Ikuti Kami Di Medsos

Akidah

Jalan Mengenal Kenabian [3/4]

Sebelumnya Jalan Mengenal Kenabian [2/4]

7. Mengajak kepada Kehidupan yang Lebih Baik dan Konstruktif

Wahyu dan ajaran para nabi as adalah penjamin kehidupan yang lebih baik bagi manusia, sebagaimana kita jumpai ungkapan ayat Alquran: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan (yang lebih baik) kepadamu….”[Tafsir Nur ats-Tsaqalain, Jld. 2, Hal. 141]

Imam Sadiq as berkata: Hal yang menghidupkan manusia dan memberikan kepada mereka kehidupan abadi, adalah wilayah.

Sementara itu Imam Baqir as berkata: Wilayah imam, Amirul mukminin Ali as dan mengikutinya akan mencegah masyarakat kamu dari ketercerai-beraian dan akan lebih menjaga tegaknya keadilan di antara kamu.[Futuhat Makkiyyah, Jld. 1, Bab. 6, Hal. 169]

Faktor terpenting kehidupan maknawi adalah keyakinan tauhid dan keyakinan ini disyaratkan dengan orbit wilayah; sebagaimana yang terdapat dalam hadits “silsilah adz-dzahab” Ahlulbait as.

Dalam irfan teoritis, pembahasan muwahhid (orang-orang yang sampai maqam wilayah) menjadi salah satu pembahasan yang paling asas sesudah pembahasan tauhid, yakni pembahasan tajalli tâm (manifestasi sempurna) seluruh nama-nama dan sifat Tuhan dalam mazhar-Nya, yaitu insan kamil. Dengan perantara insan kamil inilah faidh (emanasi) Tuhan sampai kepada maujud-maujud (mazhar-mazhar) lainnya. Dan paling sempurnanya mazhar-mazhar Tuhan adalah para nabi dan imam-imam As (wali-wali Tuhan), yakni misdak-misdak daripada insan kamil, dan paling sempurna serta paling agung dari insan kamil ini adalah nabi Islam Muhammad Saw serta kemudian Amirul Mukminin Ali as, orang yang paling dekat kepada Rasulullah Saw dari dimensi maqam batin dan zahir dan sebagai pemilik rahasia-rahasia seluruh para nabi.[Q.S. al-A’raf : 69]

Para nabi dan wali Tuhan inilah yang memimpin kafilah-kafilah ruhani menuju kedekatan kepada Tuhan dan memberi kehidupan maknawi sebagai sebuah bentuk kehidupan yang lebih baik dan konstruktif bagi umat manusia.

8. Mengingatkan Nikmat-nikmat Tuhan

Allah Swt, dalam berbagai ayat Alquran menyebutkan bahwa salah satu dari misi kenabian mengingatkan manusia kepada nikmat-nikmat Ilahi. Di antara ayat-ayat itu adalah:

“…Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung.“[QS al-A’raf : 74]

“…Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.“[Q.S. al-A’raf: 157]

Membahas tujuan daripada bi’tsah terkadang matlab yang diutarakan secara langsung berkenaan tujuan inti dari risalah kenabian dan terkadang di samping meneliti tugas dan program para utusan Tuhan itu, juga diutarakan matlab yang berhubungan dengan tugas asli dan perintah resmi bagi mereka; dan masalah mengingatkan manusia pada nikmat-nikmat Tuhan ini termasuk pada kategori yang kedua.

9. Membebaskan Manusia

Hal yang terbaik dihadiahkan para nabi kepada umat manusia adalah penyebaran kebebasan dan kemerdekaan, yakni kebebasan dari sistem-sistem destruktif yang merusak jiwa-jiwa individual dan tatanan sosial maknawi. Alquran mengungkapkan tentang pemberian kebebasan dengan bahasanya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang beruntung.”[QS Tâhâ: 50]

Bisa saja dikatakan bahwa kebebasan dalam pengertian politik dan sosial merupakan suatu komprehensi modern; namun pada dasarnya prinsip kebebasan itu sendiri memiliki latar belakang sejarah dan peradaban yang sangat panjang. Pendahulu-pendahulu kita, ketika mereka berbicara tentang kebebasan, kebanyakan yang dituju mereka adalah kebebasan internal dan batin serta kebebasan dari sifat-sifat yang hina dan rendah. Terma-terma kebebasan internal dan batin ini banyak kita jumpai dalam karya-karya akhlak dan irfani.

Kebanyakan karya memperhatikan kebebasan ruh dan maknawi serta kesucian dan kebersihan jiwa dari sifat-sifat rendah dan hina; apakah kebebasan itu dalam jihad ausath (pertengahan), dimana kebebasan yang ingin digapai dalam jihad ini adalah kebebasan dari ahriman dosa dan kemerdekaan jiwa dari hal-hal mubah yang bisa mengotorinya, ataukah kebebasan dalam jihad akbar dan peperangan paling besar, dimana kebebasan yang ingin didapatkan dalam jihad ini adalah kebebasan dari setiap ta’alluq (dependency) halal dan mubah, dan kebabasan dari setiap ta’ayyun; kendatipun itu adalah mazhar sebagian dari asmaul husnâ.

Dalam jihad akbar ini, upaya seorang mujahid pemberani adalah melepaskan diri dari simpul dan jeratan hasil serta memburu syuhud, dan menyeberang dari sungai komprehensi akal berhijrah menuju lautan misdak yang sebenarnya.

Adapun bentuk kedua dari kebebasan -yakni kebebasan dan kemerdekaan politik- adalah suatu istilah yang terdapat dalam adabiyyât (kesusastraan) semua pemerintahan-pemerintahan autarki, perbudakan, penjajahan, kolonisasi, dan lainnya. Pengenalan terhadap bentuk kebebasan ini dan pengetahuan terhadap nisbahnya dengan keadilan, merupakan suatu kerja yang harus direalisasikan dalam atmosfir kekuasaan akal dan wahyu (syariat).

Bersambung….

Dikutip dari Buku Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Pireamida Keyakinan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *