Berita
Habib Abdillah Baabud: Hukum Tuhan dan Kesepakatan Manusia
Membangun kesepakatan dan kontrak sosial adalah solusi pada zaman kegaiban Imam Mahdi as. Dan konsensus nasional ini terwujud dalam Pancasila. Demikian inti dari ceramah Ust. Abdillah Baabud pada Peringatan Haul Al-Ustad Al-Habib Husein bin Abubakar Al-Habsyi di Pondok YAPI, Bangil.
Habib Abdillah yang juga Ketua DPW ABI Jawa Timur mengawali ceramahnya dengan membedah QS Al Maidah [5] ayat 50, ”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” Ayat ini sering dijadikan hujah kewajiban penerapan hukum Islam karena tak ada yang mampu membuat hukum lebih hebat dari Allah SWT.
Dalam QS Al Hasyr [59] ayat 7 dinyatakan ”…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”. Pada masa Nabi, segala persoalan umat dapat dipecahkan dan tidak menimbulkan perbedaan pendapat. Namun berbeda pasca Nabi wafat. Bila kita ingin menerapkan suatu hukum Islam, kita merujuk kepada ulama. Lalu, ulama yang manakah? Para ulama tidak satu pendapat karena mereka tidak tahu persis maksud suatu ayat dan riwayat.
”Agama memegang kebenaran absolut di zaman Nabi, wakil resmi Tuhan. Namun ketika dibawa oleh ulama menghasilkan interpretasi, bentuknya berupa aliran, mazhab, sekte, akhirnya menjadi budaya. Tidak jarang, ikhtilaf di antara para ulama ini berdampak pada pertumpahan darah. Pemikiran manusia tidak selalu benar dan salah, maka budaya pun ada yang benar, ada pula yang keliru. Membunuh anak perempuan karena takut tidak bisa memberikan makan adalah salah satu contoh budaya era jahiliyah yang salah.”
Kita tidak bisa memaksakan kebenaran yang kita yakini kepada orang lain. Kita bukan wakil resmi Tuhan, kita bukan pengemban kebenaran yang absolut. Kita memerlukan kesepakatan-kesepakatan agar dapat hidup bersama.
”Kebenaran absolut yang dimiliki Nabi hanya berlaku bagi orang-orang yang mengimaninya. Namun tidak semua masyarakat Madinah menerima kenabian Muhammad. Karena itu Rasulullah hidup bersama mereka dengan kesepakatan-kesepakatan. Lihatlah Piagam Madinah yang berisi perjanjian dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mengimani kenabiannya.” katanya.
Kita dapat menyuarakan kebersamaan dan saling hormat menghormati dengan landasan kemanusiaan. Sebagaimana kata Imam Ali bin Abi Thalib as, “Siagakan hatimu bagi kebaikan, pemaafan, kasih sayang, dan kelembutan kepada sesama manusia. Jangan pernah engkau bertindak kepada manusia seperti seekor binatang buas yang memuaskan diri dengan mencabik-cabik mangsanya. Sebab ada dua kategori manusia: yang saudara seiman denganmu, dan yang saudara sesama ciptaan Tuhan sepertimu.”
Seluruh agama mempunyai konsep wakil Tuhan yang akan datang memenuhi dunia dengan keadilan (mesianisme, mahdawiyah). Orang-orang menyebutnya Satrio Piningit, Messiah, Imam Mahdi, dll. Dia bukan nabi, tidak membawa risalah baru melainkan risalah Nabi Muhammad saw.
Tapi sebelum zaman itu datang, kita hidup bersama dengan rajutan kebangsaan berupa Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 45. Para pendiri bangsa ini telah dermakan jiwa raganya bagi kemerdekaan dan persatuan bangsa. Jangan robek rajutan kebangsaan ini. Apa pun agama dan kepercayaan kita, mari kita memberikan persembahan terbaik bagi bangsa dan negara kita. Fastabiqul khairat. Sebagaimana Nabi mengajarkan, ”Khairunnas anfa’uhum linnas”, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain (HR. Bukhari Muslim).
Dikutip dari majalah SYI’AR, Edisi IV: Maret 2019/1440 H