Ikuti Kami Di Medsos

Akhlak

Kisah Keluarga Nabi di Hari Raya Idul Fitri

Kisah Keluarga Nabi di Hari Raya Idul Fitri

Kisah Keluarga Nabi di Hari Raya Idul Fitri

Ada sebuah kisah mengharukan tentang keteladanan keluarga Rasulullah SAW, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kisah ini bisa menjadi pelajaran penting, terlebih umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Keteladanan Ali bin Abi Thalib ini disaksikan dua karibnya; Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali.

Keduanya pernah ikut perang Jamal bersama beliau dan termasuk pembesar kelompok pendukung Ali sampai akhir hayatnya. Kisah ini juga termaktub pada dua Kitab Sirrah Ashabu an-Nabi, karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi.

Dikisahkan, usai salat Asar, setelah seharian merasa sedih, karena bulan Ramadhan akan segera berakhir, Ali kemudian pulang dari masjid.

Sesampainya di rumah, ia disambut sang istri tercinta Fathimah Az-Zahra dengan pertanyaan penuh perhatian. “Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku,” demikianlah sapa Sayyidah Fatimah. “Tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?”

Baca juga : Salat dan Munajat di Hari Raya Idul Fitri

Ali as hanya terdiam lesu, tak berapa lama kemudian ia minta pertimbangan sang istri untuk menyedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin. “Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadhan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi.”

Sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali ibn Abi Thalib as terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya. Ia berkeliling dari pojok kota dan perkempungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim/piatu.

Sementara istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra, sambil menuntun dua putranya Hasan dan Husein (cucu Nabi), nampak di tangannya memegang kantong plastik yang besar. Mereka sekeluarga, kompak mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni. Begitu mereka berjalan sampai larut malam, tangannya membagikan santunan, bibirnya bertakbir kepada Allah.

Esok harinya tiba shalat Idul Fitri, Sayyidina Ali naik mimbar dan berkhutbah di Masjid Qiblatain, potongan isi khutbah itu di antaranya tentang beberapa tanda-tanda orang yang mendapatkan “taqwa” dari puasanya yang sebulan penuh, “Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat”.

Baca juga : Idulfitri Momen Kuatkan Persatuan Umat Islam

Begitulah Sayyidina Ali, beliau tak akan pernah mengucapkan, sebelum ia sendiri sudah melakukan dan memberi keteladanan. Setelah Shalat ‘Ied selesai dan hari masih sangat pagi, sahabat beliau, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung dan bermaksud mengucapkan selamat ‘Idul Fitri kepada keluarga Rasulullah SAW tersebut.

Saat pintu terbuka, alangkah kagetnya mereka berdua, kedua hidung dua karib ini mencium aroma tak sedap, dari nampan yang berisi gandum dan roti kering yang sudah basi dan disantapnya makanan yang tak layak konsumsi itu dengan lahapnya. Seketika itu Ibnu Rafi’i dan dan Al Aswad Ad-Du’ali berucap istighfar, sambil berpelukan dan menangis, karena kedua dada sahabat ini ada yang nyeri di sana.

Merasa tak kuat melihat pemandangan itu, mereka kemudian berpamitan sebelum berpelukan. Mereka pun pergi menjauh dari pemandangan menggetarkan itu. Di sepanjang jalan mata Ibnu Rafi’i berlinang air mata, perlahan butiran itu menetes di pipinya dan jatuh ke tanah seperti mengukir sebuah jejak kesedihan sampai ke kediamannya.

Idul Fitri yang seharusnya penuh suka cita, tapi pagi itu mereka bersedih. Sementara Abu Al Aswad Ad Du’ali, terus bertakbir di sepanjang jalan, kecamuk dalam dadanya sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah SAW. Tiba di depan Rasulullah, ia pun mengadu, “Ya Rasulullah. Putra baginda, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ad Du’ali terbata-bata. “Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” kata Rasulullah menenangkan.

“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, Ya Rasulullah. Saya khawatir cucu baginda Hasan dan Husein akan sakit.” “Ada apa dengan cucuku dan keluargaku?” “Saya tak kuat menceritakan itu sekarang, lebih baik menengoknya…”

Tak berpikir lama, Rasulullah pun segera menuju rumah putrinya. Tiba sampai di halaman rumah, tak ada apa-apa yang dikhawatirkan oleh Ad Du’ali. Justru tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fathimah dan kedua anaknya.

Bahkan, yang sedikit aneh, mata Ad-Du’ali sendiri menyaksikan, ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang datang. Mata Rasulullah pun sembab, beliau terharu, sebab ia sendiri melihat bekas-bekas makanan basi yang sudah disantap keluarga itu dan bau basinya masih menyengat. Tak terbendung juga butiran mutiara bening menghiasi wajah Rasulullah SAW nan bersih.

“Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah,” demikian bibir Rasulullah berbisik lembut.

Baca juga : Spirit Idulfitri: Eratkan Ukhuwah, Melawan Kezaliman

Sayyidatuna Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, ayahnya sedang berdiri tegak. Gandum basi yang dipegangnya terjatuh ke lantai. “Abah, kenapa engkau biarkan dirimu berdiri di situ, tanpa memberi tahu kami, oh, relakah abah menjadikan kami anak yang tak berbakti?” Berondong Fathimah spontan, lalu mencium tangan Abahnya dan abahnya ke ruang tamu.

“Kenapa Abah menangis? Kenapa pula sahabat ad-Duali mengikuti di belakang Abah,” Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar, “Semoga kelak surga tempatmu Nak. Surga untukmu.” Mereka yang ada di situ lalu menjawab bersama-sama, “Allahuma Aaamin”.

Air mata Rasulullah tiba-tiba mengucur deras, saat melihat sendiri dengan matanya akan kesederhanaan dan kebersahajaan puteri beliau bersama keluarganya.

Di hari Idul Fitri, di saat semua orang berkumpul, berbahagia dengan hidangan aneka macam kuliner, keluarga Rasulullah cukup tersenyum bahagia dengan gandum dan sepotong roti basi yang baunya tercium tak sedap. Demikianlah kesaksikan ad-Duali dan Ibnu Rafi’i atas keluarga Rasulullah SAW pada hari ‘Idul Fitri.

Ibnu Rafi’i berkata, “Itulah salah satu dampak pendidikan Ramadhan bagi keluarga Nabi, dan aku diperintahkan oleh Rasulullah SAW agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap ‘Idul Fitri. Aku pun simpan kisah itu dalam hatiku. Namun, setelah Rasulullah wafat, aku takut dituduh menyembunyikan hadis, maka terpaksa aku ceritakan agar jadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin untuk benar-benar bisa mengambil hikmah dari madrasah Ramadhan.”

(Musnad Imam Ahmad, jilid 2 dikutip dari SINDO)