forum Persaudaraan Umat Beragama/FPUB).
Dari tokoh muda Islam, kita beralih ke tokoh Islam senior yaitu Kyai Haji Muhaimin asal Yogyakarta. Menurutnya, buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia“ yang diklaim sejumlah orang dikeluarkan oleh MUI, kemudian diblow up dan menjadi pembenaran bagi kelompok-kelompok garis keras untuk menghakimi Syiah dengan cara melakukan bedah buku dimana-mana, tak lebih, isinya adalah kumpulan hujatan.
“Bagaimanapun juga ideologi mereka adalah ideologi takfiri, beda sedikit kemudian dikafirkan,” tegas Kyai Muhaimin kepada ABI Press saat ditemui di sela acara Dialog Kebangsaan GMP Bung Karno di hotel Borobudur, Jakarta.
Saat kami tanyakan, apa yang sebenarnya terjadi saat ini di tubuh MUI? Ada apa kok tiba-tiba muncul buku pemecah-belah yang meresahkan itu justru dari sebuah lembaga yang seharusnya jadi pemersatu? Kyai Muhaimin menyatakan dengan tegas bahwa proyek ini dikendalikan oleh sebuah kekuatan besar. Menurut informasi yang didapatnya, untuk tahun ini saja mereka akan mengadakan bedah buku tersebut di sembilan puluh kota di Indonesia. Karena itu dia berpendapat bahwa hal Ini sudah selayaknya menjadi kewaspadaan kita bersama. Bila dibiarkan, tak mustahil naiknya intoleransi yang sengaja diciptakan kekuatan besar itu akan berdampak buruk, mengacaukan jalinan kerukunan umat Islam yang selama ini sudah harmonis di Indonesia.
“Kelihatannya lembaga seperti MUI maupun FKUB ini sudah dimasuki kelompok-kelompok takfiri. Mereka sengaja, by design, memang berkeinginan kuat untuk menguasai ormas-ormas itu” tuturnya.
Lebih lanjut Kyai Muhaimin menjelaskan, sungguh naif dan meresahkan bila hubungan antar manusia selalu harus diukur dari satu sudut pandang teologi saja. Padahal dalam bergaul dan bermasyarakat kita juga harus memandang orang lain dari sudut pandang kemanusiaan. Manusia itu kan ciptaan Tuhan yang paling unggul. Maka kalau kita ingin memuliakan Tuhan, sudah seharusnya juga mampu memuliakan ciptaan-Nya.
“Jadi siapapun manusia yang datang ke rumah saya, beragama atau tidak beragama, sudah tentu tetap akan saya layani sebagai manusia. Jangankan manusia, kucing saja datang ke rumah saya tidak bawa agama, saya kasih makan kok,” pungkasnya.
3. Prof. Dr. Siti Musdah Mulia (Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender/LKAJ, Sekretaris Jendral Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP, pernah menjabat sebagai Ahli Peneliti Utama Bidang Lektur Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama).
Senada dengan Mohammad Monib, Musdah Mulia berharap MUI berani mempertanggung jawabkan isi buku yang mereka klaim sebagai hasil penelitian itu di depan publik.
“Harusnya MUI mengadakan dialog dan mengundang segenap unsur keagamaan yang ada di negeri ini,” terang Musdah.
Menurutnya yang penting diingat oleh semua, terutama umat Islam Indonesia adalah bahwa tidak setiap keputusan MUI apakah itu dalam bentuk penelitian, fatwa atau buku, harus dijadikan acuan baku pola kehidupan beragama di Indonesia dan tidak harus menjadi landasan pengambilan keputusan oleh siapapun di negeri ini. Alasannya adalah karena pandangan MUI dan produk yang dikeluarkannya itu tidak termasuk dalam hierarki hukum di negara Indonesia. Jadi apapun bentuk buku yang dihasilkan oleh MUI itu hanya bahan bacaan yang biasa saja dan sama saja dengan ormas-ormas lain ketika mengeluarkan buku dan hasil penelitiannya. Jadi, bila buku ini oleh beberapa pihak dikhawatirkan dapat menjadi alat provokasi yang akan mengakibatkan konflik di akar rumput, maka tak boleh tidak negara pun seharusnya bertindak.
“Bila buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia itu memang benar produk resmi dari lembaga, pasti ada tanda tangan dari penanggung jawabnya bahwa buku tersebut adalah resmi,” jawab Musdah saat ABI Press menanyakan prosedur resmi di dalam tubuh MUI untuk mengeluarkan sebuah keputusan yang mengatasnamakan lembaga itu.
“Katakan benar bila itu benar, atau sebaliknya. Saya menghimbau agar lembaga MUI itu tidak malah diperalat menjadi sumber produk provokasi.”
Di akhir wawancara Musdah pun menekankan kepada masyarakat agar membiasakan diri selalu bersikap kritis, selalu menggunakan akal sehat termasuk dalam menyikapi isu-isu keagamaan.
4. Ir. H. Iqbal Sullam (Ketua PBNU Bidang Ekonomi dan Luar Negeri).
Kyai Iqbal Sullam dari PBNU sependapat bahwa buku merah MUI yang berisi hujatan dan penghakiman sepihak itu dapat berpotensi menyulut konflik di kalangan masyarakat bawah.
“Sebagai sesama manusia beragama, kita harus menghormati mazhab-mazhab ataupun pemikiran-pemikiran keagamaan. Kalau kita bisa bertoleransi dengan agama lain yang jelas-jelas jauh berbeda, kenapa kita tidak bisa bertoleransi dengan Syiah yang kalaupun ada perbedaannya, yang berbeda itu hanya sebagian kecilnya saja. Toh kita semua tahu lah, jangankan di Syiah, di semua aliran dan mazhab, bahkan dalam satu mazhab pun bisa juga terjadi perbedaan,” terang Kyai Iqbal.
Banyak pihak meragukan buku yang selama ini telah dianggap produk resmi MUI itu sebenarnya bukanlah keluaran resmi lembaga itu. Maka untuk memperjelas status buku itu menurut Kyai Iqbal harus ada klarifikasi sesegera mungkin dari MUI terkait keabsahannya. Kalau tidak, dapat dianggap memang ada indikasi konspirasi besar di luar Islam agar umat Islam hanya disibukkan untuk memikirkan dan mempertajam perbedaan-perbedaan, sehingga dengan begitu mereka tidak akan punya waktu berpikir positif dan menciptakan kemajuan.
“Itulah yang bakal terjadi kalau sesama kita hanya sibuk terus bertengkar. Orang-orang lain sudah berlomba dalam kemajuan teknologi, sementara kita masih tetap dipaksa berkutat di seputar hal-hal sepele, tak bersegera mengakhiri debat soal adanya perbedaan dalam Islam. Pada akhirnya, ya wajar lah kalau kita nggak maju-maju,” tegas Kyai Iqbal.
5. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.ED. (Sekjen PP Muhammadiyah).
Ditanya tanggapannya tentang buku “Mengenal dan Mewaspadai Syiah di Indonesia” Sekjen PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti membandingkannya dengan prosedur pengeluaran produk resmi di lembaganya. Menurutnya, setiap pernyataan resmi yang dikeluarkan Muhammadiyah tentu akan menggunakan stempel dan tanda tangan pejabat resmi yang berwenang. Tapi dia tak mau berkomentar bagaimana halnya dengan buku yang dikeluarkan MUI, mengapa di dalamnya tidak ada stempel dan tanda tangannya, karena dia merasa hal itu bukan wewenangnya.
Adapun bila sebagian orang mengklaim buku itu sebagai terbitan resmi MUI, Abdul Mu’ti memang melihatnya sebagai sebuah buku kajian yang dilakukan oleh tim MUI yang merupakan anggota MUI. Karena buku tersebut adalah hasil penelitian maka menurutnya kedudukan buku itu tentu berbeda dengan fatwa MUI. Karena bukan fatwa, maka secara otomatis buku itu tidak bisa dikatakan suara resmi dari MUI. Maka dari itu, tak ada cara lain yang lebih tepat kecuali buku itu harus ditempatkan sesuai posisinya, yaitu sebagai hasil penelitian yang dituangkan dalam sebuah buku. Lebih lanjut, bila buku tersebut mau dianggap karya Ilmiah maka harus disikapi pula secara ilmiah. Di sinilah perlunya pemahaman secara arif dan bijaksana. Sebagai karya Ilmiah, tentu harus dibuka lebar ruang diskusi atas buku tersebut. Tradisi diskusi inilah yang menurut Mu’ti perlu ditingkatkan agar semua pihak yang berbeda pemahaman tetap mampu berpikir lebih jernih dalam menyikapi segala persoalan.
“Jadi sekali lagi saya katakan, posisikan saja buku itu sesuai yang tertera di situ. Bahwa buku itu hasil penelitian dan bukan fatwa,” tegasnya saat ABI Press temui di Kantor PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat.
Terkait maraknya kampanye buku yang sering disebut sebagai fatwa oleh sejumlah penyebarnya, langkah yang pertama harus ditempuh menurut Abdul Mu’ti adalah MUI segera mengklarifikasi bahwa buku itu bukan fatwa tapi hanya semata-mata karya ilmiah. Kedua, harus ada counter opinion terhadap buku tersebut sebagai sebuah koreksi. Ketiga, karena sekarang adalah era kebebasan, maka bukan jamannya lagi ada pembredelan buku. Yang harus dibangun, menurut Abdul Mu’ti adalah suasana dialog terbuka penuh suasana ukhuwah dengan tujuan mencerdaskan dan memberi wawasan. Jadi bukan dalam rangka menang-kalah apalagi saling sesat-menyesatkan.
Dia juga berharap agar setiap dialog patuh pada kaidah keberimbangan. Misalnya dengan menghadirkan kelompok-kelompok seberagam mungkin. Sehingga para peserta dialog mendapatkan gambaran seluas mungkin. Bukan seperti yang selama ini dilakukan kelompok penyesat Syiah berupa dialog satu arah yang hanya mendatangkan satu sumber dan satu kesamaan pandangan untuk kemudian menghakimi kelompok lain yang berbeda pemahaman.
Saat ini sudah bukan jamannya lagi saling menyerang dan saling menyalahkan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Masing-masing elemen harus bisa saling terbuka dan saling menyelami dua sudut pandang. Pertama dalam rangka mukharan atau perbandingan untuk saling memahami lebih jauh kelompok lain. Yang kedua adalah dalam rangka melihat titik persamaan dan perbedaan agar sedapat mungkin dikembangkan upaya kesepahaman bersama bahwa semuanya adalah organisasi keislaman. Yang ketiga kita berharap kepada pemerintah untuk juga lebih bersikap arif dan bijaksana serta lebih bersifat aktif dan proaktif melakukan upaya-upaya dialog yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, kelompok-kelompok agama dari semua organisasi keagamaan, agar mampu melihat persoalan keagamaan dari sudut pandang kebangsaan yang lebih luas.
Pemerintah hendaknya bersikap netral. Melindungi dan menjamin hak-hak warga negara khususnya yang berkaitan dengan kebebasan beribadah, kebebasan memeluk agama dan memperoleh rasa aman dalam menjalankan ajaran agamanya. Pemerintah tidak perlu ragu untuk menegakkan hukum di negeri ini. Sehingga siapapun yang melanggar hukum, dari kelompok manapun, minoritas maupun mayoritas, baik dari kalangan pemerintah atau kalangan masyarakat biasa, semua pelanggar hukum itu harus ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku.
Itulah pandangan dan pernyataan para tokoh agama, aktivis, dan akademisi dari beragam latar belakang dalam menyikapi buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Sama seperti khalayak ramai, para tokoh ini juga menyimpan tanda tanya besar: Mengapa pihak MUI hingga saat ini belum juga meluangkan waktu sekadar mengklarifikasi perihal keabsahan buku tersebut? Tidakkah lembaga pemersatu umat ini terusik dengan upaya pecah-belah yang terus terjadi di kalangan masyarakat bawah?
Terlebih beberapa waktu yang lalu, sebagaimana yang kami sampaikan di awal tadi, pihak sekretariat MUI menyatakan bahwa Prof.Dr.Yunahar Ilyas, M.A. selaku salah seorang Ketua MUI bidang Pengkajian dan Penelitian yang namanya tercantum sebagai Pengarah di buku itu, dengan tegas menolak permohonan audiensi yang telah kami ajukan, tanpa mau memberikan alasan apapun terkait penolakannya.
Sementara Prof. Dr. Muhammad Baharun yang disebut dalam buku sebagai Pembaca Ahli, hingga berita ini diturunkan belum juga memberikan jawaban.
Apakah ini pertanda, sesungguhnya memang ada sesuatu bersifat super secret perihal buku itu, yang sudah disepakati para pihak terkait agar disembunyikan dan statusnya tetap diambangkan MUI? (Lutfi/Yudhi)