Ikuti Kami Di Medsos

Akidah

Pentingnya Kehadiran Seorang Imam Maksum [bag 1]

Mukadimah

Mereka yang tidak mempelajari masalah-masalah akidah dengan baik dan teliti menduga bahwa titik perselisihan antara Syiah dan Ahlusunah -sehubungan dengan masalah imamah- terletak pada masalah pengangkatan imam atau khalifah. Artinya, Syiah meyakini bahwa Nabi saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib as sebagai imam dan khalifah dalam mengatur dan membimbing umat.

Sementara itu, Ahlusunah meyakini bahwa pengangkatan semacam itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah bahwa umat Islam mengadakan pemilihan atas seorang pemimpin dengan suara mereka sendiri. Kemudian khalifah pertama yang telah terpilih itu mengangkat dan menentukan sendiri khalifah setelahnya. Sementara pada periode ketiga, pengangkatan seorang khalifah diserahkan kepada sekelompok manusia yang terdiri atas enam orang. Adapun khalifah keempat ditentukan kembali oleh suara rakyat. Dengan begitu, tidak ada mekanisme khusus dan baku untuk menentukan dan mengangkat seorang khalifah di antara kaum muslim. Maka itu, setelah jabatan khalifah keempat berakhir, kursi khilafah ini diduduki oleh orang-orang yang kuat dan busuk, seperti yang juga berlangsung di negara-negara nonmuslim.

Dengan kata lain, sebagian orang menduga bahwa pandangan Syiah tentang pengangkatan khalifah pertama sama dengan Ahlusunah dalam hal pengangkatan khalifah kedua yang dilakukan oleh khalifah pertama. Bedanya, keputusan Nabi saw tidak diterima umat, sedangkan keputusan khalifah pertama diterima oleh mereka.

Akan tetapi, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan seperti atas dasar apakah khalifah pertama itu punya hak dalam mengangkat khalifah yang kedua? Berdasarkan keyakinan Ahlusunah, mengapa Rasul saw tidak lebih memiliki rasa peduli terhadap Islam dibandingkan khalifah pertama? Bagaimana bisa terjadi bahwa Nabi saw meninggalkan umat Islam yang baru saja lahir tanpa seorang pemimpin yang akan menggantikan beliau, padahal setiap kali Nabi saw keluar dari Madinah menuju medan jihad selalu menunjuk seorang wakil dan khalifah di kota itu? Di samping itu, Nabi saw sendiri acapkali memperingatkan umatnya akan terjadinya fitnah, perselisihan dan bencana di tengah mereka.

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut atau pertanyaan lainnya, perlu kita tekankan bahwa ikhtilaf di antara Ahlusunah dan Syiah berkisar pada masalah berikut ini: Apakah imamah, qiyadah, wilayah dan kepemimpinan itu merupakan posisi keagamaan yang tunduk pada syariat dan ketentuan Ilahi, ataukah posisi duniawi yang takluk pada faktor-faktor sosial dan kehendak masyarakat?

Syiah meyakini bahwa sebenarnya Nabi saw sekalipun tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan khalifahnya, beliau hanya melakukan pengangkatan khalifah dan Imam-imam atas dasar perintah Ilahi semata. Pada hakikatnya, falsafah di balik khatamz’ya/z (berakhirnya) kenabian benar-benar terkait erat dengan penunjukan seorang imam maksum. Karena, dengan keberadaan seorang imam maksumlah kesej ahteraan utama umat Islam setelah wafat N abi saw akan dapat tercapai sepenuh mungkin.

Berangkat dari masalah inilah tampak jelas mengapa masalah imamah umat diangkat sebagai persoalan prinsipal akidah Syiah, bukan sekadar persoalan parsial fikih semata. Juga tampak jelas, mengapa tiga syarat pokok harus terpenuhi pada diri seorang imam, yaitu memperoleh ilmu laduni dari Allah, terjaga dari segala kesalahan dan dosa serta harus ditentukan oleh Allah Swt. Juga menjadi jelas bahwa menurut Syiah, masalah imamah ini sama sekali tidak bisa dipisahkan dari masalah marjaiyah (otoritas seorang mujtahid) dalam upaya menemukan hukum Ilahi, dan dari masalah hukumah (pemerintahan) serta wilayah (kedaulatan) di tengah umat.

Dengan demikian, kata “imamah” itu mencakup persoalan di atas. Berangkat dari sini dan setelah kita memahami pengertian imamah serta kedudukannya di dalam kepercayaan Syiah kami akan membahas seberapa kuat validitas pengertian tersebut.

Pentingnya Kehadiran seorang Imam Maksum

Telah dijelaskan pada pelajaran sebelumnya, bahwa terealisasinya tujuan penciptaan manusia itu berhubungan erat dengan hidayah dan bimbingan wahyu Ilahi. Untuk itu, hikmah Ilahiah menuntut diutusnya para nabi as untuk melakukan dan menjalankan berbagai macam tugas, antara lain;

  • Menuntun umat manusia kepada jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, dan untuk memenuhi segala kebutuhan yang berhubungan dengannya.
  • Mendidik setiap individu yang mempunyai potensi untuk dihantarkan kepada akhir peringkat kesempurnaan insaninya yang mungkin dapat mereka capai.
  • Memberlakukan hukum-hukum Islam di tengah kehidupan sosial dan individu tersebut, sejauh situasi dan kondisinya memungkinkan.

Islam adalah agama yang universal dan abadi. Tidak ada agama lain setelahnya yang menggantikannya, sebagaimana pula tidak ada lagi nabi yang datang kemudian dan membawa risalah baru. Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi as bila syariat samawi yang terakhir ini dapat memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di samping bahwa syariat tersebut juga telah dijamin kelanggengannya sampai akhir zaman.

Alquran sebagai kitab samawi pamungkas telah dijamin kelanggengan dan keutuhannya oleh Allah Swt dari berbagai perubahan dan penyimpangan hingga akhir masa. Akan tetapi, zahir ayat-ayat Alquran tidak menjelaskan hukum-hukum dan Semua ajaran Islam secara detail. Sebagai contoh, kita tidak dapat mengetahui jumlah rakaat salat lima kali dalam sehari semalam melalui ayat-ayat al-Quran, begitu pula tatacara pelaksanaannya, dan ratusan hukum lainnya, yang sunah maupun yang wajib. Karena memang Alquran tidak diturunkan untuk menjelaskan perincian hukum. Perincian hukum dan syariat diletakkan di pundak Nabi Saw lalu menerangkannya kepada seluruh umatnya, yaitu melalui ilmu-ilmu yang Allah Swt berikan kepada beliau melalui wahyu qurani.

bersambung……………

Dikutip dari buku Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Piramida Keyakinan

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *